Dissenting Opinion
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 27 Desember 2015
Pada 1951
seorang psikolog peneliti bernama Solomon Asch (SA) mengadakan penelitian
yang sangat terkenal dan selalu masuk dalam buku-buku teks internasional
tentang Psikologi Sosial. Eksperimennya seperti ini: Pertama sekali SA
meminta tujuh relawan untuk duduk mengelilingi sebuah meja di ruang
laboratoriumnya. Dari tujuh relawan itu, hanya satu orang yang benarbenar
orang percobaan (OP), yang lainnya adalah kolaborator SA. Awalnya kepada
tujuh orang itu ditunjukkan gambar sebuah garis (X). Kemudian gambar garis X
diganti dengan gambar tiga garis A, B, dan C yang berbedabeda panjangnya,
namun ada satu di antaranya garis ”C” yang persis sama panjangnya dengan
garis ”X”.
Berikutnya
gambar tiga garis A, B, dan C disingkirkan dan sekarang tujuh relawan diminta
menyebutkan garis mana yang paling mendekati panjangnya dengan panjang garis
”X”. OP, orang percobaan yang sesungguhnya, tentu saja sudah siap untuk
menjawab ”C” seperti apa yang sudah dia lihat sendiri.
Tetapi, enam
kawannya, yang tanpa sepengetahuan OP adalah para kolaborator, dan yang
diberi kesempatan menjawab terlebih dahulu, semuanya menyebut ”B” sebagai
garis yang paling sama panjangnya dengan garis ”X”. Tentu saja OP bingung:
dia tahu pasti bahwa yang benar adalah ”C”, tetapi dia ragu karena semua
temannya menjawab ”B”.
SA mengadakan
eksperimen ini berulang-ulang dengan OP berbeda-beda dan ternyata sekitar 75%
dari OP-nya menjawab” B” walaupuntahujawaban itu salah. Eksperimen ini
membuktikan bahwa manusia cenderung konformis. Hanya, beberapa yang berani
menyatakan bahwa yang benar itu benar.
Dalam dunia
hukum, seorang hakim anggota yang tidak sependapat dengan hakimhakim anggota
yang lain bisa dicatatsebagaiberpendapatyang berbeda (dissenting opinion )
dan vonis tetap dijatuhkan sesuai dengan pendapat suara hakim anggota
mayoritas. Maksudnya, jika kelak ada kesalahan dalam vonis, hakim yang
berpendapat berbeda itu tidak bisa ikut disalahkan.
Dissenting
opinion adalah pendapat yang profesional, yang didasarkan argumentasi
argumentasi ilmiah dan dicatat secara formal. Jadi, tidak ada kaitannya
dengan integritas hakim yang bersangkutan, bahkan dissenting opinion yang
kemudian ternyata benar banyak sekali terjadi dalam sejarah.
Bapak
Sosiologi Modern dan pemenang hadiah Nobel, Robert K Merton (1910-2003),
menyatakan bahwa tidak mungkin semua orang dalam sebuah masyarakat
berpendapat sama karena semua individu punya peran dan bertindak sesuai peran
masing-masing yang semuanya berpengaruh pada masyarakat.
Irving Janis
(1918-1990), seorang psikolog sosial, bahkan memberi contoh betapa kelompok
yang tidak memberi peluang kepada dissenting
opinion sekecil apa pun bisa hancur sendiri. Contoh pertama adalah
tewasnya ribuan tentara AS di Pearl Harbor pada 1942, ketika pangkalan
militer di kepulauan Hawaii dihujani bom oleh pesawat- pesawat militer
Jepang, gara-gara laksamana komandan pangkalan yang dibangunkan saat sedang
tidur pada pagi hari buta itu tidak percaya kepada laporan anggotanya bahwa
radar telah menangkap tanda-tanda banyak pesawat terbang mendekat.
Laksamana
berpikir bahwa tidak mungkin anggota itu benar karena jarak antara Jepang dan
Hawaii terlalu jauh untuk diterbangi oleh pesawat mana pun. Yang tidak
diketahui oleh laksamana adalah bahwa Jepang sudah mempunyai kapal induk
untuk mengangkut pesawat-pesawat tempurnya. Contoh kedua, serbuan militer AS
ke Bay of Pigs di Kuba pada 1961 (di bawah Presiden Kennedy). Operasi itu
gagal total.
Ratusan
tentara AS tewas dan ribuan ditawan oleh milisi Kuba gara-gara para jenderal
tidak mau percaya kepada laporan seorang perwira intelijen bahwa di Kuba
sudah ada persiapan- persiapan untuk menggagalkan serbuan militer AS
tersebut. Oleh Janis, kecenderungan menolak dissenting opinion (ini bukan istilah Janis, melainkan istilah
yang saya pinjam dari ilmu hukum) oleh kelompok yang merasa dirinya sudah
kuat disebut Groupthink .
Jadi,
pendapat yang berbeda atau perbedaan pendapat sama sekali tidak bisa
diabaikan dalam perkembangan sebuah masyarakat. Tanpa dissenting opinion dari
seorang Columbus, sampai hari ini tidak akan ada negara yang namanya Amerika
Serikat. Tanpa dissenting opinion
dari para penemu seperti fisikawan Einstein, Thomas A Edison, dan James Watt,
hari ini kita tidak akan menggunakan HP, masih memakai obor untuk penerangan,
dan masih naik kuda serta kapal layar untuk bepergian. Semua temuan selalu
diawali oleh dissenting opinion.
Begitu juga
agama-agama. Semua nabi (baik di Timur maupun di Barat) selalu mengawali
penyebaran agamanya sebagai dissenting opinion, dan konsekuensinya mereka
selalu dibully oleh masyarakatnya
ketika itu. Pasalnya, memang makhluk yang namanya manusia cenderung tidak
suka pada dissenting opinion seperti dalam eksperimen SA di atas.
Alexander
Marwata, yang sekarang menjadi wakil ketua KPK, di-bully habis-habisan ketika ia dicalonkan sebagai anggota KPK
karena ia pernah mengajukan dissenting opinion ketika ia bertugas sebagai
hakim ad-hoc di Pengadilan Tipikor.
Semua anggota KPK 2015-2019 di-bully sebelum terpilih hanya karena mereka
bukan orang-orang yang dianggap ideal menurut pendapat masyarakat, termasuk
oleh masyarakat yang tidak tahu apa-apa, kecuali membeo saja pada diskursus
dalam media sosial dan media massa.
Di dalam
sejarah Islam, dissenting opinion pasca-Rasulullah menyebabkan terpecahnya
Islam ke berbagai sekte yang sekarang saling berperang (Syiah, Sunni, dan
sebagainya). Dalam sejarah Kristen, dissenting opinion dari pendeta Martin
Luther telah melahirkan Protestanisme, padahal pesan para nabi hakikatnya
sama saja yaitu rahmatan lil alamin atau damai di bumi. Selamat Maulid Nabi
Muhammad SAW 24 Desember 2015 dan Natal 25 Desember 2015. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar