Martabat Papa Minta Saham
Ponco Pamungkas ; Pengamat Budaya di Jakarta
|
KORAN
TEMPO, 18 Desember 2015
Ini sepenggal
dialog yang menyindir kasus "papa minta saham". "Setya Novanto
tidak minta saham. Yang minta saham Riza Chalid..". "Oh, jadinya
Setnov ngapain di situ?". "Emm... emm... Dia cuma nganterin Riza
ketemu bos Freeport, terus nungguin Riza ngobrol dengan bos Freeport soal
minta saham. Terus nganterin Riza pulang...". Muncul komentar nyengit,
"Ini Setnov Yang Mulia Ketua DPR atau driver Go-Jek sih?"
Pelbagai
gurauan, ejekan, juga cemoohan terus berseliweran di dunia maya setiap saat
untuk menyuarakan kemarahan masyarakat kepada perbuatan Setya. Wakil Presiden
Jusuf Kalla menyebut skandal "papa minta saham" sebagai skandal
terbesar di negeri ini.
Pada tahap
awal, masyarakat marah karena pucuk pimpinan lembaga wakil rakyat, yang tugas
utamanya mengawasi eksekutif, membuat undang-undang, dan memutuskan anggaran,
malah bertindak sebagai broker bisnis, pemburu rente dalam cara yang vulgar
dan jahat.
Kemarahan
tahap lanjut meledak atas respons Setnov yang dibela pendukungnya dengan
segala cara mengingkari, menyangkal, dan bahkan melawan segala fakta yang
secara kasat mata sudah dilihat oleh jutaan masyarakat. Setnov bahkan
melaporkan pengadu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, ke
Bareskrim Kepolisian atas tuduhan pencemaran nama baik. Luar biasa!
Masyarakat
marah karena ternyata Setnov, yang seharusnya dipanggil Yang Mulia karena
jabatannya, dan seharusnya pula menjadi teladan para penguasa negara,
ternyata tampak sama sekali tak bermartabat. Kata "tak bermartabat"
adalah padanan kata "tidak mempunyai harga diri" atau "tidak
tahu malu".
Ini kisah
imajinatif lanjutan kasus papa minta saham. Setnov betapa pun berusaha selalu
menjadi ayah yang baik bagi putrinya. Saat hendak menikahkan putrinya, ia
menawarkan hadiah yang diinginkan sang putri. Ia berjanji mengabulkannya.
Setnov bertanya, "Kamu minta apa, Sayang? Papa pasti penuhi." Sang
putri menjawab dengan tersipu-sipu sambil berbisik, "Malu, Pa."
Setnov kaget dan perlahan ia menjawab, "Maaf, Sayang, kalau yang itu
Papa tidak punya."
Harga diri
atau martabat atau rasa malu adalah suatu batasan nilai yang dianut oleh
masing-masing orang atau komunitas tertentu mengenai hal yang dianggap
menghinakan diri. Secara universal, martabat disebut sebagai tingkat harkat
kemanusiaan. Martabat adalah suatu pembeda bagi manusia dibandingkan dengan
makhluk lain di dunia.
Benarlah
kalimat mulia filsuf Yunani, Aristotle, "Martabat bukanlah soal memiliki
kehormatan, melainkan lebih ke soal memelihara kehormatan itu sendiri."
Tampaknya kita perlu menggarisbawahi kata "memiliki" dan
"memelihara" martabat. Dalam proses "memiliki" atau
mengemban martabat, faktor "memelihara" ini dalam budaya kita kerap
terabaikan. Praktek lazim di negara kita, sekali memiliki martabat, itu
cukup. Sedangkan memelihara martabat itu boleh iya, boleh tidak. Memiliki
martabat wajib. Memelihara martabat "sunah".
Di beberapa
negara lain, politikus yang membuat susah masyarakat dengan menggarong
kekayaan masyarakat dan negara adalah melanggar martabat sekaligus menabrak
hukum. Sedangkan di Indonesia, perbuatan seperti itu hanya pelanggaran hukum.
Karena itu,
sanksi hukum yang lebih berat dan konsisten perlu ditambah dengan sanksi
sosial. Contoh yang paling aktual sanksi sosial adalah ketidakhadiran
Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam resepsi pernikahan putri Setya
Novanto di hotel mewah di Jakarta pada awal bulan ini. Bahkan Kalla
mengatakan soal ketidakhadiran ini dengan lugas, "Perlulah ada sanksi
sosial." Benar kata Kanselir Jerman Angela Merkel bahwa, "Bila itu
sudah menyangkut martabat kemanusiaan, tak ada ruang untuk kompromi." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar