Minggu, 27 Desember 2015

Traumatis

Traumatis

  Jean Couteau  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 27 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Diguyur hujan musim dingin, sambil berjalan-jalan mencari bus di kota Nantes, Perancis, saya membayangkan betapa "traumatis" pengalaman orang Indonesia yang pertama kali bersentuhan dengan kehidupan ala Eropa. Marilah membandingkan pengalaman orang bule di Indonesia. Ulasan ini dengan sedikit melebih-lebihkan.

Orang bule yang baru menginjak bumi Pertiwi akan selalu dan seketika merasa "enak". Lihat saja daftar kesenangan potensial itu. Cuaca? Tak perlu memakai mantel. Hujan? Jarang hujan sepanjang hari. Kepanasan? Ke mal atau toko pasti ada AC. Duit? Aman-aman saja: tak mungkin dibiarkan tinggal di bawah kolong jembatan. Lalu bagaimana manusianya.. Waah!"

"Bagus". Entah kenapa, orang-orang senyum melulu, bahkan tak jarang sambil membungkuk-bungkuk. Baru si bule minta minum, langsung "ditawarin" bir. Lalu mau belanja? Semua serba murah-biarpun "dimahalin sedikit" dulu. Tetapi ini baru awal. Kalau mulai bergaul, biarpun bule itu bodoh tak ketulungan, pasti dianggap cerdas; baru dia mengucapkan satu-dua patah kata dalam "Bahasa", sudah dikatakan lancar.

Semua kagum. Oh, ya, saya lupa. Si bule boleh marah: yang dimarahi selalu diam-dianggap wajar orang bule marah.... Yang maha penting, kalau dia "naksir" cewek, kemungkinan besar gol, biarpun dia sendiri gembrot atau kudisan. Dianggap pangeran. Enak kan, bagi bule itu? Melihat itu semua, siapa yang tidak mau jadi bule di negeri dongeng Indonesia? Biarpun dituduh imperialis, dianggap tidak kenal moral dan ditipu, bule itu tidak perlu peduli. Bahkan dia pun bisa belajar untuk tersenyum.

Lalu, bagaimana kalau Anda, sebagai orang Indonesia, menginjakkan kaki di bumi para "hidung panjang", katakanlah Perancis. Lain sekali! Awalnya berat. Harus siap menggigil karena dingin. Kalau tidak ada teman Indonesia untuk membantu, pasti susah. Siapa yang bisa diajak ngomong? Orang-orang bergegas-gegas "lagaknya persis robot". Kalau tidak ada "robot" itu, biasanya tidak ada siapa pun: jalan-jalan kosong. Lalu, bila sempat bertemu orang, pasti Anda akan tersenyum, kan? Seperti orang Indonesia pada umumnya. Tapi justru keliru: 50 persen kemungkinan bahwa si bule yang Anda sapa dengan senyum, akan bermuka mesem atau bergaya sombong.

Tak jelas sebabnya, tapi memang begitulah orang bule! Pokoknya jangan tersenyum, apalagi dengan menatap mata. Bisa-bisa diganggu, dipikir menantang berkelahi, atau kalau perempuan, dikira mengajak mesum. Membingungkan. Tetapi camkanlah di otak: harus cuek, bahkan rada arogan, baru "dipandang". Dan jangan dikira bahasa Inggris akan membantu! Apalagi bila sebatas "cas-cus" saja: bisa-bisa Anda dikira imigran gelap.

Lalu, bila berani naik angkutan umum, dan terutama bila tetap berani tersenyum, bisa jadi kecopetan dompetnya oleh sesama "imigran". Apakah lebih aman kalau belanja? Ya! Tetapi, jangan kaget bila dianggap kere dan tak dihiraukan oleh pramuniaga. Frustrasi!

Baru mulai menarik bila Anda terbawa diskusi rada intelek di kafé keren. Pada awalnya memang Anda pasti kaget. Aduh, sombongnya waiter Perancis itu! Lalu kaget melihat orang-orang ngomong kayak bertengkar; suaranya keras, ngotot-ngototan! Akan saling pukul-memukulkah? Tidak. Tiba-tiba mereka tertawa terbahak-bahak. Aneh!

Kalau di kalangan borju, lain lagi. Gerak kaki, tangan Anda, suara, siapa bicara duluan, apa yang harus dibicarakan, semua ada kodenya. Yang paling penting: harus bergaya! Bukan dalam penampilan saja, tetapi di dalam isi pembicaraan. Apakah membicarakan "mati-nya post-modernisme" atau pameran Anish Kapoor di Versailles Palace, harus "unggul" atas lawan diskusinya. Menantang, tetapi pasti rada sulit menyesuaikan diri bagi orang Indonesia yang senantiasa "taat" dan murah senyum itu. Lalu, Anda pasti bertanya: bagaimana soal cewek bule? Kalau Anda kalah di pertarungan intelek di atas, masih bisa mengeluarkan kartu "eksotis" Anda: menjadi pangeran dari pulau dongeng. Bukankah banyak tokoh kemerdekaan Indonesia telah berhasil mengatasi trauma psikologis penjajahan dengan mengencani atau menikahi perempuan bule? Untuk naksir: cukup berikan bunga mawar setangkai!

Yang penting, kalau sudah pulang di Indonesia, jangan lupa mengutip Bourdieu dan Baudrillard serta menyatakan kekaguman pada museum Le Louvre, meskipun tidak mengunjunginya. Berarti Anda pun sudah menjadi keren ala Perancis, alias sombong. Sialan: yang dikira jelek selalu juga ada baiknya dan kebalikannya. He...he....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar