Rabu, 30 Desember 2015

Ketika Lapis Atas dan Bawah Sama-Sama Timpang

Ketika Lapis Atas dan Bawah Sama-Sama Timpang

  Budi Darma  ;  Sastrawan; Guru Besar Universitas Negeri Surabaya
                                                    JAWA POS, 26 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KEBUDAYAAN tidak mungkin dilepaskan dari kekuasaan. Kekuasaan yang langsung menentukan kebudayaan tahun 2015 adalah pelantikan Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2014. Jokowi itu polos, suka bekerja keras, dan selalu berusaha untuk berdekatan dengan rakyat. Namun, sayangnya, dia kurang pengalaman dalam birokrasi dan politik. Itulah titik kelemahan dia.  Kelemahan tersebut dimanfaatkan berbagai pihak, termasuk partai pendukungnya. Karena itulah, Presiden Jokowi dalam banyak hal terlihat gagap.

Kegagapan tersebut menjadi pemicu bagi kemerosotan wibawa Jokowi. Banyak keputusannya yang justru berlawanan dengan cita-citanya untuk memperbaiki kehidupan rakyat. Pemberantasan korupsi tidak bisa diintensifkan dan bahkan terkesan dihambat, koordinasi antarmenteri dinilai tidak baik, rupiah melemah, angka pengangguran melonjak, dan hal-hal negatif lain.

Meskipun kita bukan Marxis, kondisi kebudayaan tahun 2015 bisa ditinjau dari perspektif Marxisme. Dalam Marxisme, kehidupan dapat diibaratkan sebuah bangunan yang terdiri atas dua lapis, yaitu lapis atas dan lapis bawah. Para elite bercokol di lapis atas. Karena itulah, tampak bahwa para elite tidak tidak bersentuhan dengan tetek-bengek realitas kehidupan sehari-hari.

Lapis bawah adalah dinamika kehidupan sehari-hari. Misalnya, upah buruh, transaksi perdagangan yang timpang, perdagangan manusia, dan penyelundupan narkoba. Penentu utama kehidupan sosial yang baik bukanlah lapis atas, tapi lapis bawah. Begitu lapis bawah goyah, mau tidak mau lapis atas goyah pula.

Apa yang terjadi pada 2015 ini kurang memberikan harapan karena lapis atas maupun lapis bawah sama-sama timpangnya. Para elite, khususnya para elite politik, sering membodohi rakyat dengan slogan ’’demi kepentingan bangsa dan negara’’.

Rakyat tahu bahwa mereka dibodohi. Rakyat juga tahu bahwa banyak elite politik yang benar-benar rakus. Namun, mereka terpaksa diam karena tidak mempunyai kekuatan konkret untuk menentang.

Di lapis bawah, sementara itu, pengangguran bertambah, kemiskinan membengkak, perdagangan manusia terus terjadi, serta penyelundupan narkoba menjadi-jadi. Bukan hanya itu. Berbagai tindakan merusak dan intoleran juga sering dilakukan pihak-pihak tertentu dengan memanfaatkan agama dan nama Tuhan.

Sudah lama, sebetulnya, Indonesia menjadi korban perang proxy. Dan, sampai 2015 ini, keganasan perang proxy belum bisa diberantas. Mengapa? Sebab, para elite, khususnya elite politik, lebih mementingkan perut sendiri dan mengabaikan kepentingan rakyat.

Perang tradisional terjadi manakala musuh masih berada di luar negara dan berusaha menduduki negara lain. Dalam perang proxy, sebaliknya, unsur-unsur kekuatan musuh tidak berada di luar, tetapi sudah berada di dalam negara, bersifat destruktif, dan tentu saja dengan cara ilegal.

Mengapa banyak TKI disiksa di luar sana? Mengapa penyelundupan narkoba makin menjadi-jadi? Contoh kecil: hanya dalam waktu kurang dari satu tahun terakhir, penyelundupan sabu-sabu yang bisa digagalkan tidak kurang dari 2,8 ton.

Itu baru sabu-sabu saja dan yang gagal diselundupkan saja. Mengapa pula terorisme merajalela? Juga, mengapa keganasan sarana-sarana porno makin menjadi-jadi?

Sebagai contoh, carilah data yang baik dan bermanfaat bagi kemaslahatan banyak orang di internet. Ternyata, di antara data-data itu, pasti terselip gambar, YouTube, atau video porno. Tujuannya, tentu saja agar generasi muda Indonesia menjadi berantakan.

Dominasi hal-hal negatif tersebut bisa terjadi dengan mudah karena agen-agennya sudah berada di Indonesia. Lalu, tengoklah beberapa negara tetangga kita, khususnya Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Terorisme bisa dikikis karena agen-agennya di negara-negara itu tidak diberi hak hidup.

Dan, karena di negara-negara tersebut mereka tidak diberi hak hidup, dengan leluasa agen-agen itu masuk ke Indonesia. Indonesia, dengan demikian, menjadi semacam pengimpor kekacauan karena agen-agen kekacauan mudah diselundupkan ke Indonesia.

Sementara itu, kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari identitas: kebudayaan Indonesia merupakan identitas Indonesia, dan identitas Indonesia tecermin dalam kebudayaan Indonesia.

Identitas, menurut Alice dalam Alice in Wonderland, selalu dipertanyakan dan bersifat dinamis. Ketika Alice sedang tersedot oleh daya tarik bumi untuk masuk ke wonderland, bertanyalah dia kepada diri sendiri: ’’Siapakah saya? Saya tahu saya bukan Mabel. Saya tahu saya adalah Alice. Tapi, siapakah Alice? Siapakah saya ini sebenarnya?’’

Pertanyaan ini mengenai identitas, dan identitas kemarin berbeda dengan hari ini. Sementara itu, pengesahan RUU Kebudayaan terlalu bertele-tele dan tanpa hasil. Andaikata nanti ada hasilnya pun, hasil itu tidak akan memuaskan semua pemangku kepentingan.

Bukan hanya itu. Untuk mencari Dirjen Kebudayaan yang ideal pun, pemerintah sampai sekarang belum berhasil. Dengan demikian, tampak bahwa identitas bangsa Indonesia tidak jelas. Akibatnya, kebudayaan Indonesia dan perkembangannya kelak juga kurang jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar