Selasa, 29 Desember 2015

Pola Acak Komunikasi Politik

Pola Acak Komunikasi Politik

  Gun Gun Heryanto  ;  Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
                                                KORAN SINDO, 28 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Salah satu penanda proses politik yang riuh rendah sepanjang 2015 adalah pola acak dalam komunikasi politik. Politisi yang bertarung tak selalu ajek dalam posisi politiknya, melainkan berubahubah seiring konteks kepentingan politik yang mereka miliki.

Karena itu, kita melihat meski di atas kertas ada polarisasi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP), sejatinya dalam praktik politik sangat cair, dinamis, dan mengedepankan politik konsensus. Beragam peristiwa politik yang hadir sepanjang tahun ini menjadi bukti peran signifikan komunikasi politik dalam mengatasi kebuntuan hubungan.

Hubungan Semu

Realitas politik menggambarkan bahwa hubungan kekuasaan belum atau mungkin tak lagi dipandu oleh pilihan ideologis. Dalam keacakan beragam peristiwa politik, proses komunikasi politiknya lebih dominan mengarah ke lobi dan transaksi. Di panggung politik kekinian, Jokowi-JK pun berkutat dengan beragam tekanan yang harus diselesaikan lewat komunikasi antarpribadi dan lobi yang intens.

Pertama, pola hubungan DPR dengan pemerintah yang mengalami dialektika relasional. Awal tahun ini, kita mencatat tesis Juanz Linz dalam tulisannya, The Failure of Presidential Democracy: Comparative Perspectives (1994), bahwa sistem presidensial memunculkan pola hubungan yang tidak harmonis akibat minimnya konsultasi dua lembaga, tidak sepenuhnya tepat.

Lizn percaya akan ada dual legitimacy karena eksekutif dan legislatif yang merasa pilihan rakyat samasama merasa berhak menentukan arah kebijakan nasional sehingga memunculkan ancaman disintegrasi, terutama saat dua lembaga ini berbeda orientasinya. Dalam perspektif Linz, sistem pemerintahan Indonesia bisa dikategorikan sebagai presidensialisme dengan sistem multipartai yang terfragmentasi kuat (a highly fragmented multiparty system) dan ini dipandang sebagai kombinasi rumit yang diprediksi mengalami kebuntuan politik.

Di awal perjalanan Jokowi-JK dan saat terjadi perebutan kekuasaan alat kelengkapan dewan yang dipicu oleh perubahan UU MD3, tesis kebuntuan politik hampir nyata adanya. Terutama, saat mengemukanya istilah pemerintahan yang terbelah. Hanya, situasiinitakberlangsung lama, ketika muncul inisiatif dari politisi untuk mengambil pola lama yang dikembangkan hampir semua presiden pascareformasi yakni model konsensus di tengah pola acak yang terjadi.

Jokowi mengakomodasi tekanan partai penyokong utama kekuasaan yakni PDIP dengan melakukan reshuffle pertama di beberapa pos dan mendepak beberapaorangyangtidakterlalu kuat back up politiknya untuk memuluskan langkah konsensus. Tak berhenti di situ, komunikasi dua tahap pun dijalankan Jokowi dengan hampir semua kekuatan nyata di DPR lewat pengendalian orang-orang kunci yang bisa mengubah konfigurasi kekuatan di DPR.

Jokowi membangun kerja public relations politik dan persuasif memasukan PAN ke dalam gerbong partai-partai pendukung kekuasaan. Gayung bersambut, PAN pun menerima dan mendeklarasikan secara simbolik dukungannya kepada pemerintah di Istana. Tapi, “tak ada makan siangyanggratis!” Keberlanjutan dukungan PAN pun akan sangat dipengaruhi konsesi politik dari pihak Jokowi.

Akankah reshuffle kabinet kedua berlangsung segera untuk mengakomodasi PAN dalam kekuasaan? Perubahan peta sepanjang 2015 pun sangat dipengaruhi oleh konflik internal yang dialami partai-partai di luar kekuasaan misalnya yang terjadi di Partai Golkar dan PPP. Hingga sekarang dua partai tersebut belum mencapai rekonsiliasi yang utuh. Variabel ini pun menjadi bacaan penting untuk melihat pola acak yang terjadi di jagat politik nasional.

Sangat mungkin, awal 2016 akan ada kejutan perubahan kongsi politik di antara partaipartai setelah melalui fase turbulensi tahun ini. Tentu, memiliki efek domino pada pola hubungan kuasa antara Jokowi-JK dan eksekutif yang dipimpinnya dengan legislatif yang saat ini berada di titik nadir akibat kisruh persoalan etika dan pertarungan politik di MKD yang meniscayakan Ketua DPR Setya Novanto mengundurkan diri.

Kedua, pola acak juga terjadi dalam penyelenggaraan demokrasi elektoral di daerah. Pilkada serentak di 265 daerah dari 269 yang direncanakan memperlihatkan koalisi partai politik di level nasional tidak berimbas pada peta kekuatan di daerahdaerah. Tak ada koalisi permanen, yang ada kongsi politik pragmatis. Tak ada KIH dan KMP di pilkada, pun demikian tak ada basis ideologi maupun kongsi berdasarkan platform partai, yang ada adalah pendekatan struktur peluang.

Basis struktur peluang itu selalu tiga variabel dominan yakni probabilitas perolehan suara dari paket yang didorong, biaya pertarungan (cost of entry) yang akan ditanggung siapa, dan skema keuntungan kekuasaan (benefit of office).

Realitas tersebut meneguhkan bahwa di satu sisi keacakan pola membuat hubungan-hubungan politik tidak buntu, tetapi juga di sisi lain berpotensi kuatnya pragmatisme berbasis politik transaksional. Hubungan untuk tidak saling menegasikan, melainkan saling merangkul dan mengakomodasi bisa juga semakin meneguhkan hubungan semu, palsu, artifisial, dan saling menelikung!

Mengelola Hubungan

Beragam pertarungan yang mengemuka sepanjang 2015 dikhawatirkan berimbas pada rakyat di tengah the clash of the titans. Misalnya, makin mulusnya revisi UU KPK yang tidak bermotif penguatan, melainkan pelemahan.

Diusungnya para komisioner KPK oleh politisi Senayan yang tidak terlalu memuaskan publik sehingga melemahkan dukungan arus bawah pada institusi ini. Tetap diakomodasinya dana aspirasi, anggaran gedung baru DPR, dan lain-lain hasil negosiasi untuk memuluskan pengesahan APBN 2016. Pun demikian dengan reshuffle kabinet. Sejatinya, alasan terjadi perombakan adalah perbaikan kinerja dan performa kabinet.

Karena itu, standar yang digunakan seharusnya indeks performa kinerja para menteri yang harus dipantau oleh Jokowi selaku pemilik hak prerogatif. Keliru jika perombakan sekadar memuaskan para pemburu kekuasaan, terutama untuk memberi kursi pada para “pedagang” yang datang kemudian. Tak salah jika pemerintah berupaya mencari titik keseimbangan politik dengan mengelola hubungan. Tetapi, sejarah membuktikan koalisi besar partai politik dalam kekuasaan pun belum menjamin tak ada gangguan dari mereka yang diberi jatah di pemerintahan.

Banyak partai yang berjalan dengan rasionalitas dan kepentingannya sendiri-sendiri sehingga tak merasa punya tanggung jawab moral dan organisasional untuk loyal serta berkhidmat pada rakyat melalui kejelasan posisi politiknya. Kekuasaan memang selalu memberi pilihan dilematis antara mengelola keseimbangan politik berbasis zona nyaman elite dan mengelola hubungan dengan poros utama kerja untuk rakyat.

Akar kekuasaan bagaimanapun bersumber dari mandat rakyat. Karena itu, jangan sampai mengelola hubungan di tengah keacakan pola hubungan membuat penguasa abai pada ikrarnya yakni bekerja untuk rakyat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar