Kamis, 10 Desember 2015

Akuntabilitas Kereta Cepat

Akuntabilitas Kereta Cepat

Adnan Pandu Praja  ;  Komisioner KPK
                                                      KOMPAS, 10 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hasil audit forensik Petral dan kasus divestasi saham PT Freeport Indonesia yang saat ini ramai dipersoalkan mengonfirmasi pandangan selama ini bahwa dalam negosiasi megaproyek, tidak jarang kepentingan bangsa tercederai.

Pada 1984, sebagai peserta pertukaran mahasiswa ASEAN-Jepang, saya mendapat kesempatan menggunakan kereta cepat Shinkansen dari Tokyo ke Kyoto. Dalam bayangan saya ketika itu, mungkin 25 tahun lagi kenyamanan kereta cepat bisa dinikmati di Indonesia. Ternyata bayangan saya tersebut tidak berlebihan dengan ditandatanganinya persiapan pembangunan kereta cepat dengan Tiongkok kendati Tiongkok baru meluncurkan kereta cepat pada 2007.

Penandatanganan proyek pembangunan kereta cepat merupakan wujud ambisi kedua negara. Tiongkok berambisi membangun Jalur Sutera yang akan menghubungkan Asia, Eropa, dan Afrika melewati 60 negara lebih. Karena itu, Tiongkok tidak hanya menawarkan teknologi tinggi kereta cepat, tetapi juga disertai pinjaman. Sementara Indonesia akan menjadikan proyek kereta cepat sebagai proyek mercusuar andalan Presiden Joko Widodo dengan modal lahan milik BUMN anggota konsorsium. 

Beberapa kritik publik yang mewarnai proses penunjukan perusahaan Tiongkok, China Railway International Co, seyogianya menjadikan proyek kereta cepat dikelola dengan penuh kehati-hatian. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut. Pertama, seberapa dibutuhkan kereta cepat dibandingkan kebutuhan membangun infrastruktur di wilayah lain Indonesia.

Kedua, kendati mengedepankan pendekatan business-to-business, apabila nantinya proyek kereta cepat gagal, tentu hal itu akan membahayakan kinerja empat BUMN besar peserta konsorsium. Negara tidak mungkin tinggal diam untuk menyelamatkan proyek dan keempat aset negara tersebut, yang pada gilirannya akan menyedot uang rakyat juga. Ketiga, muncul kekhawatiran terhadap penggunaan tenaga kerja asing yang berlebihan sehingga dapat membahayakan peluang kerja bagi bangsa sendiri, yang nantinya dapat mengganggu hubungan bilateral Indonesia dengan Tiongkok.

Negara versus investor asing

Menimbang berbagai kritik di atas, kiranya pengelolaan proyek kereta cepat perlu memperhatikan beberapa faktor penting sebagai berikut. Pertama, kekurangtangguhan negara dalam menghadapi investor asing seperti yang terjadi pada industri ekstraktif. Kita bisa becermin pada beberapa peristiwa sejenis, misalnya negara terkesan mandul dalam memaksa investor tambang membangun smelter dalam rangka menggenjot pendapatan negara. 

Pembangunan smelter terkatung-katung sampai ditunda secara resmi oleh pemerintah. Implementasi cost recovery pada industri migas masih saja menimbulkan tanda tanya. Negara seperti tidak berdaya memaksa investor tambang asing untuk menaati kewajiban divestasi, seperti pada kasus PT Freeport Indonesia yang sedang ramai diperdebatkan.

Catatan yang tidak menggembirakan dengan investor asing tersebut terjadi bukan karena kita tidak menguasai teknologi industri ekstraktif. Akan tetapi, hal itu lebih disebabkan oleh mental permisif aparatur pemerintah yang bisa jadi disebabkan oleh faktor konflik kepentingan, intervensi, penegakan hukum yang lemah, pengawasan seadanya, dan audit formalitas. Mudah-mudahan pasal-pasal perjanjian yang disepakati dengan investor asing tidak sengaja dibuat lemah oleh bangsa sendiri.

Beberapa kelemahan tersebut seyogianya menjadi catatan penting dalam mengelola proyek sarat teknologi canggih kereta cepat. Apalagi, menurut rencana, megaproyek kereta cepat ditargetkan dibangun cepat dalam waktu tiga tahun. Keterbatasan pengetahuan kita akan mudah dimanfaatkan, misalnya dalam penggunaan barang bekas pakai. Akibatnya, biaya perawatan akan melambung jauh melebihi batas kewajaran. Sebaliknya, mitra kerja akan menangguk keuntungan berlipat-lipat.

Kedua, jangan sampai menciptakan ketergantungan terus-menerus seperti ketergantungan kita terhadap pesawat tempur F-16 buatan Amerika Serikat. Setelah diembargo Amerika, kita baru sadar dan tidak berdaya sama sekali. Akibatnya, pertahanan udara kita jadi terganggu. Akhirnya, kita terpaksa membeli pesawat tempur dari negara lain. Akan halnya kereta cepat, jika karena satu dan lain hal harus diganti, hal itu tentu sangat tidak mudah karena terkait instrumen lain yang lebih kompleks. Jangan sampai kita terjebak pada situasi jalan buntu, dead end.

Ketiga, potensi konflik kepentingan. Rasanya proyek kereta cepat tidak akan memperoleh hasil yang sempurna jika pola kontrol ada pada pihak yang sama sejak perencanaan, pelaksanaan, sampai pengawasan. Pada Peraturan Pemerintah tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah telah diatur dengan jelas bahwa antara perencana dan pelaksana serta pengawas tidak boleh memiliki hubungan yang memungkinkan terjadinya pertentangan kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung.

Mengingat keterbatasan pengetahuan kita tentang teknologi kereta cepat, rasanya tidak satu pun konsultan lokal memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk mengawal proyek pembangunan kereta cepat. Begitu pula dengan Tiongkok sebagai mitra kerja. Tidak mungkin menunjuk salah satu perusahaan konsultan Tiongkok sebagai mitra kerja. Proyek kereta cepat adalah megaproyek antarnegara meski dikemas secara business-to-business.

Libatkan konsultan non-Tiongkok

Di samping tiga hal di atas, ada baiknya kita telaah hasil audit Petral (Pertamina Energy Trading Limited) yang dibuat auditor asing Korda Mentha yang hasil temuannya ibarat membuka kotak pandora. Sebagai anak perusahaan yang sahamnya dimiliki negara, PT Pertamina, Petral tentu turut diaudit setiap tahun oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Apalagi, perputaran uangnya triliunan rupiah. Namun, temuan BPK terhadap Petral selama bertahun-tahun terkesan tidak ada masalah.

Berangkat keprihatinan di atas, dalam rangka membangun tata kelola yang baik dalam pengelolaan proyek kereta cepat, kiranya pemerintah perlu mempertimbangan hal berikut. Pertama, agar melibatkan konsultan teknik asing selain Tiongkok yang akan mengevaluasi sejak perencanaan sampai pelaksanaan dan perawatan. Di samping itu, dibutuhkan pula auditor andal yang memiliki kompetensi spesifik terkait kereta cepat.

Kedua, konsultan tersebut agar ditenderkan secara terbuka untuk menghindari dugaan miring yang dapat menjadi komoditas politik di kemudian hari. Konsekuensinya, akan ada pembengkakan biaya, tetapi itulah ongkos untuk meraih kepercayaan publik. Pola tersebut biasa diterapkan pada tender berskala internasional di banyak negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar