Om Ben dan Krisis Intelektual Publik
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen Politik FISIP
Universitas Airlangga; Kandidat
PhD Asia Research Center Murdoch University
|
KORAN
SINDO, 23 Desember 2015
Meskipun saya
bukanlah murid langsung dan hanya bertemu dua kali dengan Benedict ROG
Anderson, profesor Ilmu Politik dari Cornell University (sekaligus sebuah
legenda dalam kajian Indonesia dan sejarah nasionalisme), khabar wafatnya
beliau pada 13 Desember lalu di daerah Batu, Jawa Timur begitu menyedihkan.
Tentu perasaan seperti ini dialami oleh banyak orang, mulai dari sanak
saudara sampai kalangan aktivis demokrasi dan akademisi/intelektual yang
akrab dan mengagumi karya-karya beliau yang tajam, kritis, dan menggabungkan
pendekatan multidisiplin.
Dalam
pertemuan terakhir kami di Restoran Hello Surabaya sekitar 2010, ketika kami
membahas salah satu karya kolega beliau, Ruth McVey, berjudul The Rise of Indonesian Communism
(diterbitkan oleh Komunitas Bambu dengan judul Kemunculan Komunisme Indonesia), beliau yang ingin dipanggil
dengan sebutan Om Ben tidak lupa berpesan kepada saya untuk menjadi
intelektual publik yang produktif berbicara kepada rakyat melalui karya-karya
yang membongkar karakter kekuasaan Indonesia dan menciptakan pengetahuan bagi
tumbuh kembangnya kesadaran kritis di tingkat gerakan arus bawah. Terkait
dengan nasihat beliau, tulisan ini akan membatasi ulasan atas pemikirannya
pada salah satu pidato yang menggugah berjudul Public Intellectuals (or A
Tribute to Books) yang diselenggarakan di Manila oleh Japan Foundation.
Dalam
karyanya ia menguraikan tentang surutnya tradisi kritis intelektual publik
seiring dengan menguatnya kekuasaan oligarki di negara-negara Asia Tenggara
seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Menurut Om Ben, tradisi penulisan kritis di berbagai negara Asia Tenggara
seperti mengalami mati suri yang panjang sekali setelah masa lalu sempat
memproduksi beberapa intelektual publik pemberontak ikonik seperti Pramoedya
Ananta Toer di Indonesia dengan novel-novel sejarah, cerita pendek, dan
esai-esainya yang menggugah. Sementara di Thailand ada tokoh seperti Sulak
Sivarak yang menciptakan beberapa karya kritis dengan gugatan sosial-politik
yang kuat maupun Renato Constantino di Filipina yang menulis karya-karya
sejarah kritis dengan karakter nasionalisme kerakyatan yang kuat.
Berangkat
dari perenungan akan paceklik karya-karya progresif, Om Ben menjelaskan
tentang takdir intelektual publik dalam bingkai struktur sosial dan historiografi
Asia Tenggara. Krisis intelektual publik sebenarnya bukanlah persoalan unik
yang dihadapi negara-negara Asia Tenggara, namun ada yang membedakan
persoalan yang dihadapi negara-negara di Asia Tenggara dengan yang
berlangsung di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia misalnya.
Di Eropa,
Amerika Serikat, dan Australia yang terjadi adalah keterasingan dunia
akademik dari publik secara luas. Di negara-negara di atas, karya-karya
intelektual diciptakan dan disebarkan dalam jurnal-jurnal ilmiah dan buku-buku
akademik yang terbatas pada tembok-tembok kampus. Mereka menulis dan membaca
di kalangan mereka sendiri. Setelah era intelektual publik seperti C Wright
Mills di Amerika Serikat misalnya sulit menemukan kemunculan intelektual yang
menorehkan karyanya untuk mendiseminasikan pengetahuan yang membangkitkan
kesadaran kritis publik secara lebih luas.
Sementara
kondisi yang berbeda berlangsung di negara-negara Asia Tenggara, para
akademisi menghadapi dua situasi yang kontradiktif. Mereka dibayar dengan
upah yang rendah, namun memiliki akses yang baik dengan pemegang kekuasaan
dan kerap menyapa khalayak di media nasional maupun lokal. Seperti Indonesia
pada era Orde Baru, suasana otoritarianisme negara tidak hanya
mempertontonkan pendalaman intervensi negara untuk mengontrol dunia akademik.
Selain fenomena itu, terjadi pula pertautan kepentingan antara penguasa dan
aktor-aktor utama intelektual. Di tengah hancurnya pertautan antara kalangan
akademik dan basis sosial di tingkat bawah, kaum intelektual menautkan
kepentingan material mereka dengan kelompok penguasa dalam hubungan yang
saling menguntungkan.
Sejak era Orde Baru telah terjadi
betapa kalangan intelektual cenderung melayani kepentingan elite politik dan
mencari akses kepada kekuasaan, institusi publik, dan proyek-proyek dari
negara, alih-alih menulis karya-karya yang memperlihatkan watak opresif dan
korup dari kekuasaan.
Keadaan ini terus berlangsung setelah era otoritarianisme berlalu. Setelah
musim semi gairah kebebasan demokrasi yang berlangsung pendek, elite-elite
dominan masa lalu berhasil beradaptasi dengan bentuk kelembagaan demokrasi
dan membangun aliansi-aliansi bisnis-politik baru sambil merawat kemakmuran
dan kekuasaan yang mereka bangun pada era silam.
Akademisi dan Oligarki
Setelah
mengalami masa bulan madu yang pendek dengan proses demokrasi, ketika kampus
menjadi sarang dari kelompok reformis dan demokratik, kondisi seperti era
Orde Baru hadir kembali dengan nuansa yang agak berbeda. Suasana
demokratisasi yang tidak mampu melahirkan kekuatan sosial reformis dan
progresif yang kuat secara sosial memberikan ruang bagi penguasaan hampir
utuh aktor-aktor oligarki terhadap ranah masyarakat sipil, termasuk akademisi
kampus di dalamnya. Di antara kepungan aktor-aktor oligarki di ranah sosial,
pembentukan kembali posisi dan peran akademisi sebagai pendukung kekuasaan
kembali terbangun pada era demokratisasi.
Dalam
menjalankan peran-peran publiknya sebagai konsultan politik, komentator di
media massa dan tenaga-tenaga teknokratik birokrasi, mereka cenderung
melakukan pembenaran-pembenaran akademik sesuai keahlian mereka yang sinergis
dengan kepentingan aliansi-aliansi sosial oligarki. Dalam bahasa intelektual
aktivis asal Italia, Antonio Gramsci (1971), kalangan akademisi ini cenderung
menjadi intelektual organik, namun mereka tidak organik dalam pengertian
sebagai katalis dari perjuangan kekuatan akar rumput. Mereka kalangan
akademisi menjadi kekuatan organik dari kaum oligark yang gerak dan manuver
politiknya cenderung meminggirkan kepentingan-kepentingan publik dalam ruang
demokrasi dan politik.
Hal yang
menarik dan belum tereksplorasi secara mendalam dalam tulisan Om Ben adalah
bagaimana kalangan akademisi tadi terserap dalam logika oligarki dan
menggunakan ilmunya untuk melayani kepentingan mereka, alih-alih
mengkritiknya. Di tengah menguatnya peran lembaga-lembaga konsultan dalam
proses elektoral seiring dengan menguatnya politik uang, apakah kaum
akademisi ini juga bertanggung jawab memberikan strategi bagi kaum oligark
untuk melakukan politik uang dan berkelit dari jebakan hukum. Ketika berhadapan
dengan kasus-kasus hukum seperti kasus Lapindo misalnya, apakah kalangan
intelektual ini melayani kepentingan oligarki dengan memberikan pembenaran
akademik? Semua itu adalah ruang-ruang penelaahan kritik bagi perjuangan
membangun otokritik di kalangan intelektual dari sebuah sumbangan pemikiran
yang dikemukakan oleh Om Ben. Selamat
jalan Om! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar