Tari Bali, Bukan Akhir Perjuangan
Ayu Bulantrisna Djelantik ; Penata Tari
|
KOMPAS,
27 Desember 2015
Masyarakat
Indonesia, khususnya Bali, terharu dan bangga ketika mendapat kabar melalui
media bahwa sembilan tari Bali telah ditetapkan masuk Daftar Pusaka Dunia
oleh UNESCO, 5 Desember 2015, di Namibia, Afrika. Kegembiraan terlihat,
terutama pada insan yang telah bekerja keras mengajukannya melalui proposal
yang cukup berbelit sejak tahun 2011, yang difasilitasi oleh pemerintah,
khususnya di bawah bimbingan langsung Direktur Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kacung Marijan.
UNESCO
menyusun Daftar Pusaka Dunia budaya maupun situs, baik yang tak benda (intangible) maupun benda (tangible), yang oleh Komite UNESCO
dianggap mempunyai nilai universal sangat tinggi. Situs di Indonesia yang
telah diakui dan masuk daftar tersebut adalah Borobudur, Prambanan, Taman
Nasional Komodo, Taman Nasional Ujung Kulon, Situs Sangiran, Taman Nasional
Lorentz, dan hutan (Rainforest)
Sumatera. Sedangkan pusaka tak benda antara lain adalah batik, angklung, tari
saman, keris, wayang, dan sistem irigasi subak (Bali).
Jadi, bagi
Indonesia, ini adalah kedua kalinya sebuah tarian masuk ke dalam Daftar
Pusaka Dunia sesudah tari saman dari Aceh. Keuntungan masuk ke dalam Daftar
Pusaka Dunia adalah kerja sama internasional dan mobilisasi mereka yang
berkepentingan (para stakeholders)
untuk ikut memangku keberlanjutan dan pemeliharaannya. Tari Bali yang diakui
adalah tiga tarian dari masing-masing tiga genre tarian Bali, yaitu tari
"Wali" atau sakral yang hanya dpertunjukkan dalam ritual di bagian
dalam rumah ibadah pura; tari "Bebali" adalah jenis tarian
semi-sakral yang dipentaskan bersamaan dengan upacara keagamaan di panggung
luar pura; dan tari "Balih-balihan" adalah tarian yang dipentaskan
tanpa hubungan langsung dengan upacara atau ritual keagamaan.
Dalam
pengajuan dan kemudian ditetapkan oleh UNESCO, yang termasuk dalam tari Wali
adalah rejang dewa, sanghyang dedari, dan baris upacara. Lalu tarian Bebali
adalah topeng sidhakarya, drama tari gambuh, dan dramatari wayang wong.
Sedangkan tarian Balih-balihan adalah legong kraton, joged bumbung, dan
barong. Setiap tarian ini dianggap mewakili satu di antara delapan kabupaten
dan satu kota di Provinsi Bali. Dalam proposal juga dicantumkan rencana ke
depan disertai anggarannya secara rinci, yang kini harus diwujudkan, baik
melalui mobilisasi dana dari pemerintah maupun swasta.
Tarian klasik
Sebetulnya
sembilan tarian ini dapat dianggap mewakili semua tarian Bali klasik, karena
sebetulnya tak bisa dipilah secara sederhana. Tari baris upacara seperti
baris tumbak, baris cina, dan baris poleng yang dipentaskan secara ritual,
jarang bisa dinikmati publik. Publik lebih mengenal tari baris tontonan
klasik untuk pertunjukan murni sebagai simbolisasi kesatria yang gagah
perkasa.
Tari legong
yang populer sebagai tarian kebanggaan suatu daerah juga ada yang berfungsi
sakral-ritual, misalnya di Desa Ketewel dan Desa Tista. Tari gambuh juga
sudah dibuat sebagai seni pentas murni, bahkan dengan adaptasi masa kini,
misalnya gambuh Macbeth arahan Kadek Suardana almarhum. Tari barong bisa
sakral, bisa turistik, dan bahkan bisa menjadi dolanan anak-anak. Tari legong
menjadi akar kebanyakan tarian lepas klasik Bali yang muncul belakangan
seperti tari jenis kebyar, tari penyambutan pendet, panyembrama, tenun, dan
sejenisnya.
Tari joged
bumbung adalah tarian rakyat untuk merayakan kesuburan dan kesejahteraan yang
digambarkan melalui kegembiraan mengibing. Sayang tarian ini kini telah
melenceng ke arah yang kurang terpuji dan membuat kita bergidik ketika
melihat rekamannya di situs seperti Youtube.
Tari kecak
yang sangat populer, tidak tercantum dalam daftar ini, tetapi bisa dianggap
turunan dari tari baris disertai olah vokalnya yang khas. Juga penentuan
tarian menurut kabupaten atau daerah tertentu sangatlah bias, misalnya legong
kraton bukan milik Kabupaten Gianyar saja, karena kita kenal legong bergaya
khas dari Kabupaten Badung.
Tarian rejang
bukanlah milik Kabupaten Klungkung semata dan tarian sanghyang dedari tidak
bisa dibilang milik Kabupaten Karangasem, karena tarian ini hidup di hampir
semua kabupaten dengan kekhasan gaya tari dan kostum masing-masing. Perlu
ditekankan bahwa kita tak boleh melupakan tabuh, karena tari dan tabuh adalah
satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Di antara semuanya, wayang wong
adalah yang paling terpuruk dan hampir punah karena pelakunya sudah tinggal
sedikit dan lanjut usia. Wayang wong yang menggunakan topeng membawakan kisah
Ramayana perlu segera direvitalisasi agar hidup berkembang kembali di
masyarakatnya.
Apresiasi
Selanjutnya,
dalam hal apresiasi masyarakat umum di Indonesia terhadap seni tari Bali
sebenarnya tak ada masalah karena telah populer sejak lama. Di setiap kota
besar di Indonesia ada kursus tari Bali yang selalu banyak peminat. Bahkan,
di setiap kota besar di mancanegara juga demikian, seperti Amerika Serikat,
Jepang, Belgia, dan Belanda. Kini, perlu kejelian para pembuat keputusan
untuk memilih satu tarian yang akan disosialisasikan lebih intensif di
seluruh negeri, dari Aceh di bagian barat sampai Papua di timur, dari
Minahasa di utara sampai Sumba di selatan.
Salah satu
program yang ideal adalah membuatnya sebagai bagian dari kurikulum atau
ekstrakurikuler pendidikan SD sampai SMA. Apakah akan dipilih salah satu dari
tarian Balih-balihan seperti legong, joged bumbung, atau barong dengan
mengadakan adaptasi bagi kelompok usia pelajar? Mana yang bisa diterima
berbagai etnik, ras, dan agama? Apakah salah satu atau ketiganya? Tak boleh
dilupakan adalah tabuh pengiringnya, yang perlu disebarluaskan dengan
penyederhanaan tanpa kehilangan spiritnya. Ini memerlukan kerja keras dengan
dukungan penelitian, inventarisasi, kreativitas, penyediaan materi, buku
pegangan praktis, pelatihan guru-guru seni, penyediaan kostum dan instrumen
tabuh, serta festival dan workshop
terkait.
Kini tari
tradisi Bali menjadi milik dan jati diri orang Indonesia. Agar semua dapat
merasakannya, perlu pemikiran kreatif dan kerja keras untuk tahun-tahun
mendatang, baik oleh pemerintah, akademisi, maupun komunitas seni. Tari saman
dari Aceh, yang setelah terdaftar di UNESCO menurut saya telah sangat sukses
memunculkan identitas Indonesia di mata dunia, bisa dijadikan contoh dan
perlu dipelajari kiatnya selama ini.. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar