Selasa, 29 Desember 2015

Melawan Kelesuan Global

Melawan Kelesuan Global

  A Prasetyantoko  ;  Pengajar di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta
                                                      KOMPAS, 29 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sewaktu Presiden Joko Widodo naik ke panggung pemerintahan, optimisme berembus begitu kencang meski sebenarnya pada akhir 2014 itu berbagai indikator dini sudah menunjukkan terjadi pelambatan ekonomi. Ini bisa dimaklumi. Banyak pihak belum rela membuka mata pada realitas karena masih terbawa suasana optimisme yang begitu besar.

Sepanjang 2015, fakta demi fakta membuat semua pihak kian realistis. Pelambatan pertumbuhan mulai dirasakan, bukan saja pada sektor berbasis komoditas, melainkan di hampir semua sektor ekonomi. Bahkan, pelambatan itu mulai menerpa sektor konsumsi yang selama ini menjadi katup pengaman dan tumpuan harapan. Pelambatan juga tidak hanya melanda kawasan luar Jawa penghasil komoditas, tetapi juga sektor manufaktur di Pulau Jawa. Pelambatan telah menyerang jantung perekonomian kita.

Pertumbuhan kuartal III-2015 sebesar 4,67 persen masih lebih rendah daripada kuartal sebelumnya. Perekonomian masih meluncur ke bawah dan belum mencapai batas bawahnya. Sangat mungkin pada kuartal IV sudah terjadi perbaikan sehingga perekonomian sudah dianggap mencapai titik balik. Namun, seberapa baik prospek ekonomi 2016?

Pemerintah tampak serius mengembalikan siklus ekonomi melalui paket kebijakan hingga jilid VIII. Ruang lingkup kebijakan mulai dari investasi, konsumsi, perpajakan, hingga ketenagakerjaan dan bertujuan melonggarkan perekonomian agar lebih kencang berlari.

Situasi global

Di samping persoalan domestik, gejolak juga dipicu oleh dinamika global. Goldman Sachs menyebut gelombang krisis global telah memasuki babak ketiga, ditandai krisis di negara berkembang. Perekonomian Tiongkok yang selama ini menjadi jangkar pertumbuhan global serta menarik dinamika perekonomian negara berkembang, lagi tertatih-tatih. Jika perekonomian Tiongkok melambat, kita juga terkena dampak negatifnya.

Secara umum, tantangan perekonomian domestik dan global 2016 masih relatif sama. Ada perbaikan, tetapi tantangan fundamental belum sirna. Akibatnya, meski tidak lagi mengalami turbulensi, mendung belum sepenuhnya hilang.

Jatuhnya harga komoditas membuat negara pengekspor komoditas mengalami pelambatan. Membaiknya perekonomian AS membuat pasokan likuiditas tak sebanyak sebelumnya. Sebagai negara pengimpor minyak, perekonomian kita sangat terbantu dengan anjloknya harga minyak menjadi 45-47 dollar AS per barrel.

Secara global, perekonomian menghadapi dua anomali besar. Pertama, meski harga minyak turun drastis, hal itu tak mendorong pergerakan sektor industri. Permintaan justru terus menurun, menandakan kelesuan masih terjadi. Kedua, meski likuiditas mengalir deras, perbaikan ekonomi tidak seperti diharapkan. Sejak beberapa bulan lalu rapat dewan gubernur The Fed diwarnai polemik kenaikan suku bunga, baru di Desember kenaikan dilakukan.

Namun, tak ada jaminan perekonomian AS terus melaju sehingga target kenaikan empat kali masing-masing 0,25 persen, pada tahun depan belum tentu terealisasi. Bisa jadi, kenaikan suku bunga akan meletupkan persoalan di neraca korporasi karena gelembung utang swasta sudah terlewat besar sehingga sektor riil terus mengalami kemacetan panjang.

Secara global, meski AS sudah mulai menormalisasi perekonomian dengan menaikkan suku bunga, belahan dunia lain masih terus memompa likuiditas, indikasi perekonomian global belum pulih. Jika perekonomian AS mulai menggeliat, tak begitu dengan Eropa dan Jepang.

Bank Sentral Eropa (ECB) menyiapkan langkah menambah likuiditas. Selain dihantui pelambatan perekonomian, deflasi yang berkepanjangan, dampak serangan teroris di Paris, semakin menekan keyakinan bisnis dan konsumen. Karena itu, ECB akan terus menambah stimulus sektor keuangan. Begitu pula perekonomian Jepang yang masih dibayangi penyakit lama: deflasi berkepanjangan sehingga program pembelian aset melalui penerbitan uang baru masih akan dilakukan.

Meski AS mulai menormalisasi kebijakan moneternya, secara global pasokan likuiditas masih terus bertambah. Berita baiknya bagi kita, risiko kekeringan likuiditas belum jadi ancaman nyata pada tahun depan. Perekonomian global masih ditandai oleh divergensi kebijakan moneter, menandai belum pulihnya pola pertumbuhan. Berita buruknya, ekspor belum bisa menjadi tumpuan di tahun depan.

Masalah domestik

Dinamika global berinteraksi dengan kerentanan domestik. Pertama, posisi investasi internasional kita terus mengalami akselerasi defisit. Pada kuartal II-2015, defisit bersih posisi investasi internasional mencapai 419 miliar dollar AS atau setara 47,4 persen dari perekonomian kita. Artinya, menurut data Bank Indonesia, kita begitu bergantung pada eksternal dalam menyokong perekonomian domestik.

Memang posisi ini sudah lebih baik ketimbang kuartal sebelumnya sebesar 429 miliar dollar AS atau 48,2 persen dari produk domestik bruto (PDB). Meski begitu, dibandingkan posisi lima tahun lalu, defisit mengalami lonjakan signifikan. Pada 2010, defisit baru mencapai sekitar 290 miliar. Defisit terus naik dan puncaknya terjadi pada kuartal I-2015.

Kedua, utang luar negeri sektor swasta yang terus meningkat. Pada Oktober 2015, total utang luar negeri Indonesia mencapai 304 miliar dollar AS, dengan komposisi 44 persen utang pemerintah dan 55 persen swasta. Besarnya utang luar negeri di tengah pelambatan ekspor menjadi catatan penting bagi profil risiko kita.

Ketiga, kemampuan membayar utang dari penerimaan ekspor atau debt service ratio juga meningkat. Pada kuartal III tahun ini mencapai 57 persen, padahal pada 2010 baru mencapai 20 persen. Ini merupakan indikasi melemahnya daya saing produk ekspor kita.

Fakta ini meyakinkan, perekonomian kita begitu bergantung pada dinamika eksternal dan tak mampu melakukan banyak perubahan dari sisi domestik. Inilah salah satu pekerjaan rumah paling penting yang harus dikerjakan secara saksama pada 2016. Tanpa upaya mengurangi kebergantungan eksternal, kebijakan ekonomi hanya akan terfokus pada masalah jangka pendek, seperti mitigasi depresiasi nilai tukar dan gejolak pasar.

Padahal, masalah fundamental perekonomian kita sifatnya struktural sehingga perlu perbaikan jangka panjang. Kemampuan pemerintah memitigasi persoalan jangka pendek dan tetap fokus menyelesaikan soal struktural jangka panjang menjadi kunci sukses di masa depan.

Meski mendung masih bergelayut sepanjang 2016, situasi akan lebih baik daripada tahun ini. Dan, karena itu, harapan juga lebih besar untuk mengerjakan pekerjaan rumah jangka panjang yang sudah begitu lama ditinggalkan. Jangan sampai tahun depan justru kegaduhan politik lebih banyak. Sebab, jika itu terjadi, kesempatan fokus pada masalah jangka panjang bangsa kembali hilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar