Rekonsiliasi dalam Tubuh Bangsa
Iwan Meulia Pirous ; Staf Peneliti Pusat Kajian Antropologi
Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
11 Desember 2015
Penegakan hak asasi
manusia akan basi tanpa menyentuh pelanggaran HAM berat yang dilakukan
negara. Rekonsiliasi adalah tanda bahwa negara mengakui dirinya sebagai anti
demokratis, otoriter, dan sedang ingin berubah.
Oleh karena itu,
rekonsiliasi dapat terjadi dengan pola yang berbeda-beda di tiap negara,
seiring dengan kerelaannya untuk menerima substansi HAM dalam praktik
demokrasi. Pada titik minimal, negara harus mengakui pelanggaran HAM berat
yang dilakukannya dan meminta maaf secara resmi terhadap warga negara yang
menjadi korban dan memberikan ganti rugi.
Negara-negara yang
tercatat melakukan rekonsiliasi konflik pada tahun 1980-an, seperti Cile dan
Argentina, menempuh cara itu. Tidak ada pengadilan terbuka yang menyeret
pelanggar HAM satu per satu.
Afrika Selatan pada
tahun 1990 melakukan langkah lebih jauh lagi, yaitu melakukan pengadilan
terhadap para petinggi militer dan mereka diharuskan menyatakan penyesalan
atas segala tindakan kekerasan rasial, penculikan, dan rangkaian pembunuhan
untuk kemudian diganjar hukuman penjara. Namun, hukuman penjara yang
dijatuhkan ringan saja, sekitar 5 tahun.
Kini para penjahat
kemanusiaan itu sudah melenggang bebas. Apakah itu adil? Tentu saja dari
kacamata korban sangat tak adil walau jauh lebih baik daripada tak dilakukan
sama sekali.
Tidak ada jalan mudah
Rekonsiliasi adalah
proses berjalan di atas semak berduri karena menghadapkan dua pihak yang
saling melakukan klaim diri sebagai korban dan sebagai pelaku kejahatan.
Episode pertemuan antara korban dan pelaku untuk membicarakan penyiksaan,
kesedihan, dan kemarahan menjadi hal yang terjal, menyakitkan dua belah
pihak. Pelaku merasa sebagai abdi negara yang taat melaksanakan tugas,
sementara korban-yang sering kali massal-adalah subyek-subyek yang dihabisi
hak asasinya tanpa sebab-sebab yang dipahaminya.
Menempatkan
rekonsiliasi sebagai persoalan hukum teknis artinya menyelenggarakan ratusan
pengadilan secara maraton dengan ratusan kesaksian, dan mengulang-ulang rasa
sakit yang meletihkan itu. Lalu kapankah berhenti?
Rekonsiliasi yang mulanya dilakukan secara
teknis harus bertransformasi ke ranah simbolis untuk mencapai tujuan, yaitu
menyembuhkan luka bangsa. Bangsa diibaratkan sebagai tubuh yang menderita
sakit dan perlu disembuhkan agar sehat kembali. Menjadi bermakna bukan karena
memenuhi keadilan setiap orang secara spesifik sebagai korban langsung, tetapi
dengan itu ia menyentuh kita semua, terutama generasi muda sebagai anggota
bangsa yang secara simbolis juga jadi korban.
Rekonsiliasi mencapai
puncak ketika maknanya menjadi umum dan inklusif, seperti "perdamaian,
pemaafan, penyesalan, dan pengakuan atas kesalahan" dalam skala bangsa.
Dalam tahap ini ruang-ruang dialog akan terbuka lebih lebar. Warga negara
akan aktif mempertanyakan apa yang sesungguhnya terjadi dan bagaimana
menyelesaikan konflik-konflik tersebut.
Nelson Mandela jadi
ikon rekonsiliasi bukan karena keberhasilannya menghapus politik apartheid
dan menghadapkan sejumlah penjahat HAM ke pengadilan. Kekuatannya terletak
pada kemampuannya mencari simbol persatuan Afrika Selatan yang terbelah
karena konflik rasial. Keberhasilannya adalah karena keyakinan untuk
memanusiakan siapa pun warga negara Afrika Selatan demi kebaikan bangsa.
Tubuh seakan berekonsiliasi dengan dirinya sendiri.
Bagaimana Indonesia?
Dalam konteks Indonesia, dengan kepercayaan buta anti komunisme, peristiwa
1965 sudah dianggap tutup buku. Negara menuduh peristiwa pemberontakan dan
makar Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai kebenaran mutlak dan menutupnya
dengan kesimpulan mati. Fakta-fakta baru ditolak. Konsekuensinya, negara
enggan hadir mengisi ruang penegakan HAM yang paling krusial, yaitu pengakuan
resmi tentang pembunuhan massal, penahanan tanpa pengadilan, dan penyiksaan.
Maka, secara normatif
kebencian warga terhadap korban dimaklumi dan diwajarkan. Melalui strategi
warisan Orde Baru, negara aktif merekrut opini publik sebagai komponen bangsa
untuk terus memelihara rasa benci terhadap apa pun terkait dengan PKI.
Keberhasilan penulisan sejarah nasional dalam menyebarkan hantu komunisme
sudah menjadi kebudayaan dominan.
Pada situasi ini,
adanya korban ratusan ribu sampai sejuta lebih jadi kalah jumlah dibandingkan
besarnya kebencian pada komunisme yang benihnya ditanam setengah abad lalu.
Kaum kontra- rekonsiliasi yang selalu menggunakan alasan bahwa kaum komunis
juga melakukan pembantaian horizontal menjadi tanda kegagalan untuk
membedakan antara perkara pidana biasa dan pelanggaran HAM berat secara
vertikal ketika negara terlibat.
Rekonsiliasi untuk penegakan HAM adalah
mutlak. Pemerintah Indonesia perlu paham bahwa rekonsiliasi bukan sebuah
pengadilan "balas dendam". Memang akan ada sederet tersangka dan
tumpukan tuduhan yang idealnya harus dibuka transparan. Hal terbesar adalah
mulai dari pengakuan resmi negara terhadap kejahatan kemanusiaan yang
dilakukan pada periode 1965-1979 dan menyebutkan auktor-auktornya yang
bertanggung jawab.
Jadi beban sejarah
Jika mengharap
pengadilan dan pemenjaraan terlalu memalukan, maka pengakuan dan permintaan
maaf cepat atau lambat harus segera dilakukan. Mencegah keadilan tegak dan
kebenaran untuk terbuka memiliki batas sebab waktu terus berjalan. Generasi
muda sangat haus kebenaran sejarah dan mereka bergerak untuk mengerti.
Sidang Pengadilan Rakyat Tribunal di Den
Haag, Belanda, mengundang reaksi negatif dari Indonesia selaku tergugat.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan bahwa sidang itu main-main, bikinan
Belanda yang melanggar HAM lebih besar.
Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan bereaksi
keras mengatakan bahwa siapa pun orang Indonesia yang terlibat adalah musuh
negara.
Pernyataan tersebut
bermakna bahwa negara dan bangsa memang memiliki perbedaan arti mendasar
bergantung siapa yang mengucapkannya. Perbedaan ini mengklarifikasi
pernyataan teoretis marxisme tentang kedudukan negara dan warga negara, yaitu
bahwa negara adalah mesin yang digunakan elite politik untuk melindungi
kepentingan sekelompok kecil. Namun, jika perspektif bangsa digunakan, maka
rekonsiliasi adalah kesempatan negara untuk memperlihatkan sifat-sifat
alamiah negara yang baik terhadap pembinaan kehidupan berbangsa, yaitu
menyatukan warga negara dan menyelesaikan konflik.
Generasi muda berhak
hidup tanpa beban sejarah di pundak mereka dan negara bertanggung jawab
membela hak mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar