Kamis, 31 Desember 2015

Reformasi Birokrasi Melalui ASN

Reformasi Birokrasi Melalui ASN

  Miftah Thoha  ;  Guru Besar (ret) UGM; Salah Satu Penyusun UU ASN
                                                      KOMPAS, 31 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pertengahan Desember 2013 Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang dirancang oleh Komisi II DPR disahkan sidang pleno DPR.
Rancangan undang-undang (RUU) ini lama dibicarakan oleh pemerintah, hampir empat tahun, tetapi oleh DPR hanya butuh waktu 6 bulan untuk membahasnya. Bahkan pernah pemerintah menolak RUU ini. Sekelompok aparat pemerintah daerah yang dimobilisasi oleh pejabat pemerintah pusat berdemonstrasi menolaknya. Seberapa jauhkah alotnya RUU ini, sehingga pemerintah begitu lama membahas dan menolaknya?

Dahulu, empat tahun lalu, inisiatif DPR menyusun RUU ini dibantu dua guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) di bidang ilmu administrasi negara dan dua guru besar Universitas Indonesia (UI) di bidang ilmu yang sama dan bidang ekonomi. UU ini dikenal dengan singkatan ASN (Aparatur Sipil Negara), sebagai UU tentang profesi bagi pegawai negeri sipil (PNS). Selain itu UU inisebagai salah satu wujud upaya reformasi birokrasi pemerintah yang selama ini patah-patah, tidak menyeluruh.

Selama republik ini berdiri, setiap pemerintahan membuat UU yang mengatur hal-ihwal PNS tak pernah menyebut profesi aparatur pegawai pemerintah itu apa. Yang diatur hanya perihal proses administrasi kepegawaian.Padahal, di dalam PNS itu ada banyak jabatan profesi, seperti jaksa, hakim, profesor, dokter, polisi, rektor, dan guru. Karena tidak diatur jenis profesinya, maka sistem, perilaku, sikap, dan tindak-tanduk PNS seakan-akan tidak punya kode etika sebagai pelayan publik yang diharapkan,

Reformasi birokrasi

Menurut catatan saya, salah satu masalah yang bisa menghalangi implementasi UU ASN oleh pemerintah dulu adalah gagalnya melaksanakan reformasi birokrasi pemerintah. UU ASN acapkali dikaitkan juga dengan upaya melakukan reformasi birokrasi pemerintah. Sebenarnya kalau kita berkehendak melakukan reformasi birokrasi, di awal pemerintahan Presiden BJ Habibie tahun 1999 telah diratakan jalan menuju ke arah reformasi tersebut. Namun, ternyata pemahaman tentang birokrasi pemerintah yang akan direformasi tak ada kesatuan paham. Oleh karena tidak ada kesatuan paham tentang apanya yang akan direformasi, upaya ke arah reformasi pun berbeda jalan dan hasilnya.

Mari kita amati beberapa sistem dan lembaga birokrasi pemerintah yang sudah tak sistemik dan berubah membingungkan. Kantor Kepresidenan, misalnya, tidak seperti biasanya dalam sistem administrasi negara kita. Ketika Presiden bertugas ke luar negeri melaksanakan tugas sebagai Kepala Negara, yang mendampingi dan yang mengurus administrasinya Sekretaris Kabinet, lalu Sekretaris Negara menjaga rumah di dalam negeri.

Dahulu, dalam sistem adminisrasi pemerintahada dua organisasi kesekretariatan karena jabatan Presiden sebagai Kepala Negara memerlukan kantor Sekretaris Negara, dan jabatan Presiden sebagai Kepala Pemerintah memimpin anggota kabinet perlu adanya kantor Sekretaris Kabinet. Dahulu kedua kantor itu cara kerja dan sistem kerjanya sangatjelas bedanya. Hierarkinya juga jelas, walau sama-sama sebagai menteri pembantu presiden. Selain itu, keduanya sangat berwibawa dalam menjalankan sistem administrasi negara kita.

Sebagai ilustrasi lagi, coba lihat struktur kelembagan kementerian yang sekarang berjalan tidak disentuh oleh evaluasi dan reformasi. Saya ambilkan contoh hasil penelitian saya (2014) pada lima kementerian.

Pertama, Kementerian Dalam Negeri. Susunan kementeriannya terdiri dari 11 eselon I ditambah 5 staf ahli. Direktorat jenderal (ditjen)-nya ada tujuh, dua badan, dan masing-masing satu sekretariat jenderal (setjen) dan inspektur jenderal (itjen). Kedua, Kementerian Pendidikan Nasional terdiri dari tujuh satuan organisasi eselon I, ditambah lima staf ahli; ada empat ditjen, tiga badan, satu setjen, dan satu itjen. Ketiga, Kementerian Pekerjaan Umum terdiri dari delapan satuan eselon I ditambah lima staf ahli. Keempat, Kementerian Agama terdiri dari 10 satuanorganisasi eselon I ditambah lima staf ahli. Kelima, Kementerian Sosial terdiri dari enam satuan organisasi eselon I ditambah lima staf ahli.

Dari satuan organisasi eselon I itu dibagi habis ke dalam satuan eselon II yang lebih besar lagi dan seterusnya. Ini menggambarkan satuan organisasi masing-masing kementerian bukan semakin hemat jika dibandingkan dengan organisasi masa Orde Baru. Padahal, kegiatan pembangunan dan pemerintahan waktu itu lebih kompleks dan besar, tetapi organisasai kementeriannya didukung oleh satuan organisasi lebih kecil dibandingkan saat ini.

Ini berarti pengaruh manajemen kepegawaian bukannya semakin kompeten dan netral, melainkan terpolitisasi dan pemborosan makin tak terkendali.

Dari jumlah organisasi yang besar, seperti sekarang akan mudah dibaca bahwa masing-masing kementerian memerlukan jumlah anggaran dan pegawai yang besar, dan sistem manajemen kepegawaian yang tak netral menyulitkan upaya koordinasi. Sementera itu, setiap tahun kita melihat APBN pemerintah selalu menampakkan anggaran defisit. Korupsi masih merajalela tidak menunjukkan hasil pengurangan yang menggembirakan. Pengangguran masih besar, belum bisa diatasi dengan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan.

Oleh karena itu, salah satu alternatif yang bisa dilakukan ialah mengevaluasi organisasi pemerintah, baik kementerian, organisasi nonkementerian, maupun organisasi nonstruktural dipusat dan di daerah. Namun, hal ini justru luput dilakukan reformasi sampaidetik ini

UU ASN

UU ini banyak memuat hal baru,membuat masalah-masalah yang sering kali ditimbulkan oleh manajemen kepegawaian cara lama bisa direformasi. Semangat UU ini adalah melakukan reformasi dan melakukan perbaikan serta menghilangkan masalah- masalah yang timbul di dalam manajemen kepegawaian.

Masalah-masalah yang timbul itu banyak dinikmati oleh pejabat-pejabat yang mengenyampingkan etika yang baik dan bersih. Misalnya, praktik memperdagangkan dan atau membisniskan proses pengangkatan dan promosi pegawai oleh para pejabat daerah maupun pusat. Atau terjadi intervensi kekuasaan pejabat politik dalam mengangkat pejabat dan pegawai yang tidak terbuka dan tidak kompeten.

Salah satu yang kemudian diatur dalam UU ASN ialah ditetapkan adanya badan yangmelindungi pelaksanaan sistem merit. Badan ini dinamakan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). UU ini nanti menetapkan setiap pelanggaran sistem merit akan dikenai sanksi yang tegas. Misalnya, mengangkat pegawai atau pejabat yang dilakukan tidak terbuka dan didasarkan pertimbangan politik, bukan didasarkan atas kompetensi individual calon yang dibutuhkan oleh kompetensi jabatan yang diisi, akan dikenai sanksi.

Banyak lagimasalah kepegawaian yang akan diperbaiki oleh UU ASN. Sementara pada sistem lama yang biasa dilakukan justru banyak menguntungkan mereka, para pejabat yang selama ini menikmatinya dengan mengenyampingkan etika aparatur yang baik dan bersih. Itulah barangkali yang membuat alotnya pembahasan UU ASN dan alotnya menyusun ketentuan pelaksanaannya di kalangan pemerintah.

Realisasi UU ini sangat lambat. Aturan pelaksananya pun banyak yang belum dituntaskan. Kini kita berharap pemerintah lebih cekatan menindaklanjutiefektivitas UU ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar