Sabtu, 26 Desember 2015

Pengunduran Diri Dirjen Pajak

Pengunduran Diri Dirjen Pajak

  Salahuddin Wahid  ;  Pengasuh Pesantren Tebuireng
                                                      KOMPAS, 26 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Rekaman pembicaraan Setya Novanto (SN), Mohammad Riza Chalid (MR), dan Maroef Sjamsoeddin (MS) diputar di persidangan Mahkamah Kehormatan Dewan dan transkrip rekamannya  beredar luas. Transkrip tersebut memancing berbagai lapisan masyarakat untuk memberikan pendapatnya dari segala sisi hukum, etika, politik, dan ekonomi.

Yang menarik, belum ada satu pihak pun  menyinggung pembicaraan antara SN, MR, dan MS tentang bagaimana sepak terjang Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meresahkan mereka. MR menyebutkan bahwa (kini) pajak gila dan dahsyat. MS menyebutkan bahwa segala macam "dipajakin", yang dijawab "hancur" oleh SN.

Masalah Freeport ternyata lebih seksi bagi masyarakat dibandingkan masalah tidak tercapainya target penerimaan pajak, padahal pajak adalah segalanya bagi masa depan Indonesia. Pembicaraan mereka di atas menunjukkan bahwa DJP sudah bekerja keras sehingga membuat pengusaha dan orang kaya (hanya yang tak membayar pajak dengan benar) menjadi resah serta tidak nyaman ketika DJP meminta wajib pajak (WP) memenuhi kewajibannya membayar pajak dengan benar dan jujur.

Lalu, apa penyebab target DJP tidak pernah tercapai dalam lima tahun terakhir ini, bahkan pada akhir November 2015 target baru mencapai 68-70 persen dari rencana Rp 1.294 triliun. Tampaknya peningkatan target pajak yang tinggi tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas DJP yang memadai dan signifikan. Peningkatan kapasitas sangat erat kaitannya dengan kelenturan DJP dalam memenuhi kapasitasnya dan sayangnya DJP belum memiliki sejumlah wewenang yang dimiliki oleh otoritas pajak di negara maju.

Sejak masa pemilihan, Presiden Joko Widodo berencana melaksanakan redesain fiskal, termasuk di dalamnya memisahkan DJP dari Kementerian Keuangan, dengan catatan proses dari pelaksanaan tersebut harus diawasi dengan ketat agar DJP tidak hanya berganti baju, tetapi benar-benar bertransformasi menjadi otoritas pajak yang modern dan luwes dalam menyesuaikan kapasitasnya.

Transformasi DJP

Apakah target pajak hanya dapat dicapai oleh DJP sendirian? Sudah tentu tidak. Sistem self assessment (sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada WP untuk menghitung/memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan) yang kita anut membutuhkan prasyarat utama yang wajib dipenuhi jika ingin otoritas pajak lancar memungut pajak tanpa harus mengganggu stabilitas ekonomi, terutama dalam meningkatkan basis pajak yang diharapkan kelak akan mampu mendorong pencapaian target pajak, bahkan dimungkinkan mengurangi tarif pajak tanpa mengorbankan penerimaan negara.

Prasyarat utama itu dibutuhkan jika kita ingin DJP mampu memenuhi target sehingga  tidak mengancam penggajian aparat negara, upaya pemenuhan hak-hak dasar rakyat, serta kapasitas negara secara hankam (pertahanan dan keamanan) karena tidak tersedianya alutsista yang cukup dan modern.

Jika sistem perpajakan di Indonesia terutama otoritas pajak tidak dibenahi, pengunduran diri Sigit Pramudito dari kursi dirjen pajak tidak bermakna apa-apa, tidak akan berdampak positif secara berarti (signifikan) terhadap perbaikan kinerja dalam penerimaan pajak. Penggantinya, Ken Dwijugiasteadi, pun akan kesulitan mengumpulkan penerimaan pajak sesuai dengan target yang ditetapkan. Itu berarti kita akan terus meningkatkan utang pemerintah untuk membiayai APBN yang kian meningkat.

Di awal terpilihnya Sigit sebagai Dirjen Pajak, pengamat perpajakan Prastowo dan Danny Darussalam mengingatkan pemerintah untuk tidak memberikan target yang tinggi terhadap DJP agar dirjen pajak terpilih dapat lebih fokus ke perbaikan internal, terutama proses transformasi DJP menjadi Badan Penerimaan Pajak. Selain hal tersebut, patut dipertanyakan seberapa besar kemampuan DJP dalam memengaruhi keputusan target pajak  serta bagaimana tanggung jawab pihak yang menetapkan target serta kebijakan fiskal yang memengaruhi penerimaan pajak.

Tidak adil rasanya jika kegagalan dalam mencapai penerimaan hanya dibebankan kepada DJP, terbukti bahwa pengusaha MR dan MS (eksekutif perusahaan multinasional PT Freeport Indonesia) serta politikus elite SN merasa terganggu oleh kerja baik DJP.

Berbagai strategi di awal tahun yang dicanangkan oleh DJP satu per satu gugur karena mengganggu kepentingan orang kaya (catat bukan kepentingan nasional), mulai dari permintaan ke bank terkait bukti potong atas bunga yang merupakan hak administrasi pajak, akses data perbankan, PPN untuk jalan tol, sampai dengan tidak adanya perhitungan atas biaya yang timbul akibat restitusi pajak. Fakta bahwa dirjen pajak selevel eselon  satu dan seluruh pimpinannya masih menjadi bawahan Kementerian Keuangan tentu memberikan beban tersendiri dalam memberikan pendapat.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebijakan ekonomi, apalagi pemberian insentif, lebih banyak dikeluarkan oleh Kantor Menkeu dibandingkan oleh Kantor DJP. Tentunya slogan pajak milik bersama bukan hanya slogan belaka, melainkan juga cermin bagi sumbangsih semua elemen bangsa. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan ada yang bersedia menjadi whistle blower (pengungkap kasus) atau justice collaborator untuk dapat mengungkap bentuk penghindaran pajak sampai dengan pidana pajak.

Pemerintah perlu menyiapkan aturan yang dapat memberikan perlindungan hukum serta reward kepada siapa pun yang menjadi pengungkap kasus atau justice collaborator. Pemberlakuan single identity number harus dihidupkan kembali karena kegunaannya sangat tinggi bagi negeri ini, tidak hanya dari sisi pajak, tetapi juga dari sisi keamanan, pemerataan kesejahteraan, jaminan sosial, pemberantasan korupsi, juga tertib administrasi kependudukan dan sebagainya.

Dukungan Presiden

Pemerintah Jokowi-Kalla sangat diharapkan mendukung upaya peningkatan penerimaan negara demi mewujudkan pembiayaan pembangunan secara mandiri. Perlu kita sadari bersama bahwa pajak adalah masa depan Indonesia. Peran aktif Presiden dan Wakil Presiden menjadi prasyarat utama bagi masalah tersebut jika ingin strategi di atas sukses, di dalam tiga hal, yaitu pertama, memberikan dukungan politik dan perlindungan atas segala upaya sesuai kewenangan DJP berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan strategi tersebut.

Kedua, mengawasi dan memastikan perubahan DJP serta fleksibilitas kewenangan internal dalam manajerial SDM, IT, dan anggaran sesuai dengan otoritas pajak negara modern lainnya. Terakhir, tidak melakukan pemotongan terhadap penghasilan pegawai pajak apabila target pajak tidak tercapai, karena pemotongan tersebut akan menimbulkan masalah baru seperti demotivasi dan perubahan perilaku. Apalagi kalau kita mengingat target satu atau dua tahun mendatang akan meningkat menjadi kurang lebih Rp 1.500 triliun. Hal tersebut belum ditambah beban administrasi atas pelaksanaan amnesti pajak apabila jadi diterapkan.

Ada baiknya Presiden bersikap bijak untuk hal itu dengan tidak mengorbankan tujuan utama, yaitu peningkatan penerimaan dengan merevisi peraturan presiden yang mengatur penghasilan pegawai pajak.  Mempertaruhkan penerimaan negara dengan memotong penghasilan pegawai pajak terlalu riskan mengingat peningkatan penerimaan pajak tahun depan sangat tinggi dan biaya pengumpulan pajak (cost of collection) kita masih rendah dibandingkan negara lain. Ketiga hal tersebut merupakan sesuatu yang mutlak agar strategi penerimaan pajak berjalan efektif  tanpa menimbulkan kegaduhan ekonomi sehingga pembiayaan negara secara mandiri dapat terwujud.

Pengunduran diri dirjen pajak yang tidak bermasalah merupakan contoh kenegarawanan dibandingkan sikap ketua DPR (dan sejumlah petinggi negara lain) yang tetap ngotot pada jabatannya walaupun bermasalah secara etika atau kinerjanya kurang baik. Saya memaknai pengunduran diri dirjen pajak itu sebagai tindakan untuk mengingatkan kita bahwa ada sejumlah masalah dalam aspek  kelembagaan, kewenangan, dukungan politik, dan lain-lain yang perlu diperbaiki, apabila kita ingin meningkatkan penerimaan pajak yang menjadi andalan masa depan Indonesia. Peringatan itu perlu kita hargai dengan melaksanakan sebisa mungkin sejumlah catatan di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar