Selasa, 29 Desember 2015

Optimisme Pendidikan 2016

Optimisme Pendidikan 2016

  Mahyudin  ;  School Supervisor di Sekolah Sukma Bangsa, Aceh
                                           MEDIA INDONESIA, 28 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

“Tanah Air kita meminta korban. Dari di sinilah kita siap sedia memberi korban yang sesuci-sucinya. Sungguh, korban dengan ragamu sendiri ialah korban yang paling ringan. Memang awan tebal dan hitam menggantung di atas kita. Akan tetapi, percayalah di baliknya masih ada matahari yang bersembunyi. Kapan hujan turun dan udara menjadi bersih karenanya?”
(Ki Hadjar Dewantara).

KUTIPAN dari Ki Hadjar Dewantara di atas merupakan pertanda selalu ada optimisme dalam mengelola pendidikan. Meskipun tantangan dan rintangan tidak mudah untuk dihindari, dunia pendidikan harus terus meniupkan napas optimismenya karena menyangkut masa depan bangsa. Cara yang paling mungkin dan mudah untuk dilakukan ialah kemauan untuk selalu belajar dari kesalahan, melihat data-data statistik persoalan-persoalan pendidikan kita secara cermat, dan melakukan usaha perbaikan berdasarkan data-data tersebut.
Laporan OECD tentang pendidikan selama 2015, misalnya, dapat menjadi acuan kita untuk melakukan perubahan. Laporan tersebut setidaknya mengindikasikan masih banyaknya negara yang kerepotan dalam menangani pembiayaan pendidikan karena terjadinya perlambatan ekonomi. Selain itu, hal tersebut juga disebabkan angka-angka statistik yang berkaitan dengan angka kelulusan sekolah menengah yang terserap dunia kerja, kaitan antara pendidikan dengan mobilitas sosial, kemampuan guru dan siswa untuk menjadikan informasi dan teknologi, dan kesejahteraan guru. Lama belajar dan mengajar rata-rata guru dan siswa juga masih harus dianalisis secara saksama mengingat tiap-tiap negara menerapkan sistem yang berbeda dalam mengelola kebijakan pendidikan mereka.
Untuk kasus Indonesia, jelas masalah-masalah di atas masih menjadi isu sentral yang tidak mudah diselesaikan. Karut-marut implementasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah jelas menjadi salah satu kendala yang sangat akut untuk mengubah benang kusut pendidikan di Tanah Air. Bukan hanya kusut, dunia pendidikan juga menjadi basah karena masa depan anak-anak selalu dipertaruhkan oleh kebodohon sesaat dan sesat dari para politikus kita yang senang mengumbar isu-isu pendidikan untuk kepentingan politik praktis semata.
Temuan kunci
Beberapa temuan kunci proses pendidikan sepanjang 2015 boleh jadi akan mengangkat optimisme kita untuk menyongsong 2016. Dalam hal pencapaian pendidikan, ratarata lebih dari 85% anak-anak muda kita lulus sekolah menengah pertama. Karena itu, kebijakan wajib belajar 12 tahun perlu terus diperhatikan. Ini artinya belanja pendidikan kita untuk tingkat dasar dan menengah setidaknya harus terus diseimbangkan dengan angka pertumbuhan usia anak. Jika dikaitkan dengan angka pertumbuhan pre-school program, jelas akan lebih banyak lagi dana yang dibutuhkan mengingat angka lembaga-lembaga penyelenggara PAUD tumbuh sangat fantastis di Indonesia.
Temuan kunci lainnya berkaitan dengan kebijakan pendidikan sepanjang 2015 ialah tidak dijadikannya UN sebagai basis kelulusan siswa meskipun tetap saja kebijakan itu perlu diperhatikan dengan saksama. Sebab, pada praktiknya, belum tentu kebijakan itu serta-merta melahirkan dan menumbuhkan kualitas pendidikan yang lebih baik.
Sebagaimana dikemukakan Robert Linn (2001), pola penilaian eksternal jenis UN mengandung risiko terhadap berbagai bentuk kecurangan dan malapraktik yang sering kali sulit dikontrol karena harus melibatkan banyak pihak yang mungkin tidak memiliki hubungan langsung dengan peningkatan kualitas pendidikan. Selain itu, juga disebabkan siswa sebelum mengikuti UN harus mengikuti berbagai pelatihan soal, drilling soal. Jadi, kualitas yang diperoleh kurang hakiki. Angka perolehan UN pasti akan meningkat, tetapi pemahaman siswa terhadap konsep dan kemampuan berpikir belum tentu berubah lebih baik. Karena itu, kebijakan tidak menjadikan UN sebagai basis kelulusan diharapkan akan sedikit menambah kualitas proses belajar yang lebih baik.
Optimisme itu harus diimbangi dengan cara memperbaiki seluruh proses pembelajaran pada tingkat kelas dan kegiatan pendukung lainnya pada lingkungan sekolah. Pendekatan model itu biasanya kurang diminati para birokrasi pendidikan karena dinilai akan sangat melelahkan. Pendekatan itu bukan hanya mensyaratkan kompetensi dan profesionalitas kerja, melainkan lebih dari itu. Ia membutuhkan keikhlasan, komitmen, ketekunan, dan kesabar an serta tanggung jawab penuh dari para pengelola dan pelaku pendidikan. Pendekatan itu dinilai lebih konsepsional, terukur, akuntabel, dan perubahan yang dihasilkan akan lebih menyeluruh dan berkesinambungan. Pendekatan itu umumnya kurang disukai birokrat, politikus, dan komunitas pendidikan, terutama bagi mereka yang sudah terbiasa dengan pola kerja serbainstan.
Mengingat begitu strategisnya kedudukan organisasi sekolah dalam upaya memperbaiki kualitas pembelajaran pada tingkat kelas dan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara luas, seharusnya para pengelola sekolah, termasuk pimpinan, pengawas, dan guru, memiliki konsep kerja dengan langkah yang jelas, terukur, dan akuntabel dalam melaksanakan kewajiban yang menjadi tanggung jawab mereka. Dalam konteks ini, seharusnya konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan K-13 terus dimatangkan dalam sebuah proses dan skema yang jelas dan disepakati semua unsur dalam komunitas sekolah.
Riset pendidikan
Membangun optimisme jelas membutuhkan banyak data yang akurat. Karena itu, dibutuhkan riset-riset pendidikan yang lebih komprehensif berdasarkan unit analisis yang tepat. Tidak ada kata lain selain menjadikan sekolah sebagai basis dan unit analisis riset tentang kebijakan pendidikan. Rencana Dirjen Dikdasmen untuk membuat sekolah percontohan nasional perlu dikaji secara serius dan relevan untuk dilaksanakan jika basisnya ialah kebutuhan sekolah. Membuat sebanyak mungkin indikator yang relevan untuk mengukur kualitas dan akuntabilitas menajemen sekolah itu penting. Sebagai sebuah komunitas, menjadikan sekolah sebagai basis riset kependidikan ialah imperatif.
Minimnya riset-riset kependidikan sebenarnya sejalan dengan minimnya tradisi ilmiah di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mereka memiliki Litbang, tapi banyak hasil riset mereka yang kurang relevan dengan kebijakan yang akan diambil dan dijalankan. Minimnya tradisi ilmiah dalam riset kependidikan yang masih terbelenggu pada dikotomi antara teori (ilmu) dan praktik; antara das sain dan das solen. Padahal, dari sudut sosiologi, antara aspek teoretis dan praktik pada hakikatnya termuat berbagai bentuk hubungan dialektis antara teori (ilmu) dan praktik.
Pemisahan antara teori (ilmu) dan praktik, menurut Mohammaed Arkoun, sebenarnya merupakan sisa-sisa model Descartes, yang menyebabkan tujuan praktis cenderung hilang. Para ahli pendidikan kita kebanyakan hanya berpikir meluaskan pengetahuan tertentu tanpa memikirkan, baik teoretitasi maupun renungan metodologis, atau apalagi memikirkan kegunaan pengetahuan yang terhimpun dari aspek aplikatif di sekolah.
Dalam rangka membangun optimisme pendidikan kita ke depan, sudah saatnya setiap sekolah dilengkapi sebuah sistem manajemen informasi sekolah, yang mengharuskan setiap guru dan kepala sekolah terus belajar dan menulis sehingga data yang terjadi di sekolah dapat terus tercatat sebagai bagian dari upaya menumbuhkan tradisi riset kependidikan. Selamat datang 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar