Akuntabilitas Kereta Cepat
Adnan Pandu Praja ; Komisioner KPK
|
KOMPAS,
10 Desember 2015
Hasil audit forensik Petral dan kasus
divestasi saham PT Freeport Indonesia yang saat ini ramai dipersoalkan
mengonfirmasi pandangan selama ini bahwa dalam negosiasi megaproyek, tidak
jarang kepentingan bangsa tercederai.
Pada 1984, sebagai peserta pertukaran
mahasiswa ASEAN-Jepang, saya mendapat kesempatan menggunakan kereta cepat
Shinkansen dari Tokyo ke Kyoto. Dalam bayangan saya ketika itu, mungkin 25
tahun lagi kenyamanan kereta cepat bisa dinikmati di Indonesia. Ternyata
bayangan saya tersebut tidak berlebihan dengan ditandatanganinya persiapan
pembangunan kereta cepat dengan Tiongkok kendati Tiongkok baru meluncurkan
kereta cepat pada 2007.
Penandatanganan proyek pembangunan kereta
cepat merupakan wujud ambisi kedua negara. Tiongkok berambisi membangun Jalur
Sutera yang akan menghubungkan Asia, Eropa, dan Afrika melewati 60 negara
lebih. Karena itu, Tiongkok tidak hanya menawarkan teknologi tinggi kereta
cepat, tetapi juga disertai pinjaman. Sementara Indonesia akan menjadikan
proyek kereta cepat sebagai proyek mercusuar andalan Presiden Joko Widodo
dengan modal lahan milik BUMN anggota konsorsium.
Beberapa kritik publik yang mewarnai proses
penunjukan perusahaan Tiongkok, China
Railway International Co, seyogianya menjadikan proyek kereta cepat
dikelola dengan penuh kehati-hatian. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan
adalah sebagai berikut. Pertama, seberapa dibutuhkan kereta cepat
dibandingkan kebutuhan membangun infrastruktur di wilayah lain Indonesia.
Kedua, kendati mengedepankan pendekatan business-to-business, apabila nantinya
proyek kereta cepat gagal, tentu hal itu akan membahayakan kinerja empat BUMN
besar peserta konsorsium. Negara tidak mungkin tinggal diam untuk
menyelamatkan proyek dan keempat aset negara tersebut, yang pada gilirannya
akan menyedot uang rakyat juga. Ketiga, muncul kekhawatiran terhadap
penggunaan tenaga kerja asing yang berlebihan sehingga dapat membahayakan
peluang kerja bagi bangsa sendiri, yang nantinya dapat mengganggu hubungan
bilateral Indonesia dengan Tiongkok.
Negara versus investor
asing
Menimbang berbagai kritik di atas, kiranya
pengelolaan proyek kereta cepat perlu memperhatikan beberapa faktor penting
sebagai berikut. Pertama, kekurangtangguhan negara dalam menghadapi investor
asing seperti yang terjadi pada industri ekstraktif. Kita bisa becermin pada
beberapa peristiwa sejenis, misalnya negara terkesan mandul dalam memaksa
investor tambang membangun smelter dalam rangka menggenjot pendapatan negara.
Pembangunan smelter terkatung-katung sampai ditunda secara resmi oleh
pemerintah. Implementasi cost recovery pada industri migas masih saja
menimbulkan tanda tanya. Negara seperti tidak berdaya memaksa investor
tambang asing untuk menaati kewajiban divestasi, seperti pada kasus PT
Freeport Indonesia yang sedang ramai diperdebatkan.
Catatan yang tidak menggembirakan dengan
investor asing tersebut terjadi bukan karena kita tidak menguasai teknologi
industri ekstraktif. Akan tetapi, hal itu lebih disebabkan oleh mental
permisif aparatur pemerintah yang bisa jadi disebabkan oleh faktor konflik
kepentingan, intervensi, penegakan hukum yang lemah, pengawasan seadanya, dan
audit formalitas. Mudah-mudahan pasal-pasal perjanjian yang disepakati dengan
investor asing tidak sengaja dibuat lemah oleh bangsa sendiri.
Beberapa kelemahan tersebut seyogianya menjadi
catatan penting dalam mengelola proyek sarat teknologi canggih kereta cepat.
Apalagi, menurut rencana, megaproyek kereta cepat ditargetkan dibangun cepat
dalam waktu tiga tahun. Keterbatasan pengetahuan kita akan mudah
dimanfaatkan, misalnya dalam penggunaan barang bekas pakai. Akibatnya, biaya
perawatan akan melambung jauh melebihi batas kewajaran. Sebaliknya, mitra kerja
akan menangguk keuntungan berlipat-lipat.
Kedua, jangan sampai menciptakan
ketergantungan terus-menerus seperti ketergantungan kita terhadap pesawat
tempur F-16 buatan Amerika Serikat. Setelah diembargo Amerika, kita baru
sadar dan tidak berdaya sama sekali. Akibatnya, pertahanan udara kita jadi
terganggu. Akhirnya, kita terpaksa membeli pesawat tempur dari negara lain.
Akan halnya kereta cepat, jika karena satu dan lain hal harus diganti, hal
itu tentu sangat tidak mudah karena terkait instrumen lain yang lebih
kompleks. Jangan sampai kita terjebak pada situasi jalan buntu, dead end.
Ketiga, potensi konflik kepentingan. Rasanya
proyek kereta cepat tidak akan memperoleh hasil yang sempurna jika pola
kontrol ada pada pihak yang sama sejak perencanaan, pelaksanaan, sampai
pengawasan. Pada Peraturan Pemerintah tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah telah diatur dengan jelas bahwa antara perencana dan pelaksana
serta pengawas tidak boleh memiliki hubungan yang memungkinkan terjadinya
pertentangan kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung.
Mengingat keterbatasan pengetahuan kita
tentang teknologi kereta cepat, rasanya tidak satu pun konsultan lokal
memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk mengawal proyek pembangunan kereta
cepat. Begitu pula dengan Tiongkok sebagai mitra kerja. Tidak mungkin
menunjuk salah satu perusahaan konsultan Tiongkok sebagai mitra kerja. Proyek
kereta cepat adalah megaproyek antarnegara meski dikemas secara business-to-business.
Libatkan konsultan
non-Tiongkok
Di samping tiga hal di atas, ada baiknya kita
telaah hasil audit Petral (Pertamina
Energy Trading Limited) yang dibuat auditor asing Korda Mentha yang hasil
temuannya ibarat membuka kotak pandora. Sebagai anak perusahaan yang sahamnya
dimiliki negara, PT Pertamina, Petral tentu turut diaudit setiap tahun oleh
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Apalagi, perputaran uangnya triliunan rupiah.
Namun, temuan BPK terhadap Petral selama bertahun-tahun terkesan tidak ada
masalah.
Berangkat keprihatinan di atas, dalam rangka
membangun tata kelola yang baik dalam pengelolaan proyek kereta cepat,
kiranya pemerintah perlu mempertimbangan hal berikut. Pertama, agar
melibatkan konsultan teknik asing selain Tiongkok yang akan mengevaluasi
sejak perencanaan sampai pelaksanaan dan perawatan. Di samping itu,
dibutuhkan pula auditor andal yang memiliki kompetensi spesifik terkait
kereta cepat.
Kedua, konsultan tersebut agar ditenderkan
secara terbuka untuk menghindari dugaan miring yang dapat menjadi komoditas
politik di kemudian hari. Konsekuensinya, akan ada pembengkakan biaya, tetapi
itulah ongkos untuk meraih kepercayaan publik. Pola tersebut biasa diterapkan
pada tender berskala internasional di banyak negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar