Rabu, 30 Desember 2015

Drama Politik yang Menjemukan

Drama Politik yang Menjemukan

  Anna Luthfie  ;  Ketua DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo)
                                                KORAN SINDO, 29 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ketika Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR sedang bersiap menyiapkan putusan bagi Setya Novanto atas laporan pelanggaran etik anggota Dewan yang dilaporkan oleh Menteri ESDM Sudirman Said, Presiden Joko Widodo sedang bercengkerama dengan para pelawak dan komik, para komedian jenakata (stand-up comedy). Entah kebetulan atau tidak, banyak pemerhati politik melihat, ini cara Jokowi menyatakan sikap. Ada yang lebih lucu dari drama MKD di Senayan yaitu lawakan para komik.

Drama politik lainnya juga terlihat sebelumnya tentang sosok Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli. Sesaat setelah dilantik, Rizal begitu agresif mengkritik langkah pemerintah. Sebut saja soal pembangunan megaproyek listrik 35.000 megawatt (MW) yang disebutnya tidak realistis dan diturunkan menjadi 16.000 MW. Persoalan proyek prestisius Jokowi tersebut sampai membuat Rizal Ramli menantang JK untuk berdebat di hadapan publik terkait proyek ini. Publik pun menduga-duga, apa tidak salah pilih Jokowi menunjuk Rizal masuk dalam kabinetnya dan membawa kegaduhan di internal pemerintahan.

Sejumlah analis pun menduga ini bagian dari strategi Jokowi untuk mengimbangi pengaruh Jusuf Kalla. Diakui atau tidak, Kalla menjadi kekuatan politik tersendiri dalam pemerintahan ini. Pengalaman di rezim SBY di mana Kalla seakan lebih dominan dari presiden tentu menjadi kekhawatiran sendiri bagi Jokowi dan tentu saja bagi PDIP sebagai partai politik pengusung utamanya.

Tidak heran jika kemudian pernyataan anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu, yang mengatakan kegaduhan satu tahun kabinet Joko Widodo dan Jusuf Kalla lebih banyak terletak pada Kalla yang menjadi sumbernya. Pernyataan Masinton ini pun dibantah juru bicara wakil presiden, Husain Abdullah, yang mengatakan tuduhan yang dilemparkan politikus PDIP tersebut justru membuat kegaduhan baru yang tidak perlu.

Di penghujung 2015 ini publik masih saja disuguhi drama politik. Sepanjang 2015 itulah yang dominan terjadi. Panggung politik masih dipenuhi drama-drama politik yang lebih banyak pada domain elite.

Dimulai dengan terbentuknya DPR 2014-2019 yang terbelah dengan hadirnya Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung pemerintah dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang berada di luar pemerintahan. Dua kekuatan ini saling berhadapan dalam sejumlah kasus, sebut saja soal pemilihan pimpinan DPR dan MPR, mekanisme pilkada, pemilihan kapolri, dan pemilihan jaksa agung. Dalam sejarah, pengangkatan jaksa agung dari unsur partai politik baru kali ini terjadi.

Kegaduhan tidak berhenti di sini, polemik pemilihan kapolri merembet pada ketegangan hubungan Polri dan KPK terkait penetapan tersangka Komjen Budi Gunawan yang kemudian dinilai tidak sah di praperadilan. Ketegangan ini berujung pada dinonaktifkannya dua komisioner dan satu orang penyidik KPK karena menjadi tersangka kasus hukum yang diyakini oleh sebagian besar kalangan sebagai upaya kriminalisasi terhadap keduanya. Terakhir, kegaduhan dari legislatif adalah terkait revisi UU KPK yang membelah sikap, antara pendukung revisi dan penolak revisi.

Kegaduhan dari Senayan semakin lengkap dengan terseretnya tiga legislator dalam kasus korupsi dan gratifikasi. Setidaknya sudah tiga orang anggota DPR yang terjerat oleh KPK yakni Adriansyah (PDIP), Patrice Rio Capella (NasDem), dan Dewie Yasin Limpo (Hanura). Ujungnya, kasus Setya Novanto di MKD semakin merontokkan citra DPR di mata publik.  Apalagi jika melihat rekam jejak kinerja legislatif yang jauh dari harapan rakyat. Lihat saja sepanjang 2015 ini hanya ada 3 UU yang diselesaikan dari 40 rancangan UU prioritas 2015.

Menjemukan

Lalu, apakah drama-drama politik yang disuguhkan ke publik ini berdampak baik pada citra pemerintah di hadapan publik?

Sejumlah lembaga survei menyebut terjadi penurunan apresiasi publik pada kinerja pemerintah. Survei yang dilakukan Indo Barometer misalnya pada satu tahun pemerintahan Oktober lalu memperlihatkan bahwa sebanyak 47,3% responden mengaku kurang puas terhadap kinerja Jokowi-JK, sementara yang cukup puas sekitar 44,8%.

Hal yang sama juga disebutkan oleh survei LSI yang mencatat, mereka yang puas di bidang ekonomi hanya 29,79%, hukum 47,22%, politik 43,75%, sosial 48,39%, dan keamanan 53,85%. Kepuasan publik di sektor ekonomi tercatat paling rendah. Pengurangan subsidi bahan bakar oleh pemerintah juga diakui menjadi pemicu turunnya apresiasi publik pada kinerja pemerintah.

Ini menjadi potret bahwa drama-drama politik yang disuguhkan ke publik tidak sertamerta membuat apresiasi di mata publik. Hal ini boleh jadi menguatkan sinyalemen bahwa drama politik kaum elite menjemukan bagi publik.

Meminjam pendekatan sosiolog Erving Goffman yang mendalami teori dramaturgi yang menyebutkan bahwa interaksi sosial itu layaknya pertunjukan teater di mana manusia adalah aktor utamanya, baik sebagai pemeran utama maupun penonton saja. Dalam pertunjukan teater tersebut, manusia akan mengembangkan perilaku yang berbeda agar pertunjukannya bisa dinikmati penonton.

Selama ini publik sudah banyak disuguhi panggung depan kaum elite. Boleh jadi publik sudah banyak tahu soal panggung belakangnya. Empat tahun sisa periode pemerintahan mestinya harus disuguhkan kepada publik tentang cerita drama politik yang membumi, merakyat, dan bermanfaat bagi kemaslahatan publik.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar