Merayakan Kehidupan
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 18 Desember 2015
Ada nasihat
sederhana. Kalau kita selalu mengenakan kacamata hitam, dunia sekeliling juga
akan terlihat gelap.
Kacamata
hitam itu sekali-sekali diperlukan untuk meredam cahaya panas dan terang yang
menyilaukan mata. Tapi jangan selalu dipakai. Makanya ada orang yang memiliki
beberapa jenis kacamata untuk dipakai sesuai situasi dan keperluan. Yang
tidak mudah berganti adalah kacamata hati dan pikiran atau mindset. Ini terbentuk antara lain
oleh pendidikan, kebiasaan dan sistem kepercayaan yang pada urutannya
membentuk karakter seseorang.
Misalnya
saja, kita dibuat heran mengapa ada orang yang meledakkan bom bunuh diri
untuk memperjuangkan keyakinan agamanya. Tetapi bagi pelakunya, mungkin
sekali itu dianggap pilihan mulia sebagai jalan terdekat masuk surga, satu
kehidupan yang dibayangkan jauh lebih indah ketimbang hidup di dunia yang
baginya menyengsarakan. Sementara ada orang lain yang berusaha mempertahankan
hidup dengan biaya pengobatan dalam jumlah miliaran karena enggan pisah dari
dunia.
Jadi,
kacamata kehidupan yang dipakai jelas berbeda. Sekarang dunia semakin plural.
Akibat perang, terjadi diaspora, orang mencari tempat pengungsian dan
kehidupan ke negara lain, seperti korban perang di Palestina, Libya, Tunisia,
Suriah, Irak, dan Afganistan yang mencari suaka ke Eropa. Pluralitas ini
semakin dirasakan bagi mereka yang aktif malang-melintang di dunia maya.
Dengan
mudahnya melakukan ziarah kultural dan intelektual seantero dunia. Tak hanya
ziarah, tetapi seseorang bebas mau shopping ataupun berdebat menghadapi paham
dan keyakinan yang berbeda. Festival kehidupan semakin meriah dan
warna-warni. Jumlahnegara punsemakinbertambah yang diakui oleh badan dunia,
Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB).
Ide dasar
badan itu didirikan pada 1945 memang untuk mempersatukan dan mendamaikan
hubungan antarbangsa dan negara. Jangan sampai meletus Perang Dunia ke-3.
Kalau terjadi, peradaban akan kembali dari nol lagi. Meski tidak terjadi
Perang Dunia ke-3, nyatanya kedamaian dan keadilan universal masih jauh.
Mungkin kedamaian universal itu sebuah utopia. Tanpa utopia dunia manusia
memang menjadi flat, datar, seperti putaran jarum jam.
Salah satu
tugas sains adalah memprediksi dan merekayasa sejarah masa depan. Tapi yang
namanya prediksi, tetaplah prediksi. Sehebat apa pun kemajuan iptek
supermodern, masa depan manusia tetap mengandung misteri. Unpredictable.
Perkembangan dan penyebaran sains modern telah menciptakan enclave komunitas
akademik yang cenderung seragam di seluruh dunia.
Tetapi,
lagi-lagi, universalisme sains tak mampu menghilangkan keunikan, fanatisme
dan militansi kelompok-kelompok ideologis entah itu berakar pada etnis,
agama, bahasa yang bisa saja mengkristal menjadi kekuatan konspirasi sejak
dari tingkat lokal, nasional, regional bahkan global yang ditopang oleh
kekuatan modal material, tekno-logikal, dan intelektual (economical, technological and intellectual capital). Man is homo festivus. Manusia itu
makhluk yang senang merayakan festival. Masyarakat dan bangsa manapun senang
berfestival.
Ada festival
bunga, kembang api, tarian, dan sekian ragam lainnya. Celakanya, ada
sekelompok orang yang memandang perang juga sebagai festival. Mereka sengaja
menciptakan perang. Mengadu domba antarkelompok bangsa dan agama, agar pabrik
senjata laku. Untuk apa pabrik senjata dibangun, ribuan scientist digaji
tinggi, kalau di muka bumi ini tidak ada proyek peperangan yang menggunakan
senjata modern yang mereka produksi agar dagangannya laku?
Berapa banyak
orang menjadi kaya raya berkat jual-beli senjata? Jadi, bagaimana mestinya
merayakan kehidupan? Jawabannya akan dipengaruhi oleh keyakinan agama dan
filsafat hidup seseorang. Akan dipengaruhi oleh pengalaman masa lalunya dan
cita-cita di masa depannya. Saya sendiri memilih untuk mengenakan kacamata
humanisme religius. Bahwa Tuhan menciptakan ini semua untuk manusia.
Meminjam
ungkapan Ibnu Araby, semua ini mewujud karena cinta ilahi. Tanpa energi
cinta, semesta sudah lama hancur. Jejaring kosmos dan sosial terjalin karena
energi cinta. Bahkan persahabatanyangterjalinantara bumi, matahari, air,
hewan, tumbuhan, kesemuanya karena emanasi cinta dari Dia yang rahman dan
rahim. Ketika terjadi krisis cinta, cosmos akan berubah menjadi chaos.
Mungkin di situ tersimpan rahasia ilahi, mengapa setiap perbuatan hendaknya
dimulai dengan ikrar dan manifesto: Bismillahirrahmanirrahim.
Semoga hati,
pikiran, lisan dan seluruh tindakan kita menjadi agen, instrumen dan
transmiter cinta ilahi untuk disebarkan ke seluruh makhluknya sehingga bumi
menjadi panggung festival peradaban dalam berbagai ragam ekspresi dan
artikulasinya. Maka pilihlah kacamata kehidupan yang enak, benar, dan pas dipakai
agar hari-hari akan terasa nyaman dijalani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar