Seni, Arsitektur, Alam
Bre Redana ; Penulis Kolom “UDAR RASA’ Kompas Minggu
|
KOMPAS,
20 Desember 2015
Pernahkah
Anda memperhatikan bagaimana gelap datang dan hitam tercipta?
Mempertimbangkan hubungan antara seni, arsitektur, alam, kehidupan, arsitek
Tadao Ando dan seniman James Turrell menciptakan ruangan di Chichu Art Museum
di pulau Naoshima, Jepang, yang membawa orang bukan saja pada pengalaman
visual, fisik, tapi pikiran, dan kemudian roh.
Dengan harus
melalui reservasi, pengunjung museum dibawa ke program Open Sky. Program ini
berlangsung 45 menit petang hari menyongsong jatuhnya malam.
Akhir
November lalu yang berarti awal musim dingin, petang datang lebih cepat di
Naoshima. Persis pukul 17.00 kami dibimbing masuk ruang segi empat, dengan
kemiringan dinding yang memungkinkan orang duduk bersandar dan dengan nyaman
melihat ke atas, pada atap bolong, mengkonfigurasi langit awan angkasa.
Dalam dingin
dan keheningan musim dingin, detik demi detik merangkak. Tak ada suara,
kecuali Anda mampu memaknai, bahwa jeda atau hening itu pun adalah bagian
dari bunyi. James Turrell, seniman Amerika yang sangat teliti memperhitungkan
cahaya dalam seni visualnya, mengendalikan cahaya lembut, kadang kehijauan,
oranye, merah jambu, putih, merespons bayangan malam yang melindap.
Lama-lama,
kami terbiasa dengan angkasa yang meremang. Pandangan kami menjadi lebih
tajam. Satu noktah bintang kami mampu melihatnya, sebelum muncul
bintang-bintang lain dengan nyala lebih terang berpendar-pendar.
Melalui
pengalaman ruang dari sebuah arsitektur yang percaya pada proses penjadian
alam, bahwa pada mulanya adalah cahaya, kami menjadi tersadar, dari mana
datangnya hitam. Kurang lebih: dari terang turun ke gelap. Lalu dari mana
datangnya putih, dari arsitektur yang hanya menghadirkan paduan warna
hitam-putih?
Mungkin
itulah yang hendak disampaikan oleh kolaborasi seni dan arsitektur di Chichu
Art Museum: kalau hitam tercipta dari proses terang turun ke gelap, maka
putih tercipta dari hitam menuju ke Yang Maha Pencipta.
Arsitektur
dalam hal ini bukan lagi urusan bagaimana menciptakan bangunan
magrong-magrong, apa-apa ada, superblock, one stop living, dan macam-macam
istilah yang digunakan oleh para pengembang. Sebagaimana puncak peciptaan
seni, seni yang baik bukan sekadar seni yang mampu menghadirkan impresi demi
membuat orang terpesona (dan beli), tetapi bagaimana membawa orang menuju
pengalaman estetik menyingkap keindahan semesta.
Naoshima
merupakan pulau kecil, sekitar sembilan jam dari Tokyo dengan naik kereta
supercepat, ditambah naik kereta biasa beberapa kali ganti di kota-kota
kecil, sebelum sampai pelabuhan penyeberangan yang akan membawa kita ke pulau
itu.
Tadinya
Naoshima pulau sederhana, berikut bangunan-bangunan kuno berusia ratusan
tahun yang dihidupi penduduk kampung dari generasi ke generasi. Kemudian,
sebuah yayasan yang bergerak di dunia pendidikan mencoba merevitalisasi pulau
itu, menjadikannya sebagai antithese dari metropolitan yang bising seperti
Tokyo.
Sejak awal
digulirkannya proyek ini sekitar 25 tahun lalu, arsitek Tadao Ando terlibat,
dengan membangun Benesse House Museum, Oval, Minamidera, serta Chichu Art
Museum tadi. Di samping itu, masih ada lagi pemanfaatan lanskap untuk
karya-karya di ruang terbuka, memajang karya seniman-seniman ternama, seperti
Yayoi Kusama, Niki de Saint Phalle, Walter De Maria, serta banyak lagi.
Pada zaman
ini, dunia arsitektur dan tata ruang lebih banyak dikuasai oleh pemodal untuk
kepentingan dagang. Lihat di televisi itu. Mereka memasarkan hunian mewah seperti
menjual pisang goreng, tanpa tenggang rasa. Mereka tak ambil peduli dengan
implikasi ruang yang mereka ciptakan. Bahwa space, ruang, di tangan arsitek
bisa menjelma sebagai masterpiece, sebaliknya juga bisa menjadi bencana
sosial.
Naoshima
adalah tempat ziarah seni dan arsitektur. Di situ arsitek dan seniman
menciptakan ruang internal manusia, untuk menyadari: tak ada yang lebih
menakjubkan dari karya Ilahi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar