Jumat, 11 Desember 2015

Rekonsiliasi dalam Tubuh Bangsa

Rekonsiliasi dalam Tubuh Bangsa

Iwan Meulia Pirous  ;  Staf Peneliti Pusat Kajian Antropologi Universitas Indonesia
                                                      KOMPAS, 11 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Penegakan hak asasi manusia akan basi tanpa menyentuh pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara. Rekonsiliasi adalah tanda bahwa negara mengakui dirinya sebagai anti demokratis, otoriter, dan sedang ingin berubah.

Oleh karena itu, rekonsiliasi dapat terjadi dengan pola yang berbeda-beda di tiap negara, seiring dengan kerelaannya untuk menerima substansi HAM dalam praktik demokrasi. Pada titik minimal, negara harus mengakui pelanggaran HAM berat yang dilakukannya dan meminta maaf secara resmi terhadap warga negara yang menjadi korban dan memberikan ganti rugi.

Negara-negara yang tercatat melakukan rekonsiliasi konflik pada tahun 1980-an, seperti Cile dan Argentina, menempuh cara itu. Tidak ada pengadilan terbuka yang menyeret pelanggar HAM satu per satu.

Afrika Selatan pada tahun 1990 melakukan langkah lebih jauh lagi, yaitu melakukan pengadilan terhadap para petinggi militer dan mereka diharuskan menyatakan penyesalan atas segala tindakan kekerasan rasial, penculikan, dan rangkaian pembunuhan untuk kemudian diganjar hukuman penjara. Namun, hukuman penjara yang dijatuhkan ringan saja, sekitar 5 tahun.

Kini para penjahat kemanusiaan itu sudah melenggang bebas. Apakah itu adil? Tentu saja dari kacamata korban sangat tak adil walau jauh lebih baik daripada tak dilakukan sama sekali.

Tidak ada jalan mudah

Rekonsiliasi adalah proses berjalan di atas semak berduri karena menghadapkan dua pihak yang saling melakukan klaim diri sebagai korban dan sebagai pelaku kejahatan. Episode pertemuan antara korban dan pelaku untuk membicarakan penyiksaan, kesedihan, dan kemarahan menjadi hal yang terjal, menyakitkan dua belah pihak. Pelaku merasa sebagai abdi negara yang taat melaksanakan tugas, sementara korban-yang sering kali massal-adalah subyek-subyek yang dihabisi hak asasinya tanpa sebab-sebab yang dipahaminya.

Menempatkan rekonsiliasi sebagai persoalan hukum teknis artinya menyelenggarakan ratusan pengadilan secara maraton dengan ratusan kesaksian, dan mengulang-ulang rasa sakit yang meletihkan itu. Lalu kapankah berhenti?

 Rekonsiliasi yang mulanya dilakukan secara teknis harus bertransformasi ke ranah simbolis untuk mencapai tujuan, yaitu menyembuhkan luka bangsa. Bangsa diibaratkan sebagai tubuh yang menderita sakit dan perlu disembuhkan agar sehat kembali. Menjadi bermakna bukan karena memenuhi keadilan setiap orang secara spesifik sebagai korban langsung, tetapi dengan itu ia menyentuh kita semua, terutama generasi muda sebagai anggota bangsa yang secara simbolis juga jadi korban.

Rekonsiliasi mencapai puncak ketika maknanya menjadi umum dan inklusif, seperti "perdamaian, pemaafan, penyesalan, dan pengakuan atas kesalahan" dalam skala bangsa. Dalam tahap ini ruang-ruang dialog akan terbuka lebih lebar. Warga negara akan aktif mempertanyakan apa yang sesungguhnya terjadi dan bagaimana menyelesaikan konflik-konflik tersebut.

Nelson Mandela jadi ikon rekonsiliasi bukan karena keberhasilannya menghapus politik apartheid dan menghadapkan sejumlah penjahat HAM ke pengadilan. Kekuatannya terletak pada kemampuannya mencari simbol persatuan Afrika Selatan yang terbelah karena konflik rasial. Keberhasilannya adalah karena keyakinan untuk memanusiakan siapa pun warga negara Afrika Selatan demi kebaikan bangsa. Tubuh seakan berekonsiliasi dengan dirinya sendiri.

Bagaimana Indonesia? Dalam konteks Indonesia, dengan kepercayaan buta anti komunisme, peristiwa 1965 sudah dianggap tutup buku. Negara menuduh peristiwa pemberontakan dan makar Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai kebenaran mutlak dan menutupnya dengan kesimpulan mati. Fakta-fakta baru ditolak. Konsekuensinya, negara enggan hadir mengisi ruang penegakan HAM yang paling krusial, yaitu pengakuan resmi tentang pembunuhan massal, penahanan tanpa pengadilan, dan penyiksaan.

Maka, secara normatif kebencian warga terhadap korban dimaklumi dan diwajarkan. Melalui strategi warisan Orde Baru, negara aktif merekrut opini publik sebagai komponen bangsa untuk terus memelihara rasa benci terhadap apa pun terkait dengan PKI. Keberhasilan penulisan sejarah nasional dalam menyebarkan hantu komunisme sudah menjadi kebudayaan dominan.

Pada situasi ini, adanya korban ratusan ribu sampai sejuta lebih jadi kalah jumlah dibandingkan besarnya kebencian pada komunisme yang benihnya ditanam setengah abad lalu. Kaum kontra- rekonsiliasi yang selalu menggunakan alasan bahwa kaum komunis juga melakukan pembantaian horizontal menjadi tanda kegagalan untuk membedakan antara perkara pidana biasa dan pelanggaran HAM berat secara vertikal ketika negara terlibat.

 Rekonsiliasi untuk penegakan HAM adalah mutlak. Pemerintah Indonesia perlu paham bahwa rekonsiliasi bukan sebuah pengadilan "balas dendam". Memang akan ada sederet tersangka dan tumpukan tuduhan yang idealnya harus dibuka transparan. Hal terbesar adalah mulai dari pengakuan resmi negara terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pada periode 1965-1979 dan menyebutkan auktor-auktornya yang bertanggung jawab.

Jadi beban sejarah

Jika mengharap pengadilan dan pemenjaraan terlalu memalukan, maka pengakuan dan permintaan maaf cepat atau lambat harus segera dilakukan. Mencegah keadilan tegak dan kebenaran untuk terbuka memiliki batas sebab waktu terus berjalan. Generasi muda sangat haus kebenaran sejarah dan mereka bergerak untuk mengerti.

 Sidang Pengadilan Rakyat Tribunal di Den Haag, Belanda, mengundang reaksi negatif dari Indonesia selaku tergugat. Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa sidang itu main-main, bikinan Belanda yang melanggar HAM lebih besar.  Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan bereaksi keras mengatakan bahwa siapa pun orang Indonesia yang terlibat adalah musuh negara.

Pernyataan tersebut bermakna bahwa negara dan bangsa memang memiliki perbedaan arti mendasar bergantung siapa yang mengucapkannya. Perbedaan ini mengklarifikasi pernyataan teoretis marxisme tentang kedudukan negara dan warga negara, yaitu bahwa negara adalah mesin yang digunakan elite politik untuk melindungi kepentingan sekelompok kecil. Namun, jika perspektif bangsa digunakan, maka rekonsiliasi adalah kesempatan negara untuk memperlihatkan sifat-sifat alamiah negara yang baik terhadap pembinaan kehidupan berbangsa, yaitu menyatukan warga negara dan menyelesaikan konflik.

Generasi muda berhak hidup tanpa beban sejarah di pundak mereka dan negara bertanggung jawab membela hak mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar