Curhat Dr Suyoto setelah Gagal di Putra Petir
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 28 Desember 2015
SEBAGAI pribadi, Dr Ir Suyoto Rais boleh dibilang sukses. Bahkan
bisa masuk ke kelompok from zero to
hero. Tapi, jiwanya lagi gundah:
mengapa tidak bisa sepenuhnya mengabdi kepada ibu pertiwi? Itulah pertanyaan
besar dari dia untuk dirinya. Setiap hari. Terutama di tengah malam.
Maka dia pun curhat ke saya. Minggu lalu. Panjang lebar.
”Adakah peluang bagi saya untuk mengabdi di BUMN?” tanyanya.
”Agar tidak terus mengabdi ke perusahaan asing,” tambahnya.
Bahkan, niatnya untuk kembali ke tanah air itu sudah dia
sampaikan sejak lama. Saat saya menggagas Putra Petir hampir lima tahun lalu.
Ketika saya kurang merespons saat itu, dia seperti masygul. Itu
tecermin dari beberapa artikelnya di sejumlah surat kabar saat itu.
Dia sudah merasa mengemukakan konsep terbaiknya untuk
pengembangan mobil listrik. Tapi kok tidak saya panggil. Pikirnya.
Dulu saya memang belum bisa menerima keinginannya itu. Biarlah
satu orang dulu yang pulang: Ricky Elson. Kalaupun gagal agar hanya satu yang
jadi ”korban”.
Rasanya keputusan saya itu tepat. Program mobil listrik ternyata
kurang lancar. Bahkan menyakitkan.
Seandainya saya mengabulkan permintaan Dr Suyoto saat itu, tentu
rasa berdosa saya bisa berkepanjangan. Bisa sepanjang tali jagat. Sebab,
karier Dr Suyoto setelah itu ternyata luar biasa meroket.
Perusahaan-perusahaan Jepang terus memperebutkannya. Dengan
tawaran jabatan tertinggi sekalipun. Tertinggi yang pernah dikenal di Jepang
untuk orang Indonesia.
Kini, ketika Dr Suyoto curhat lagi soal kegelisahan jiwanya,
saya justru memberi saran yang lebih tegas: jangan dulu. Tetap berkarier saja
dulu di perusahaan asing.
”Pencapaian Anda saat ini,” kata saya kepadanya pekan lalu,
”sulit dicapai oleh siapa pun.” ”Dengan
pencapaian Anda sekarang ini, Anda adalah salah satu idola anak muda
Indonesia,” ucap saya.
Bayangkan, dulu dia adalah anak desa dari pedalaman Tuban,
Jatim, yang sangat miskin. Kini dia berhasil mencapai jabatan president director untuk sebuah
perusahaan Jepang yang sangat besar.
Bahkan, ketika akan ditugaskan memimpin perusahaan Jepang di
Indonesia pun, Suyoto berani mengajukan syarat begini: asal statusnya di
Indonesia adalah ekspatriat Jepang yang ditempatkan di Indonesia. Bukan orang
Indonesia yang menjadi direktur di perusahaan Jepang di Indonesia.
Syarat itu pun diterima pihak Jepang. Itu karena prestasi Dr
Suyoto memang istimewa. Maka jadilah Dr Suyoto orang pertama dalam sejarah
perusahaan Jepang: orang Indonesia yang ditugaskan ke Indonesia dalam
statusnya sebagai orang asing.
Dalam status seperti itu, Suyoto bisa mendapat semua fasilitas
yang diperoleh seorang presiden direktur asal Jepang. Termasuk bisa mendapatkan
hak libur ”pulang” ke Tokyo bersama istrinya yang asli Jombang dan
anak-anaknya.
Waktu tamat SMP, Suyoto hampir saja tidak bisa meneruskan ke
SMA. Tidak ada SMA di dekat desanya. Juga tidak ada biaya untuk
mengirimkannya ke Jatirogo, sebuah kota kecamatan yang ada SMA-nya.
Untung kakek yang mengasuhnya (ayah Suyoto, Rais, meninggalkan
istrinya merantau ke Kaltim) punya ide: menitipkan Suyoto ke Kiai Mawardi
untuk bisa tinggal secara gratis di Pondok Pesantren NU Sugihan di dekat SMA
Jatirogo.
Waktu SMA itu sebenarnya Suyoto naksir siswi tercantik di
kelasnya. Kepada siswi itulah Suyoto sering pinjam buku.
Yang kemudian membuatnya menjadi lulusan terbaik se-Kabupaten
Tuban. Hanya, lantaran statusnya amat miskin, Suyoto tidak bernyali mengutarakan
perasaannya.
Suyoto pun lantas merantau ke Surabaya. Karena sering juara di
sekolah, dia diterima kuliah di Fakultas Teknik Elektro ITS Surabaya.
Seorang dosen di situ, yang kebetulan memerlukan pembantu rumah
tangga, bersedia menampung Suyoto sekalian jadi pembantu serabutan.
Saat itu Suyoto sudah mengidolakan Prof Dr B.J. Habibie. Bahkan
sudah sejak masih SD. Maka ketika mendengar ada beasiswa dari BPPT yang
dipimpin Habibie, Suyoto ikut tes. Lulus.
Dia pun berangkat ke Jepang. Menyelesaikan S-1. Lalu mendapat
beasiswa dari Jepang untuk S-2, bahkan sampai S-3.
Beasiswa Habibie itulah yang terus menghantui jiwanya. Dr Suyoto
tidak ingin dianggap sebagai anak durhaka.
Saya tegaskan kepadanya bahwa mengabdi bisa di mana saja. Tidak
harus seperti Ricky atau R.J. Lino yang dulu juga sangat dikagumi di luar
negeri. Bisa pun menjadi idola anak muda Indonesia itu sudah merupakan
pengabdian yang luar biasa. Kita semua, waktu muda, memerlukan inspirasi dari
tokoh idola.
Saya melihat anak-anak muda Indonesia yang hebat, yang kini
berdiaspora di mana-mana, sebagai kekayaan nasional juga. Bukan pengabai
nasionalisme. Mereka adalah kekayaan networks kita.
Di zaman modern, ”network” adalah kekayaan nasional yang tidak
tepermanai. Bisa-bisa mengalahkan kekayaan alam.
Maka orang seperti Dr Suyoto harus kita lihat sebagai kekayaan
networks nasionalisme kita. Ini termasuk dalam nasmod yang saya maksud: nasionalisme modern.
Pengabdian itu begitu luas medannya. Apalagi, Dr Suyoto sudah
memutuskan untuk mendirikan wadah perjuangan atas fasilitas perusahaannya.
Namanya: Formasi-G. Kependekan dari Forum Komunikasi Masyarakat Indonesia
Berwawasan Global.
Dia himpun anak-anak muda kita di berbagai keahlian. Dia himpun
apa pun yang jadi unggulan Indonesia. Agar tidak jadi bangsa kalah. Saya
hadir waktu Formasi-G dideklarasikan pekan lalu di Universitas Indonesia
Jakarta.
Setidaknya Dr Suyoto kini sudah bisa tinggal di Jakarta. Dan
berhasil menyekolahkan anak-anaknya yang semula hanya bisa berbahasa Jepang
itu di Al Azhar Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar