Minggu, 27 Desember 2015

O Bethlehem

O Bethlehem

  Trias Kuncahyono  ;  Penulis Kolom “KREDENSIAL” Kompas Minggu
                                                      KOMPAS, 27 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Waktu itu, tahun 747 menurut penanggalan Romawi atau tahun 7 SM. Bulan Desember. Di bulan itu, musim dingin melanda seluruh wilayah di sebelah timur Laut Mediterania. Perjalanan melintasi padang gurun di musim seperti ini membuat orang cepat merasa lapar. Ketiga orang di bawah tenda itu pun tidak terluput dari rasa kelaparan. Mereka sangat lapar dan makan dengan lahap. Selesai menikmati anggur, mereka berbincang-bincang.

Cerita itu dikisahkan Lew Wallace lewat Ben-Hur, A Tale of The Christ yang sudah diterjemahkan oleh Penerbit Gramedia (2014). Lew Wallace terus bercerita:

"Aku Gaspar, putra Cleanthes orang Athena," tutur salah seorang dari tiga lelaki itu, memperkenalkan diri. Kata "gaspar" berasal dari kata "gondophares" atau "gadaspar", bahasa Parthian yang oleh orang-orang Romawi diubah menjadi Gaspar atau Caspar (Simo Parpola, The Magi and the Star, Babylonian astronomy dates Jesus's birth, 2009).

"Bangsaku membaktikan diri sepenuhnya untuk mengejar ilmu, dan dari merekalah aku mewarisi gairah yang sama. Dua dari dua ahli filsafat kami yang paling besar juga mengajar. Yang satu mengajarkan doktrin tentang Jiwa yang tinggal di dalam diri setiap manusia, termasuk keabadian. Sedang yang satunya lagi mengajarkan perihal doktrin Satu Allah, yang tak terhingga keadilan-Nya," kata Gaspar yang berambut panjang sebahu warna abu-abu.

"Aku terbangun dari tidurku di gua tempat aku bertapa, dengan Roh yang menyala di dalam diriku, lebih terang daripada Matahari. Dari tempat persembunyianku, aku mengambil harta karun yang dulu pernah aku bawa dari kota. Aku naik kapal dan mendarat di Antiokhia. Di sana aku membeli unta beserta perlengkapannya. Melalui taman-taman dan kebun anggur yang menghiasi Sungai Orontes, aku melanjutkan perjalanan ke Emesa, Damsyik, Bostra, serta Filadelfia, dan dari sana menuju kemari. Demikianlah, saudara-saudaraku, kalian telah mendengar kisahku. Sekarang, biarkan aku mendengar kisah kalian," tutur Gaspar.

Kedua lelaki lainnya diam, saling berpandangan. Lalu, "Namaku Melchior, saudara-saudaraku," kata salah seorang lelaki satunya lagi, memecah kesunyian. Di antara ketiganya ia terlihat paling muda. Wajahnya bersih tanpa janggut, berparas tampan. Kata "melchior" berarti "Raja adalah cahayaku". Melchior adalah sebuah nama dalam bahasa Aramaik, tetapi sering kali ditemukan dalam teks-teks bahasa Assyria dan Babilonia (Simo Parpola, 2009).

Dengan tenang ia melanjutkan perkenalannya: "Aku bicara pada kalian dalam bahasa yang, jika bukan yang paling tua di seluruh dunia, setidaknya yang pertama kali dituliskan. Maksudku bahasa Sanskerta dari India. Aku lahir sebagai orang Hindu. Bangsaku yang pertama menimba, memilah, dan memperindah pengetahuan."

Melchior pun lalu bicara panjang lebar tentang ajaran Hindu, tentang dewa-dewa, tentang kitab-kitab. Lalu ia mengatakan, "Letak kebahagiaan kasih adalah dalam tindakan, sedangkan ujiannya adalah apa yang rela dilakukan seseorang untuk orang lain. Aku tidak bisa diam. Brahma telah memenuhi dunia dengan begitu banyak kesedihan," tuturnya pelan.

"Boleh aku lanjutkan," tanya Melchior, dan segera dijawab dua sahabat barunya, "Silakan, kami akan mendengarnya."

"Suatu malam, aku berjalan-jalan di tepi Danau Lang Tsao, di kaki Tise Gangri, Gurla, dan Kailas Parbot, gunung-gunung raksasa di India. Aku berbicara pada keheningan di sekelilingku, 'Kapankah Allah akan datang dan mengakui Umat-Nya? Tidak adakah penebusan itu?' Tiba-tiba seberkas cahaya mulai bersinar dan muncul dari dalam air. Tak lama kemudian, naiklah sebuah bintang yang bergerak menghampiriku dan berhenti di atasku. Terangnya membuatku tertegun. Aku mendengar suara sangat lembut dan manis, 'Kasihmu telah menang. Diberkatilah engkau, wahai putra India! Penebusan sudah dekat. Bersama dua orang lain yang datang dari bagian bumi yang jauh, engkau akan melihat Sang Penebus dan menjadi saksi atas kedatangan-Nya. Bangunlah pada pagi hari, jumpailah mereka, dan percayalah sepenuhnya kepada Roh yang akan membimbingmu," kata Melchior mengakhiri ceritanya.

Dan, lelaki ketiga yang belum bicara itu pun berdiri. "Sekarang giliranku. Namaku Baltasar. Aku orang Mesir," katanya membuka cerita. Kata "baltshassar" berasal dari bahasa Babilonia, yakni "Belshazzar" yang diyunanikan menjadi "balthasssar". Ia digambarkan sebagai orang berjanggut panjang warna coklat (Simo Parpola, 2009).

Baltasar melanjutkan kisahnya: "Sejarah diawali dengan kami. Kamilah yang pertama mengabadikan peristiwa dengan membuat catatan. Kami menawarkan kepastian. Di istana-istana dan kuil-kuil, di atas tugu-tugu peringatan, kami tuliskan nama-nama dan karya-karya raja kami. Di papirus tipis kami menuliskan hikmat para filsuf kami dan rahasia-rahasia kami."

"Melalui catatan-catatan itu," lanjutnya, "kami tahu bahwa ketika para bapa leluhur kami datang dari Timur Jauh, dari tempat asal ketiga sungai suci itu, dari pusat bumi-yang kau sebut Iran Lama, wahai Melchior-mereka sudah mengajarkan perihal Allah, Sang Pencipta dan Awal Kejadian, serta perihal Jiwa yang juga abadi seperti Allah. Aku seperti kalian berdua, diperintahkan oleh suara lembut untuk ke Jerusalem dan akan bertemu kalian berdua. Di Jerusalem, aku diperintahkan untuk bertanya kepada penduduknya: 'Di manakah Dia, Raja orang Yahudi yang baru lahir itu. Sebab kami telah melihat bintangnya dan kami akan datang menyembah-Nya. Dialah Sang penebus dunia, tidak hanya Raja orang Yahudi."

Gaspar dan Melchior diam mendengar cerita Baltasar. Sesaat kemudian, tanpa berkata-kata, seolah-olah ada kekuatan yang mendorong, mereka berdiri dan berjalan meninggalkan tenda. Mereka tidak tahu bahwa kekuatan kasih dan cintalah yang telah menggerakkan mereka. Kekuatan itulah yang menuntun mereka pergi di bawah panduan bintang menuju ke kota kecil, Bethlehem, yang ketika itu masih sepi, aman, dan damai.

O Bethlehem....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar