Anomali ISIS dan Timur Tengah 2015–2016
Ibnu Burdah
; Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam; Koordinator S-2 dan S-3 Kajian Timur Tengah
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta
|
JAWA
POS, 25 Desember 2015
KEBIADABAN dan
keganasan kelompok ISIS semakin menjadi ancaman bagi siapa saja. Tak peduli
muslim atau nonmuslim. Sunni, Syiah, Yazidiyah, atau yang lain.
Mereka tak
hanya melakukan aksi brutal dan sadis di wilayah kekuasaannya. Mereka juga
terus menebar horor di luar wilayah dengan menggunakan segala cara dan
mengorbankan siapa saja.
Negara-negara
yang mereka hadapi di medan perang Syria dan Iraq tentu akan menjadi target
utama. Termasuk, warga negaranya. Mereka tak hanya menyasar target simbolis
semata seperti tempat-tempat strategis militer sebagaimana sebelumnya, tapi
juga masyarakat sipil.
Warga sipil
yang telah menjadi korban aksi kekerasan mereka, antara lain, masyarakat
Rusia, Turki, Prancis, Tunisia, Arab Saudi, Kuwait, Lebanon, dan Yaman.
Negara-negara lain, termasuk Indonesia, juga memasang sikap cemas dan sangat
waspada.
Kecemasan
itulah yang mewarnai penyambutan datangnya tahun 2016. Kekhawatiran semacam
itu beralasan. Sebab, selama 2015, di tengah-tengah penguatan brutalitas
ISIS, yang terjadi di Syria justru peningkatan kompleksitas persoalan di
antara pihak-pihak yang memerangi ISIS. Baik itu peningkatan keterlibatan
aktor, dimensi, maupun intensitas konflik. Sementara upaya untuk membangun
perdamaian di Iraq dan Syria semakin jauh dari kenyataan.
Bahkan, di
tengah-tengah kesiagaan tinggi negara-negara Barat dan dunia akibat tragedi
Paris, kekuatan ISIS Yaman yang kurang diperhitungkan tiba-tiba pamer
kebiadaban di Eden.
Itu semakin
meningkatkan kekhawatiran tersebut. Tak tanggungtanggung, mereka mebunuh Wali
Kota Eden Ja’far Muhammad Saad beserta rombongan dengan meledakkan mobil.
Anomali Historis
Sebagai
kelompok yang mengklaim muslim, kebrutalan mereka sulit dimengerti. Benar
bahwa kekerasan, baik konflik terbatas maupun perang, banyak dijumpai dalam
sejarah panjang umat Islam masa klasik.
Namun, konteks
hubungan antarkelompok saat itu (masa klasik) memang sangat konfrontatif.
Lahirnya entitas atau kekuatan baru pasti dipandang sebagai ancaman oleh
kelompok lain. Dan, perang adalah bagian dari bahasa pergaulan antarkelompok
pada zaman itu. Artinya, perang hampir mustahil dapat dihindarkan.
Itu pun
etika-etika perang menyangkut sisi-sisi kemanusiaan dan lingkungan sangat
diperhatikan. Bahkan, surat-surat Nabi dan pengiriman utusan menunjukkan Nabi
sangat menginginkan diplomasi secara damai dalam berhubungan dengan
kekuatan-kekuatan di sekitar yang mengancamnya. Demikian pula halnya dengan
masa para sahabat. Singkatnya, sulit dipahami tindakan ISIS selama ini yang
begitu keji lahir dari rahim mainstream sejarah umat Islam.
Kelompok ISIS
sering dikaitkan dengan kelompok sangat kecil yang pernah melintas sekejap
dalam sejarah Islam. Kelompok yang juga sangat brutal itu kemudian dikenal
dengan nama Khawarij. Pertanyaannya, adakah hubungan geneologis antara
kelompok Khawarij yang muncul pada masa Imam Ali ra 14 abad lalu itu dan ISIS
saat ini?
Dari sisi
transmisi (sanad), tentu tak mudah membuktikan hal itu. Namun, dari sisi
tempat berkembangnya, ideologi Khawarij itu memang banyak berkembang di Iraq.
Bahkan, Ibnu
Khaldun, ilmuwan besar abad ke-14, menulis satu subbab Khawarij bil Musil
(Khawarij di Kota Mosul) dalam kitabnya, alIbar wa Diwan al-Mubtada’ wal
Khabar fi Ayyami al-Arab wal Ajami wal Barbar wan ’asharahum min dwawil
sulthani al-Akbar.
Entah ada yang
berkaitan atau tidak, Kota Mosul di Iraq Utara saat ini memang menjadi ’’ibu
kota’’ negara teror ISIS. Dan kebetulan, Abu Bakar al-Baghdadi, sang khalifah
ISIS, juga berasal dari wilayah tersebut.
Namun, tentu
terlalu gegabah untuk menyatakan bahwa kelompok ISIS yang menyebar horor di
manamana saat ini memiliki transmisi langsung ke kelompok Khawarij klasik itu
karena alasan tersebut.
Kelompok yang
sering dikaitkan dengan Khawarij klasik itu justru ’’Khawarij di Aljazair’’,
yakni dinasti Rustumiyah(761–909 M) yang terjepit dengan dua dinasti berbeda
aliran. Yakni, Idrisiyah yang beraliran Syiah di Maroko (788–974 M) dan
Aghlabiyyah yang Sunni di Tunisia (800–900-an M). Kelompok lain yang
dikait-kaitkan adalah sebagian penganut Ibadhiyah di Oman, kendati yang ini
dikenal telah moderat.
Namun, dari
sisi perilaku, kelompok Khawarij klasik itu memang sangat dekat dengan
kelompok ISIS sekarang ini. Sumber-sumber sejarah klasik menyebutkan, mereka
adalah orang yang sangat keras dan kasar. Mereka mengafirkan semua orang di
luar kelompoknya.
Bahkan, Imam
Ali pun mereka kafirkan. Kata mereka, la hukma illa lillah, tak ada hukum
kecuali milik Allah. Sementara itu, Imam Ali bertahkim kepada manusia dalam
perselisihannya dengan Muawiyah karena itu Imam Ali harus dikafirkan dan
diperangi.
Dari karakter
itu, kelompok ISIS yang menebar teror saat ini memiliki kemiripan dengan
Khawarij yang pernah berkembang pada masa Imam Ali. Namun, tampaknya,
kelompok ISIS jauh lebih keji dalam melakukan tindakan-tindakan biadabnya.
Jika Khawarij
klasik bersikap demikian karena picik dalam pandangan keagamaannya dan tak
terdidik, ISIS rupanya memiliki latar belakang yang lebih kompleks sesuai
dengan kompleksitas zaman ini.
Kelompok itu, tampaknya, masih
menjadi sumber ancaman yang paling dikhawatirkan pada 2016. Bukan hanya oleh
masyarakat Timur Tengah, tetapi juga dunia pada umumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar