Kembali ke Khitah
Sulastomo
; Ketua Umum PB HMI 1963-1966
|
KOMPAS,
29 Desember 2015
Mungkin karena zaman telah berubah, organisasi kemasyarakatan
kita dilanda ribut ketika menyelenggarakan kongres. Namun, kalau keributan
itu terjadi di Kongres Ke-29 Himpunan Mahasiswa Islam di Pekanbaru—sebagai
wadah intelektual muda—tentu banyak kalangan di luar HMI prihatin.
Setidaknya hal itu ditengarai sebagai bukan karakter HMI.
Keprihatinan itu antara lain disampaikan Harry Tjan Silalahi, tokoh Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) yang sangat mengenal HMI sejak
1950-an. Ia menilai HMI sebagai wadah kaum intelektual muda Islam yang
berdiri di tengah, yang tidak mudah ditarik ke kanan atau ke kiri. Dengan
alasan itulah ia membela HMI ketika HMI terancam tuntutan pembubaran
menjelang kudeta G30S.
Namun, HMI memang tidak mungkin terpisah dari perjalanan
bangsanya. Ketika kita merasakan meredupnya jati diri bangsa, mampukah HMI
melepaskan diri dari kenyataan itu? Bahwa kegaduhan, bahkan gonjang-ganjing,
kehidupan kemasyarakatan kita nyaris tiada berhenti. Perpolitikan kita
terbelah. Konflik antarkelompok masyarakat; kekerasan antarwarga bangsa,
antarkampung; dan juga di kalangan pelajar/mahasiswa telah menjadi berita
sehari-hari di media cetak, media elektronik, dan media sosial.
Demikian juga pelecehan seksual, termasuk pada anak-anak, yang
semua itu menandai krisis moral. Selanjutnya rasa kebersamaan kita,
kegotongroyongan kita, nyaris hilang dari keseharian kita. Kehidupan kita yang
diwarnai saling peduli sosial, toleran, dan bineka nyaris hanya jadi impian.
Terlepas dari semua itu, kalau dunia intelektual kita, antara
lain HMI, terimbas semua itu, seperti ditemukannya senjata tajam di arena
penginapan peserta kongres—meskipun belum digunakan—menjadi wajar kalau kita
semua harus prihatin. Sedikitnya timbul pertanyaan: untuk apa senjata tajam
itu kalau tidak untuk tindak kekerasan?
Untunglah masih ada sebagian masyarakat kita yang prihatin
dengan kondisi seperti itu. Kalau kelompok intelektual kita—termasuk HMI—yang
dikaruniai berpikir kritis sudah ikut hanyut dengan kondisi sekarang, kepada
siapa kita berharap? Masa depan bangsa ini bisa kelabu, bahkan gelap.
Kekerasan, radikalisme, intoleransi, bahkan aksi terorisme akan semakin marak
sebab tujuan akan menghalalkan cara.
Kehilangan
momentum
Etika, bahkan ajaran agama, hanya menjadi buah bibir, tidak
diamalkan. Di sinilah relevansi gagasan revolusi mental bahwa kita—bangsa
ini—harus segera mengubah kondisi mentalnya dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya, secara revolusioner, bukan evolusioner. Kalau tidak,
kita akan kehilangan momentum untuk memperbaiki diri.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita telah mencanangkan
untuk kembali ke semangat Trisakti: mandiri dalam politik, ekonomi, dan
berkepribadian nasional. Dalam sistem ketatanegaraan, MPR telah mempersiapkan
diri dengan membentuk Lembaga Pengkajian MPR, yang (antara lain) akan
mengkaji sistem ketatanegaraan kita. Bahwa sistem ketatanegaraan kita itu
selayaknya sesuai dengan cita-cita buat apa negara ini didirikan, tanpa
mengurangi realitas perkembangan zaman. Singkatnya, harus kembali ke khitah.
Demikian juga HMI!
Sejak HMI berdiri pada 1947, para pendiri HMI, Lafran Pane dan
kawan-kawan, telah mencanangkan bahwa HMI adalah kader umat dan bangsa,
independen, nonpolitik praktis, dan berkehidupan yang seimbang antara jasmani
dan rohani. Atas dasar itu, Jenderal Besar Soedirman memperkenalkan singkatan
HMI sebagai Harapan Masyarakat Indonesia.
Dengan prinsip independen, HMI tidak boleh terombang-ambing
dalam menyikapi perbedaan di kalangan umat Islam, termasuk dari kalangan
alumninya yang telah memiliki kepentingan masing-masing. Ketika kita mengenal
empat partai politik Islam (Masyumi, NU, PSII, dan Perti) di era 1950-1960-an,
HMI berdiri tegak mengatakan bukan sebagai onderbouw salah satu partai Islam. HMI justru mencanangkan slogan
”persatuan umat”.
Ketika bangsa ini dilanda pergolakan politik yang hebat, yang
ditandai dengan persaingan antarkekuatan politik yang ada di era 1960-1965, HMI
tegak sebagai kader umat dan bangsa yang mendahulukan kepentingan nasional.
Karena itu, HMI dapat lolos dari ancaman pembubaran oleh CGMI/PKI.
Demikian juga di awal kemerdekaan. HMI membentuk Korps Mahasiswa
yang berjuang mempertahankan kemerdekaan RI, bergerilya di sekitar
Yogyakarta.
Mari membandingkan kongres HMI di Pekanbaru dengan kongres HMI
pada 1963. Yang disebut terakhir diselenggarakan di Masjid Agung Al-Azhar,
Jakarta, dengan peserta kongres tidur di kemah-kemah di sekitar masjid,
bantuan Kodam V Jaya. Pada saat itu beberapa menteri dan Bung Karno sebagai
Presiden Republik Indonesia ikut memberikan sambutan pembukaan yang dibacakan
oleh Roeslan Abdulgani, bertempat di Aula UI Salemba 4.
Kongres HMI pada 1966 diselengarakan di Solo, dibuka di Balai
Kota Solo dengan sambutan Soeharto sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera
yang dibacakan oleh Soerono, Pangdam IV Diponegoro. Peserta kongres bermalam
di rumah-rumah penduduk yang secara sukarela membantu kongres.
Di kedua kongres itu segalanya diselenggarakan secara mandiri.
Tidak ada APBD yang dikucurkan, selain bantuan masyarakat, alumni, dan
kemampuan organisasi.
Dengan gambaran sebagaimana dikemukakan di atas, apa yang
terjadi di Kongres Ke-29 HMI di Pekanbaru sekadar merupakan refleksi kondisi
bangsa dan negara dewasa ini. Kalau bangsa ini memerlukan revolusi mental,
tidak terkecuali semua organisasi kemasyarakatan dan warga bangsa pada
umumnya, termasuk HMI. Temanya: kembali ke khitah, buat apa negara ini
didirikan, buat apa kita berorganisasi.
Semoga catatan ini dapat menjadi bahan perenungan kembali bagi
para peserta kongres HMI yang tentu saat ini sudah pulang kembali ke tempat
masing-masing agar kita tidak kehilangan momentum untuk memperbaiki diri demi
masa depan yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar