Kamis, 24 Desember 2015

Kocok Ulang Pimpinan DPR, Mungkinkah?

Kocok Ulang Pimpinan DPR, Mungkinkah?

Rico Marbun  ;  Staf Pengajar Universitas Paramadina
                                                  DETIKNEWS, 21 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam bahasa Mandarin, kata 'krisis' tidak sepenuhnya bermakna negatif. Kata wei-ji atau krisis, terdiri atas dua bagian yang bertolak belakang. Wei bermakna bahaya. Ji bermakna peluang. Jadi, selain mendatangkan bahaya, secara filosofis, krisis juga membuka peluang.

Menurut saya, gaya pemaknaan ini menemukan relevansi-nya dalam tragedi yang menimpa Setya Novanto. Di satu sisi, sejarah DPR tercoreng karena semenjak republik ini berdiri, baru Novanto-lah, ketua DPR pertama yang terpaksa lengser sebelum waktunya. Namun, pada saat yang bersamaan, lembar kisah kelam itu juga mendatangkan peluang.

Peluang yang saya maksud, dan saya yakin pasti berkembang di dalam benak sebagian politisi Senayan, ialah peluang untuk mengganti seluruh pimpinan atau kocok ulang pimpinan DPR berbarengan dengan mundurnya Novanto. Bagaimana bisa? Bukankah Golkar sudah santer menggadang-gadang calon pengganti? Bahkan kabarnya pelantikan akan dilakukan 11 Januari tahun depan, saat masa reses usai.

Kalkulus Politik
   
Langkah politik sebesar kocok ulang hanya mungkin berhasil bila tiga elemen bertemu secara sempurna. Ruang Legal, Aktor dan Probabilitas Sukses. Tata Tertib DPR memang tidak menyediakan penjelasan atau mekanisme detil pergantian seluruh pimpinan DPR di pertengahan jalan, namun Peraturan DPR no 1 tahun 2014 juga tidak pernah melarang ada pergantian paket kepemimpinan secara total di pertengahan jalan.

Langkah Novanto mengajukan pengunduran diri tertulis dan disampaikan secara terbuka untuk kemudian partai politik yang bersangkutan diberi waktu mencari nama pengganti memang sudah sesuai dengan pasal 39 Tatib DPR. Namun pasal 37 b juga membuka peluang, bila kemudian –satu dan lain hal- Majelis Kehormatan Dewan melanjutkan kembali proses dan memutuskan bahwa politisi golkar itu terbukti melanggar kode etik dan disetujui oleh paripurna DPR, maka manuver Novanto akan runtuh dengan sendirinya.

Sebab pengganti dari partai politik yang sama secara otomatis, hanya berlaku bila yang bersangkutan mengundurkan diri tanpa ada embel-embel yang lain. Bila anggota DPR yang bersangkutan diputus bersalah oleh MKD, lalu dia diberhentikan jabatannya sebagai ketua DPR dan harus dibawa ke paripurna untuk dimintai persetujuannya, penggantian secara otomatis dari partai yang sama bisa tidak berlaku.
   
Selanjutnya, meski Pasal 46 ayat 2 Tatib menyebutkan "Dalam hal pergantian pimpinan DPR tidak dilakukan secara keseluruhan, salah seorang pimpinan DPR akan meminta nama pengganti kepada partai politik melalui fraksi". Garis bawahi kata-kata "tidak dilakukan secara keseluruhan". Artinya, bila paripurna yang merupakan forum tertinggi DPR memutuskan untuk melakukan pergantian secara keseluruhan maka pemilihan ulang pimpinan wajib dilakukan Apalagi mereka yang mendorong kocok ulang juga menemukan justifikasi legalnya pada pasal 84 ayat 2 UU MD3 yang menyatakan bahwa pimpinan DPR merupakan 1 paket yang bersifat tetap.

Kedua, tanpa memaksa untuk merombak UU MD3 tahun 2014 kembali ke UU MD3 tahun 2009, sebenarnya tokoh kuat pengganti ketua DPR masih bisa diisi oleh figur yang berasal dari partai politik pemenang pemilu 2014. Secara de jure sampai saat ini Puan Maharani masih memiliki status sebagai anggota DPR. Pewaris tahta Megawati dan penerus trah Soekarno itu jelas memiliki kompetensi dan legitimasi untuk menggantikan Novanto.

Lalu bagaimana dengan peluang sukses? Konfigurasi DPR saat ini sudah berubah jauh semenjak setahun yang lalu. Bila setahun lalu, minus partai Demokrat, KIH versus KMP keok dengan jumlah 208 kursi lawan 291 kursi. Saat ini, dengan PAN telah memutuskan mendukung pemerintah, dan konfigurasi putusan MKD yang memasukkan PAN dan Demokrat dalam irama KIH, jelas kalkulus politik KIH vs KMP berubah total.

Saat ini tanpa Demokrat saja, 256 kursi Koalisi partai pendukung pemerintah (Nasdem, PKB, PDIP, Hanura, PAN) akan unggul versus 243 kursi KMP (Golkar, Gerindra, PKS, PPP). Kemenangan Koalisi pendukung pemerintah (KIH baru) menjadi jelas dalam voting, sebab walaupun Demokrat memutuskan tetap di KMP, suara Golkar dan PPP yang terbelah akan lebih dari cukup bagi KIH baru untuk memenangkan setiap voting.

Dan meski akhirnya Demokrat memutuskan untuk bergabung dalam KIH, ada 5 posisi pimpinan dan 16 posisi pimpinan alat kelengkapan DPR yang bisa didistribusikan kepada 6 partai KIH baru. Jumlah posisi yang lebih dari cukup untuk semua.

Kegaduhan yang Perlu?
   
Aturan legal tersedia. Tokoh politik ada. Peluang sukses terbuka lebar. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kocok ulang pimpinan DPR pasca mundurnya Setya Novanto mendatangkan kebaikan?

Kegaduhan jelas akan terjadi. Namun bagi yang mendukung ide kocok ulang, setahun terakhir saat oposisi memegang seluruh posisi penting parlemen jelas tidak kurang gaduh. Bila pimpinan DPR berganti konfigurasi dengan tokoh dan partai yang sejalan dengan pemerintah, kepastian dan jaminan ketenangan selama empat tahun ke depan bukan mustahil.

Bisa jadi kegaduhan kocok ulang pimpinan DPR adalah kegaduhan yang perlu. Dan bukan mustahil ini bisa juga berlaku untuk pimpinan MPR suatu saat kelak. Siapa yang tahu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar