Senin, 21 Desember 2015

Merayakan Kehidupan

Merayakan Kehidupan

Komaruddin Hidayat  ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
                                                KORAN SINDO, 18 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ada nasihat sederhana. Kalau kita selalu mengenakan kacamata hitam, dunia sekeliling juga akan terlihat gelap.

Kacamata hitam itu sekali-sekali diperlukan untuk meredam cahaya panas dan terang yang menyilaukan mata. Tapi jangan selalu dipakai. Makanya ada orang yang memiliki beberapa jenis kacamata untuk dipakai sesuai situasi dan keperluan. Yang tidak mudah berganti adalah kacamata hati dan pikiran atau mindset. Ini terbentuk antara lain oleh pendidikan, kebiasaan dan sistem kepercayaan yang pada urutannya membentuk karakter seseorang.

Misalnya saja, kita dibuat heran mengapa ada orang yang meledakkan bom bunuh diri untuk memperjuangkan keyakinan agamanya. Tetapi bagi pelakunya, mungkin sekali itu dianggap pilihan mulia sebagai jalan terdekat masuk surga, satu kehidupan yang dibayangkan jauh lebih indah ketimbang hidup di dunia yang baginya menyengsarakan. Sementara ada orang lain yang berusaha mempertahankan hidup dengan biaya pengobatan dalam jumlah miliaran karena enggan pisah dari dunia.

Jadi, kacamata kehidupan yang dipakai jelas berbeda. Sekarang dunia semakin plural. Akibat perang, terjadi diaspora, orang mencari tempat pengungsian dan kehidupan ke negara lain, seperti korban perang di Palestina, Libya, Tunisia, Suriah, Irak, dan Afganistan yang mencari suaka ke Eropa. Pluralitas ini semakin dirasakan bagi mereka yang aktif malang-melintang di dunia maya.

Dengan mudahnya melakukan ziarah kultural dan intelektual seantero dunia. Tak hanya ziarah, tetapi seseorang bebas mau shopping ataupun berdebat menghadapi paham dan keyakinan yang berbeda. Festival kehidupan semakin meriah dan warna-warni. Jumlahnegara punsemakinbertambah yang diakui oleh badan dunia, Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB).

Ide dasar badan itu didirikan pada 1945 memang untuk mempersatukan dan mendamaikan hubungan antarbangsa dan negara. Jangan sampai meletus Perang Dunia ke-3. Kalau terjadi, peradaban akan kembali dari nol lagi. Meski tidak terjadi Perang Dunia ke-3, nyatanya kedamaian dan keadilan universal masih jauh. Mungkin kedamaian universal itu sebuah utopia. Tanpa utopia dunia manusia memang menjadi flat, datar, seperti putaran jarum jam.

Salah satu tugas sains adalah memprediksi dan merekayasa sejarah masa depan. Tapi yang namanya prediksi, tetaplah prediksi. Sehebat apa pun kemajuan iptek supermodern, masa depan manusia tetap mengandung misteri. Unpredictable. Perkembangan dan penyebaran sains modern telah menciptakan enclave komunitas akademik yang cenderung seragam di seluruh dunia.

Tetapi, lagi-lagi, universalisme sains tak mampu menghilangkan keunikan, fanatisme dan militansi kelompok-kelompok ideologis entah itu berakar pada etnis, agama, bahasa yang bisa saja mengkristal menjadi kekuatan konspirasi sejak dari tingkat lokal, nasional, regional bahkan global yang ditopang oleh kekuatan modal material, tekno-logikal, dan intelektual (economical, technological and intellectual capital). Man is homo festivus. Manusia itu makhluk yang senang merayakan festival. Masyarakat dan bangsa manapun senang berfestival.

Ada festival bunga, kembang api, tarian, dan sekian ragam lainnya. Celakanya, ada sekelompok orang yang memandang perang juga sebagai festival. Mereka sengaja menciptakan perang. Mengadu domba antarkelompok bangsa dan agama, agar pabrik senjata laku. Untuk apa pabrik senjata dibangun, ribuan scientist digaji tinggi, kalau di muka bumi ini tidak ada proyek peperangan yang menggunakan senjata modern yang mereka produksi agar dagangannya laku?

Berapa banyak orang menjadi kaya raya berkat jual-beli senjata? Jadi, bagaimana mestinya merayakan kehidupan? Jawabannya akan dipengaruhi oleh keyakinan agama dan filsafat hidup seseorang. Akan dipengaruhi oleh pengalaman masa lalunya dan cita-cita di masa depannya. Saya sendiri memilih untuk mengenakan kacamata humanisme religius. Bahwa Tuhan menciptakan ini semua untuk manusia.

Meminjam ungkapan Ibnu Araby, semua ini mewujud karena cinta ilahi. Tanpa energi cinta, semesta sudah lama hancur. Jejaring kosmos dan sosial terjalin karena energi cinta. Bahkan persahabatanyangterjalinantara bumi, matahari, air, hewan, tumbuhan, kesemuanya karena emanasi cinta dari Dia yang rahman dan rahim. Ketika terjadi krisis cinta, cosmos akan berubah menjadi chaos. Mungkin di situ tersimpan rahasia ilahi, mengapa setiap perbuatan hendaknya dimulai dengan ikrar dan manifesto: Bismillahirrahmanirrahim.

Semoga hati, pikiran, lisan dan seluruh tindakan kita menjadi agen, instrumen dan transmiter cinta ilahi untuk disebarkan ke seluruh makhluknya sehingga bumi menjadi panggung festival peradaban dalam berbagai ragam ekspresi dan artikulasinya. Maka pilihlah kacamata kehidupan yang enak, benar, dan pas dipakai agar hari-hari akan terasa nyaman dijalani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar