Kamis, 31 Desember 2015

Pesan-pesan Keagamaan Nenek Saya

Pesan-pesan Keagamaan Nenek Saya

  Achmad Munif  ;  Bekerja di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) ”APMD” dan Institut Dakwah Masjid Syuhada (IDMS) Yogyakarta
                                                      KOMPAS, 30 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Berikut pesan nenek saya kepada kami sesaudara ketika beliau masih hidup.

”Wong Islam kuwi nang masjid, mulo nek wong Jowo kabeh kepengin urip bebarengan kanti apik lan tentrem ojo ono sing ngino lan ngalang-ngalangi wong kang nang masjid.”

”Wong Nasrani kuwi nang gereja,mulo nek wong Jowo kabeh kepengin urip bebarengan kanti apik lan tentrem ojo ono sing ngino lan ngalang-ngalangi wong kang nang gereja.”

”Wong Buddha kuwi nang wihara, mulo nek wong Jowo kabeh kepengin urip bebarengan kanti apik lan tentrem ojo ono sing ngino lan ngalang-ngalangi wong kang nang wihara.”

”Wong Hindu kuwi nang kuil utawa pura, mulo nek wong Jowo kabeh kepengin urip bebarengan kanti apik lan tentrem ojo ono sing ngino lan ngalang-ngalangi wong kang nang kuil utawa pura.”

Artinya kurang lebih sebagai berikut.

”Orang Islam itu ke masjid; maka kalau kitaingin orang semua orang Jawa hidup bersama dengan baik dan tenteram, maka jangan pernah menghina dan menghalang-halangi orang yang ke masjid.”

”Orang Nasrani itu ke gereja; maka kalau kitaingin semua orang Jawa hidup bersama dengan baikdan tenteram, maka jangan pernah menghina dan menghalang-halangi orang yang ke gereja.”

”Orang Buddha itu pergi ke wihara; maka kalau kitaingin semua orang Jawa hidup bersama dengan baikdan tenteram, maka jangan pernah menghina dan menghalang-halangi orang yang ke wihara.”

”Orang Hindu itu ke kuil atau pura; maka kalau kitaingin semua orang Jawa hidup bersama dengan baikdan tenteram, maka jangan pernah menghina dan menghalang-halangi orang yang ke kuil atau pura.”

Jawa-Indonesia

Saya sampaikan maaf untuk nenek saya karena beliau menyebut Jawa, bukan Indonesia. Mungkin bagi nenek saya Jawa itu, ya, Indonesia dan Indonesia itu, ya, Jawa.

Juga maafkan nenek saya kalau tidak menyebut Khonghucu. Mungkin itu karena ketidaktahuannenek saya.Maklum nenek saya orang desa kluthuk yang hanya bisa membaca huruf Al Quran. Tiap malam setelah shalat maghrib beliau selalu membaca Al Quran. Keluarga kami adalah petani kecil yang hanya mempunyai secuil kebun salak dan sejengkal sawah yang ditanami padi. Jadi, keseharian nenek saya kalau tidak ke sawah, ya, merawat kebun salak kami.

Saya tidak tahu dari mana kalimat-kalimatagak panjang itu dipungut nenek. Mungkin dari kakek saya. Ketika pesan nenek itu disampaikan kepada kami, kakek sudah meninggal. Namun, kakek saya memang seorang pengembara dalam arti: pergi beberapa hari bahkan sampai setengah bulan.

Kakek pergi dari desa satu ke desa lain sebagai penyembuh sakit kepala. Beliau penyembuh tradisional canduk, yaitu menyembuhkan sakit kepala dengan tanduk kerbau. Rambut si sakit dicukur berbentuk bulat seluas lubang pangkal tanduk kerbau, kemudian kakek meniupkan napasnya dari ujung tanduk yang memang sudah dilubangi. Dengan cara itu kakek mengobati siapa saja dan tentu saja mendapat upah seikhlasnya.

Dalam mengobati, kakek tidak pandang bulu. Apa pun agamanya, apa pun partainya, kaya atau miskin, bahkan banyak juga orang Tionghoa, kalau mereka minta pertolongan, kakek tidak pernah menolak. Kakek saya sangat toleran kepada siapa saja dan sangat penyabar.

Setelah saya dan saudara saya sudah dewasa dan kakek sudah meninggal, saya menduga-duga, kata-kata nenek itu berasal dari kakek. Pasalnya, kami sering melihat setiap kakek pulang dari pengembaraannya selalu bicara-bicara dengan nenek.

Barangkali kakek memang belum sempat menyampaikan pesan-pesan, seperti yang disampaikan nenek tadi. Kakek lebih sering mengembara daripada berdiam di rumah. Nenek saya pun juga agak aneh dan sedikit nyentrik.

Oh ya, perlu saya ceritakan, kami lima bersaudara memang hidup dan dibesarkan nenek. Kakek meninggal ketika saya masih kecil. Kami semua ikut nenek karena anak nenek hanya satu—yaitu ibu kami—dan meninggal ketika melahirkan saya. Karena ayah keburu menikah lagi, kami berlima diboyong dan dibesarkan nenek.

Tadi saya katakan nenek saya agak nyentrik karena kemauannya yang keras. Ketika kakek meninggal, nenek masih cukup muda: 40 tahun. Masih banyak orang yang melamarnya. Namun, tekad nenek tidak akan menikah lagi karena ingin membesarkan kami. Ia ingin membuktikan kepada bekas menantunya, yaitu ayah saya, bahwa ia mampu menghidupi dan membesarkan cucu-cucunya.

Nenek tidak mau kami semua ikut ibu tiri. Ayah saya pernah mengatakan, ”Ben wae melu mbahne, mengko nek mbahne ora kuat kan dibalekke nang aku.”(Biar saja ikut neneknya, nanti kalau neneknya sudah tidak kuat, anak-anak saya akan dikembalikan ke saya). Bagi nenek ini adalah penghinaan. Dan, beliau bertekad akan membesarkan kami sampai cucu paling kecil, yaitu saya, menikah.

Doa nenek dikabulkan Allah. Beliau meninggal setelah saya, cucu bungsunya, mempunyai seorang anak. Nenek saya meninggal pada usia 100 tahun.

Luar biasa

Kenyentrikan nenek, kalau saya renungkan sekarang, lumayan juga. Pada Pemilihan Umum 1955, ketika hampir semua anggota keluarga besar memilih Partai Nahdlatul Ulama (NU), nenek memilih dan bahkan mengajak beberapa tetangga untuk mencoblos Partai Masyumi.

Bagi saya, sikap seperti itu sekarang dinilai cukup luar biasa sehingga kalau ia menegakkan shalat berjemaah di surau sering mendapat cibiran saudara dan tetangga. Beliau hanya bilang, ”Lha wong aku seneng Masyumi kok. Sing seneng NU yo babah ae”, (Lha saya senang Masyumi kok, yang senang NU ya biar saja.)

Sekarang barulah saya sadar bahwa sekalipun nenek saya orang desa yang hanya bisa mengaji, beliau cerdas dan memiliki pandangan hidup bermasyarakat yang dalam sekali.

Suatu hari ketika saya akan berangkat melanjutkan sekolah di Yogya, nenek banyak sekali berpesan. Baru kali itu nenek banyak bicara, banyak sekali. Di antara pesannya yang saya ingat adalah, ”jangan pernah meninggalkan shalat lima waktu, jangan suka mempermainkan anak gadis orang, ojo dahwen, panasten, drengki srei, gampang nesu, sombong”. Dan, yang terakhir adalah lakum diinukum waliyadiin–bagimu agamamu dan bagiku agamaku.

”Lee, nek koen ora gelem dipeksa ngrengkuhagama sing dudu Islam, koen yo ojo meksa wong liya ngrengkuh agamane awake dhewe.”— ”Nak kalau kamu tidak mau dipaksa memeluk agama selain Islam, kamu ya jangan memaksa orang lain memeluk agama kita.”

Saya yakin betul pesan seperti itu juga pernah disampaikan nenek kepada saudara-saudara saya. Seperti halnya kakek, nenek punya kenalan yang beragam. Kalau panen, nenek suka menjual buah salak kepada para pembeli warga Tionghoa. Waktu saya kecil banyak sekali warga Tionghoa dari kota datang ke rumah saya untuk membeli salak.

Sekarang kalau saya mendengar wacana tentang pentingnya kerukunan antarumat beragama, perlunya dialog antariman, dan ungkapan-ungkapan lain semacam itu, saya selalu ingat nenek saya. Saya sangat bangga kepada beliau yang selama hidupnya pontang-panting bekerja agar bisa membesarkan dan menyekolahkan cucu-cucunya.Ke kebun, ke sawah, jual kelapa, jual mangga, jual sawo, dan jual bambu (kebetulan kami memiliki sedikit kebun bambu) untuk menghidupi kami.

Akan tetapi, bagi saya sekarang, warisan paling berharga dari nenek adalah ajarannya tentangtoleransi antarsesama. Meskipun nenek saya hanya orang desa yang benar-benar ndesit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar