Atribut
Putu Setia
; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
KORAN
TEMPO, 25 Desember 2015
Agaknya ini pertemuan terakhir
saya dengan Romo Imam di tahun 2015. Saya ingin komentar Romo tentang aksi
sebuah ormas di Surabaya yang mendatangi pusat perbelanjaan untuk melarang
karyawan muslim mengenakan busana Santa Klaus. "Ah, bosan. Itu setiap tahun berulang," kata Romo
dengan datar.
Saya pikir Romo tak tertarik. Tapi
Romo melanjutkan: "Kalau karyawan
itu dipaksa mengenakan atribut Santa Klaus, itu melanggar. Tapi karyawan suka
rela, ini perayaan untuk menarik orang berbelanja, yang untung kan juga karyawannya.
Pas Lebaran, karyawan yang Kristen pun mengenakan kerudung. Ini masalah
bisnis, pasar dihias aksesori bernuansa agama, lalu ada diskon besar-besaran.
Apa ormas itu juga melarang umat Islam menikmati diskon Natal? Kan
tidak."
"Bukankah
Santa Klaus itu berkaitan dengan agama, Romo? Jadi, rasanya...." Pertanyaan saya langsung dipotong
Romo: "Santa Klaus bukan ajaran
agama, tak ada dalam kitab suci. Itu hanya atribut, ya, sebut saja budaya.
Ini produk Eropa yang dirakit di Amerika pada abad ke-19. Hanya imajinasi
kegembiraan, berawal dari Santo Nikolas lalu menjadi Sinterklas dan akhirnya
jadi Santa Klaus. Awalnya pun hanya sebuah puisi yang ditulis Clement Moore
menjelang Natal 1822. Puisi tentang seseorang yang pipinya merona seperti
mawar, hidungnya seperti buah ceri, mulut kecilnya yang lucu melengkung
seperti busur, dan perutnya kecil bulat, ia terguncang-guncang bila tertawa.
Puisi itu divisualkan, jadilah Santa Klaus yang kita kenal sekarang."
Saya menyela: "Jadi, semua itu hanyalah atribut yang berasal dari tradisi yang
sudah mulai kabur asal-usulnya tetapi diadopsi untuk perayaan agama."
Romo memotong ucapan saya: "Persis
begitu. Seperti juga karyawan berkerudung saat Lebaran dan pasar swalayan
dipenuhi hiasan ketupat. Kerudung dan ketupat itu bukan ajaran Islam, orang
Bali di pedesaan juga berkerudung. Ketupat Lebaran dan ketupat yang dipakai
umat Hindu di Bali saat ritual kan sama saja. Ketupat tidak beragama, yang
memanfaatkan dan menikmati ketupat itu yang beragama.
Sudahlah, akhiri polemik
soal atribut-atribut budaya dalam perayaan agama."
Saya ingin memancing Romo lagi. "Romo, kemarin saat Natal, warga Desa
Pulasari di Bali Barat merayakannya dengan berpakaian adat Bali, pergelaran
tari tradisi lengkap dengan membunyikan gong kebyar. Ada tokoh yang
menyebutkan itu melecehkan agama Hindu." Romo tertawa: "Tokoh itu ngawur. Memakai busana
adat Bali bukan berarti beragama Hindu. Semua pejabat tinggi negara pernah
memakai pakaian adat Bali jika ada acara budaya di Bali. Gamelan gong kebyar
dan tari legong itu semuanya budaya orang Bali yang bisa dipakai oleh siapa
pun, apalagi jika mereka memang orang Bali. Itu atribut budaya yang justru
bagus dilestarikan, soal keyakinan dalam beragama itu urusan yang beda."
Saya mengagumi Romo dan ingin
memuji. "Romo sangat
toleran," kata saya. Kali ini Romo serius: "Ini bukan soal toleran atau tidak. Ini sesuatu yang sudah
semestinya. Semakin maju dunia ini, kok sepertinya peradaban kita semakin
mundur, kita kembali mempermasalahkan atribut budaya yang dipertentangkan
dengan ajaran agama. Sejak dulu penyebaran agama itu dilakukan dengan
menyerap budaya lokal dan kemudian berkembang tanpa ada masalah. Kini malah
digugat."
Saya diam terpaku. Romo mengambil
minuman dan berkata: "Apa semudah
itu orang pindah agama, hanya karena memakai atribut Santa Klaus dan menabuh
gong kebyar di hari Natal? Ini era Twitter, bukan lagi era menulis di daun
lontar." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar