Ketika Lapis Atas dan Bawah Sama-Sama Timpang
Budi Darma
; Sastrawan; Guru Besar Universitas Negeri
Surabaya
|
JAWA
POS, 26 Desember 2015
KEBUDAYAAN
tidak mungkin dilepaskan dari kekuasaan. Kekuasaan yang langsung menentukan
kebudayaan tahun 2015 adalah pelantikan Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2014.
Jokowi itu polos,
suka bekerja keras, dan selalu berusaha untuk berdekatan dengan rakyat. Namun,
sayangnya, dia kurang pengalaman dalam birokrasi dan politik. Itulah titik
kelemahan dia. Kelemahan tersebut dimanfaatkan berbagai pihak,
termasuk partai pendukungnya. Karena itulah, Presiden Jokowi dalam banyak hal
terlihat gagap.
Kegagapan
tersebut menjadi pemicu bagi kemerosotan wibawa Jokowi. Banyak keputusannya
yang justru berlawanan dengan cita-citanya untuk memperbaiki kehidupan
rakyat. Pemberantasan korupsi tidak bisa diintensifkan dan bahkan terkesan
dihambat, koordinasi antarmenteri dinilai tidak baik, rupiah melemah, angka
pengangguran melonjak, dan hal-hal negatif lain.
Meskipun kita bukan Marxis, kondisi kebudayaan
tahun 2015 bisa ditinjau dari perspektif Marxisme. Dalam Marxisme, kehidupan
dapat diibaratkan sebuah bangunan yang terdiri atas dua lapis, yaitu lapis
atas dan lapis bawah. Para elite bercokol di lapis
atas. Karena itulah, tampak bahwa para elite tidak tidak bersentuhan dengan
tetek-bengek realitas kehidupan sehari-hari.
Lapis bawah
adalah dinamika kehidupan sehari-hari. Misalnya, upah buruh, transaksi
perdagangan yang timpang, perdagangan manusia, dan penyelundupan narkoba.
Penentu utama kehidupan sosial yang baik bukanlah lapis atas, tapi lapis
bawah. Begitu lapis bawah goyah, mau tidak mau lapis atas goyah pula.
Apa yang terjadi pada 2015 ini kurang memberikan
harapan karena lapis atas maupun lapis bawah sama-sama timpangnya. Para
elite, khususnya para elite politik, sering membodohi rakyat dengan slogan
’’demi kepentingan bangsa dan negara’’.
Rakyat tahu bahwa mereka dibodohi. Rakyat juga
tahu bahwa banyak elite politik yang benar-benar rakus. Namun, mereka
terpaksa diam karena tidak mempunyai kekuatan konkret untuk menentang.
Di lapis
bawah, sementara itu, pengangguran bertambah, kemiskinan membengkak,
perdagangan manusia terus terjadi, serta penyelundupan narkoba menjadi-jadi.
Bukan hanya itu. Berbagai tindakan merusak dan intoleran juga sering
dilakukan pihak-pihak tertentu dengan memanfaatkan agama dan nama Tuhan.
Sudah lama, sebetulnya, Indonesia menjadi korban
perang proxy. Dan, sampai 2015 ini, keganasan perang proxy belum bisa
diberantas. Mengapa? Sebab, para elite, khususnya elite politik, lebih
mementingkan perut sendiri dan mengabaikan kepentingan rakyat.
Perang
tradisional terjadi manakala musuh masih berada di luar negara dan berusaha
menduduki negara lain. Dalam perang proxy, sebaliknya, unsur-unsur kekuatan
musuh tidak berada di luar, tetapi sudah berada di dalam negara, bersifat
destruktif, dan tentu saja dengan cara ilegal.
Mengapa banyak
TKI disiksa di luar sana? Mengapa penyelundupan narkoba makin menjadi-jadi?
Contoh kecil: hanya dalam waktu kurang dari satu tahun terakhir,
penyelundupan sabu-sabu yang bisa digagalkan tidak kurang dari 2,8 ton.
Itu baru
sabu-sabu saja dan yang gagal diselundupkan saja. Mengapa pula terorisme
merajalela? Juga, mengapa keganasan sarana-sarana porno makin menjadi-jadi?
Sebagai
contoh, carilah data yang baik dan bermanfaat bagi kemaslahatan banyak orang
di internet. Ternyata, di antara data-data itu, pasti terselip gambar,
YouTube, atau video porno. Tujuannya, tentu saja agar generasi muda Indonesia
menjadi berantakan.
Dominasi hal-hal negatif tersebut bisa terjadi
dengan mudah karena agen-agennya sudah berada di Indonesia. Lalu, tengoklah
beberapa negara tetangga kita, khususnya Singapura, Malaysia, dan Brunei
Darussalam. Terorisme bisa dikikis karena agen-agennya di negara-negara itu
tidak diberi hak hidup.
Dan, karena di
negara-negara tersebut mereka tidak diberi hak hidup, dengan leluasa
agen-agen itu masuk ke Indonesia. Indonesia, dengan demikian, menjadi semacam
pengimpor kekacauan karena agen-agen kekacauan mudah diselundupkan ke
Indonesia.
Sementara itu,
kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari identitas: kebudayaan Indonesia
merupakan identitas Indonesia, dan identitas Indonesia tecermin dalam
kebudayaan Indonesia.
Identitas,
menurut Alice dalam Alice in Wonderland,
selalu dipertanyakan dan bersifat dinamis. Ketika Alice sedang tersedot oleh
daya tarik bumi untuk masuk ke wonderland, bertanyalah dia kepada diri
sendiri: ’’Siapakah saya? Saya tahu saya bukan Mabel. Saya tahu saya adalah
Alice. Tapi, siapakah Alice? Siapakah saya ini sebenarnya?’’
Pertanyaan ini
mengenai identitas, dan identitas kemarin berbeda dengan hari ini. Sementara
itu, pengesahan RUU Kebudayaan terlalu bertele-tele dan tanpa hasil.
Andaikata nanti ada hasilnya pun, hasil itu tidak akan memuaskan semua
pemangku kepentingan.
Bukan hanya itu. Untuk mencari
Dirjen Kebudayaan yang ideal pun, pemerintah sampai sekarang belum berhasil.
Dengan demikian, tampak bahwa identitas bangsa Indonesia tidak jelas.
Akibatnya, kebudayaan Indonesia dan perkembangannya kelak juga kurang jelas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar