Selasa, 22 Desember 2015

Apa Kabar Revolusi Mental?

Apa Kabar Revolusi Mental?

Mohammad Nuh  ;  Dosen Jurusan Teknik Elektro ITS dan Ketua PB NU
                                                    JAWA POS, 21 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SAAT kampanye calon presiden dan wakil presiden 2014, calon presiden Joko Widodo membuat ’’gebrakan’’ tentang pentingnya revolusi mental untuk menyelesaikan berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia. Apakah gagasan tersebut melalui kontemplasi panjang dan mendalam sehingga tahapan-tahapan implementasinya telah disiapkan dengan matang, atau impulsif yang pembenarannya dicarikan sembari waktu berjalan.

Terlepas mana yang benar, bila dilihat dari political marketing saat kampanye, gagasan tersebut berhasil menarik perhatian publik. Memang, dalam dunia politik, janji politik merupakan perkara yang bisa berbeda dengan apa yang harus dilakukan setelah terpilih menjadi presiden. Yang penting rakyat memilihnya, penunaian janji politik dipikirkan kemudian.

Ada tiga kelompok dalam menanggapi gagasan revolusi mental. Pertama, mereka yang memiliki ikatan emosional dengan capres Jokowi. Kelompok ini tentu menerima dan memperjuangkannya dengan sertamerta. Berbagai cara dilakukan untuk memengaruhi pandangan dalam membentuk opini publik, termasuk dominasinya di media massa dan media sosial. Hal itu wajar dan harus dilakukan agar gagasan sang jago bisa diterima publik.

Kedua, kelompok skeptis. Yakni, mereka yang meragukan kompetensi dan kapasitas capres Jokowi untuk memimpin gerakan yang sifatnya revolutif. Kelompok skeptis ini berkeyakinan, gagasan revolusi mental akan lenyap bersamaan dengan perjalanan waktu.

Ketiga, kelompok apresiatif-objektif. Yaitu, mereka yang menanggapi sebuah gagasan, dari siapa pun dan apa pun, dengan baik sepanjang bertujuan untuk kebaikan. Hal ini didasarkan atas pentingnya membangun tradisi dan budaya apresiatif, budaya berterima kasih. Mereka menganggap gagasan itu sebagai ’’ijtihad’’. Kalau salah dapat satu, kalau benar dapat dua. Kelompok ini tidak segan-segan memberikan masukan untuk menyempurnakannya, Namun, pada saat yang sama, mereka menolak gagasan yang dianggap tidak layak.

Ciri Khas Revolusi

Sebagaimana lazimnya, sebuah revolusi pasti terkait dengan perubahan yang sangat mendasar secara menyeluruh atau bersifat modifikatif dan berlangsung dalam periode waktu yang relatif singkat (Aristotle, Politics, 350 BC). Kalau perubahan dilakukan dalam waktu yang lama, namanya evolusi.

Dalam sejarah, revolusi selalu terkait erat dengan keberadaan aktor utama sebagai avant garde yang menjadi motor gerakan revolusi tersebut. Mulai konsep sampai gerakan di lapangan. Sebut saja: Vladimir Lenin (revolusi Bolshevik, 1917), Sun Yat Sen (revolusi Xinhai, 1911), Ayatollah Ruhollah Khomeini (revolusi Iran, 1979). Semua dilakukan dalam suasana gegap gempita dan sangat masif.

Namun, ada juga yang dilakukan secara diam-diam (tranquille atau quiette revolution) seperti yang terjadi di Kanada (Quebec, 1950-an) dengan tokoh sentral Jean Lesage. Biaya sosial, ekonomi, dan politik quiette revolution (soft revolution) jauh lebih rendah dibanding hard revolution.

Model soft revolution ini sering digunakan pada revolusi profetik yang dilakukan secara sistemis dan sistematis. Bahkan, terkadang proses perubahannya sendiri tidak te- rasa, meski secara substansi telah mengalami perubahan secara fundamental. Hal ini disebabkan pendekatan yang digunakan dalam melakukan perubahan adalah keutuhan antara kebenaran (logika), kebaikan (etika), dan keindahan (estetika). Manusia diletakkan sebagai pusat perubahan dengan memanusiakan manusia (humanizing the human being). Gerakan yang dilakukan Wali Sanga merupakan salah satu contoh revolusi profetik.

Jadi, ciri khas revolusi, baik ’’hard revolution’’ maupun ’’soft revolution’’, selalu ada tokoh sentral, ide, dan tahapannya sangat jelas dan matang, serta mampu menjadikan revolusi tersebut sebagai kebutuhan bersama dan sangat mendesak untuk dilakukan.

Bagaimana dengan Revolusi Mental?

Pertanyaan itu muncul dari mereka yang skeptis (kelompok kedua) yang sejak awal meragukan maupun kelompok ketiga yang ingin melihat kelayakan gagasan revolusi mental. Pertanyaan tersebut tidak boleh dijadikan sebagai pelemah atau pemberhenti, tetapi harus dijadikan media dialektika untuk saling memperkuat dan menyempurnakan. Untuk itu, diperlukan transformasi kepemilikan gerakan dari milik kandidat presiden yang eksklusif menjadi gerakan milik bersama yang inklusif. Dari saya menjadi kami dan kami menjadi kita.

Namun sayang, yang terjadi justru sering kali terjebak pada eksklusifikasi dan segmentasi rezim dengan memberikan label baru apa yang sudah ada untuk sekadar menjadi pembeda. Kalau revolusi mental dirancang sebagai soft revolution yang berkelanjutan, pasti lintas rezim pemerintahan, bahkan lintas generasi serta berskala besar. Karena itu, diperlukan sistem rekayasa sosial yang mampu mengemban tugas tersebut. Dan, sistem pendidikan merupakan sistem rekayasa sosial terbaik dan teruji untuk melakukannya. Melalui sistem pendidikan, peluang yang dihasilkan bukan hanya aspek mentalitas, melainkan sekaligus aspek pengetahuan dan keterampilan.

Sejatinya, yang kita butuhkan bukan sekadar masalah mental sebagai bagian dari sikap, melainkan keutuhan antara sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Kurikulum 2013 secara esensial dimaksudkan untuk menjawabnya, jauh sebelum digulirkan revolusi mental. Memang, kita diingatkan kembali dengan iklan revolusi mental yang gencar akhir-akhir ini sebagai pertanda bahwa revolusi mental sedang berproses.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar