Selasa, 22 Desember 2015

Sandiwara Politik Akhir 2015

Sandiwara Politik Akhir 2015

M Subhan SD  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 19 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

“Politisi selalu memikirkan pemilu berikutnya, tetapi negarawan selalu memikirkan generasi berikutnya.”         (James Freeman Clarke)

David Blunkett, Menteri Dalam Negeri Inggris, mundur dari jabatannya, 15 Desember 2004. Dia lengser karena membantu mempercepat urusan visa pengasuh anak bekas pacarnya. Meski cuma urusan visa, publik Inggris tidak bisa menerima. Tindakan Blunkett termasuk penyalahgunaan jabatan. ”Sebagai manusia, sikap (mundur) Blunkett mendapat simpati. Tetapi, sebagai politisi-negarawan, tidak sama sekali,” tulis The Telegraph (16/12/2004).

Di banyak negara, mundur dari jabatan merupakan bentuk pertanggungjawaban seorang pemimpin atau pejabat. Bahkan di Jepang, seppuku (bunuh diri) adalah bentuk pertanggungjawaban yang mentradisi. Namun, di negeri ini, sikap mundur bukanlah kelaziman. Barangkali karena sejak kecil masyarakat kita ditanamkan sikap ”pantang mundur”. Maka, mundurnya Direktur Jenderal Pajak Sigit Priadi Pramudito karena merasa gagal mengejar target pajak tahun ini mestinya menjadi contoh bagi para politisi.

Ketaatan pada nilai-nilai etik sesungguhnya akan menakar sampai di mana integritas seorang manusia, terlebih mereka yang berstatus pemimpin atau pejabat negara. Maka, sungguh sulit melihat mundurnya Ketua DPR Setya Novanto karena dorongan kesadaran sebagai bentuk pertanggungjawaban etik dalam kasus ”papa minta saham” PT Freeport Indonesia.

Andai sikap mundur itu diambil sesaat setelah kasus ”papa minta saham” mencuat, barangkali ceritanya akan lebih elok. Tetapi, Novanto memilih jalan beda dengan rakyat. Langkah mundur itu diambil masa injury time saat sidang diskors setelah 15 anggota Mahkamah Kehormatan Dewan—dari 17 orang—memutuskan Novanto bersalah melakukan pelanggaran etik, Rabu (16/12) malam.

Suara rakyat yang menghendaki Novanto mundur sejak awal tak digubris. Tak heran, banyak pihak memandang sikap mundur Novanto menjadi jurus terakhir setelah berbagai jurus tak mampu menghentikan suara rakyat. Jalan mundur tampaknya dilakukan setelah posisinya tersudut di jalan buntu, setelah energi bangsa terkuras luar biasa sebulan ini.

Bayangkan, kasus ”papa minta saham” telah menimbulkan kegaduhan, seperti gempa tremor yang tiada henti sepanjang hari. Urusan bangsa lainnya nyaris terbengkalai. Runyamnya lagi, sidang-sidang MKD seperti menonton sandiwara politik akhir tahun 2015. Untunglah banyak sidang terbuka sehingga rakyat bisa menyaksikan langsung bagaimana galaknya ”Yang Mulia” mencecar pengadu dan saksi. Ada juga sidang tertutup, tetapi itu menyangkut persoalan nyali saja.

Dan, pada menit-menit menjelang sidang putusan MKD, Rabu lalu, anggota MKD yang sangat kritis, yaitu Akbar Faizal, disingkirkan dari ruang sidang karena diadukan membocorkan hasil sidang MKD oleh Ridwan Bae, juga anggota MKD. Sebaliknya, tiga anggota MKD yang juga diadukan balik oleh Faizal karena hadir dalam jumpa pers Luhut Pandjaitan, yaitu Ridwan Bae, Adies Kadir, Kahar Muzakir, tetap berada di dalam ruang sidang.

Ketika rakyat menuntut Novanto mundur, Golkar justru all-out melakukan pembelaan. Sekarang malah diberi kursi Ketua Fraksi Partai Golkar. Padahal, ”Yang Mulia” dari Golkar di sidang MKD telah menghukum Novanto dengan sanksi pelanggaran berat. Melanggar, kok, dapat reward? Kita benar-benar dibuat gagal paham. Lalu, apa maksudnya slogan ”suara Golkar, suara rakyat” itu?

Beginilah apabila demokrasi lebih pada proses institusionalisasi, tetapi gagal melakukan internalisasi pemahaman mendalam mengenai nilai-nilai demokrasi, terutama pada pemain-pemain politik. Demokrasi sebatas prosedural dan partisipasi (secara kuantitas), bukan substansial. Akhirnya demokrasi pun cacat.

Maka, menemukan politisi berintegritas yang tahu diri dan punya rasa malu seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Rasa malu menjadi alat ukur antara kepatutan dan ketidakpatutan. Jika tak ada rasa malu, ibarat rem blong yang tak bisa dikendalikan. Meskipun melakukan pelanggaran, santai saja mengatasnamakan ”rakyat, bangsa, negara”. Huh!

The Washington Post, sekitar dua tahun lalu, membuat polling: apakah politisi sekarang hidup dengan integritas dan intelegensi seperti para pendiri bangsa? Sebagian besar responden (72 persen) menjawab ”tidak”, hanya 22 persen yang jawab ”iya”. Di Senayan, walau banyak politisi aneh, rasanya masih banyak yang benar-benar mewakili rakyat. Mereka punya tugas berat: bersih-bersih di Senayan, termasuk apabila hendak kocok ulang pimpinan DPR, menebarkan virus kebaikan di rumah rakyat, dan mendengarkan suara rakyat. Sebab, rakyatlah pemilik mandat sejati.

Dulu sejarah dunia digerakkan orang-orang besar, seperti tesis sejarawan Thomas Carlyle (1795-1881). Kini telah berubah. ”Orang-orang kecillah yang mengubah sejarah. Bukan politisi atau orang-orang besar. Siapa yang meruntuhkan tembok Berlin? Itu semua orang yang ada di jalanan,” kata Luc Besson, sutradara film The Lady (film tentang Aung San Suu Kyi).

Reformasi 1998 yang menumbangkan Presiden Soeharto juga gerakan rakyat dan mahasiswa. Revolusi di Arab dan Afrika Utara yang menumbangkan penguasa-penguasa kuat sekelas Presiden Hosni Mubarak juga gerakan rakyat. Jadi, para politisi jangan berpaling dari rakyat jika tak ingin mereka bergerak kembali menduduki Senayan seperti tahun 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar