Pansus dengan Misi Khusus
Refly Harun ; Praktisi Hukum Tata Negara;
Mengajar di Program Pascasarjana
UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 28 Desember 2015
PANITIA Angket
Pelindo II yang menyelidiki dugaan penyimpangan di BUMN pelabuhan tersebut
ibarat mahasiswa yang membuat skripsi atau tesis. Baru selesai bab tiga dari
keseluruhan lima bab yang harus diselesaikan, sudah sampai pada kesimpulan.
Bahkan, langsung minta diuji. Padahal, jelas-jelas sang mahasiswa seharusnya
menyelesaikan terlebih dulu semua bab untuk sampai pada tahapan dimaksud.
Fenomena ini
terjadi ketika Pansus Pelindo II yang diketuai politikus PDIP Rieke Dyah
Pitaloka menyampaikan laporan (sementara) pada Rapat Paripurna DPR, 18
Desember lalu. Pimpinan DPR memberikan kesempatan untuk menyampaikan laporan
sementara (progress report), tetapi
Pansus Pelindo II memanfaatkannya untuk mengeluarkan tembakan-tembakan
melalui kesimpulan-kesimpulan yang dipaksakan untuk disetujui rapat
paripurna.
Anehnya, seluruh peserta Rapat Paripurna DPR seperti sekumpulan
kerbau yang dicocok hidungnya, mengikuti saja kemauan Pansus Pelindo II akan
kesimpulan-kesimpulan berikut rekomendasi-rekomendasi tersebut.
Agak sulit
menepis kesan negatif publik bahwa Pansus Pelindo II merupakan instrumen
kenegaraan (DPR) yang digunakan secara subjektif untuk menyasar dan
menghantam pribadi tertentu yang sedang tidak begitu disukai oleh elite
politik partai. Sulit pula menampik kecurigaan publik perihal adanya desain,
skenario, dan tujuan politik tertentu di balik pembentukan pansus tersebut.
Salah satu
rekomendasi yang menohok ialah pemecatan RJ Lino sebagai Direktur Utama
Pelindo II dan pencopotan Rini Soemarno sebagai menteri badan usaha milik
negara (menteri BUMN). Tidak ada yang surprise sesungguhnya karena dari awal
publik juga bercuriga bahwa kehadiran pansus sesungguhnya memang untuk
`menembak' Menteri BUMN. Lino hanyalah jembatan kepada Rini Soemarno. Rini
Soemarno bisa jadi juga sekadar jembatan ke Wakil Presiden M Jusuf Kalla.
Tiga serangkai Kalla-Rini-Lino kerap-kerap dikait-kaitkan dalam proses bisnis
di Pelindo II.
Khusus Rini
Soemarno, sepertinya ia terus menjadi incaran yang tak berkesudahan bagi
PDIP. Cerita singkat tentang `trio macan' menjelang reshuffle jilid I
ternyata belum usai. Dari tiga nama yang dijuluki `trio macan', yakni Luhut
Pandjaitan, Andi Widjajanto, dan Rini Soemarno, nama yang terakhir belum
tersentuh.
Luhut telah
digeser dari orang lingkar terdekat Jokowi sebagai kepala staf kepresidenan
menjadi menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan. Andi, yang
sebelumnya menjadi sekretaris kabinet, malah diberhentikan sama sekali, tidak
hanya hilang dari lingkar istana. Tinggal Rini yang masih bertakhta di
singgasana sebagai menteri BUMN.
Dari sisi
teritori, Menteri BUMN tentu tidak berada di lingkar istana, tetapi siapa pun
tahu hubungan Jokowi dan Rini sangat dekat karena Rini mantan ketua tim
transisi, tim yang menyiapkan transisi pemerintahan dari Susilo Bambang
Yudhoyono kepada Jokowi.
Pembentukan
Pansus Pelindo II, bisa jadi, sekadar sarana untuk menembak Rini. Bukan soal
tata kelola BUMN yang sering digembar-gemborkan, termasuk perpanjangan
kontrak dengan luar negeri.
Hal lain yang
diincar, soal hikayat Pelindo II yang memiliki dana segar hingga Rp18 triliun
di perbankan, yang pastinya akan membuat `ngiler' semua parpol. Terlebih
gonjang-ganjing kontrak itu sesungguhnya baru akan berakhir pada 2019-tepat
pada tahun pemilu--yang oleh Lino sudah diperpanjang lima tahun lebih awal.
Melanggar UU MD3
Politik adalah
politik. Soalnya ialah, meski politik bisa menggu nakan segala cara dan motif
untuk meraih kemenangan¬-karena politik adalah soal kalah dan menang bukan
salah dan benar, Pansus Pelindo II harus taat pada aturan main dan sistem
pemerintahan yang kita anut, yaitu sistem pemerintahan presidensial.
Soal aturan,
sudah sangat jelas Pansus Pelindo II melanggar UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang
MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3). Pasal 206 UU MD3 menyatakan panitia angket
melaporkan tugasnya kepada rapat paripurna paling lama 60 hari (kerja) sejak
dibentuk. Lalu rapat paripurna akan mengambil keputusan terhadap laporan
panitia angket tersebut.
Lalu, pasal
207 kurang lebih menyatakan, setelah menyelesaikan tugasnya, panitia angket
menyampaikan laporan dalam Rapat Paripurna DPR dan selanjutnya laporan tersebut
dibagikan kepada semua anggota. Lalu, pengambilan keputusan tentang laporan
panitia angket didahului dengan laporan hasil panitia angket dan pendapat
akhir fraksi.
Panitia Angket
Pelindo II terbentuk pada 13 Oktober lalu. Tenggang waktu menyelesaikan pekerjaannya
jatuh pada 5 Februari 2015. Apabila pekerjaan sudah selesai, tidak jadi soal
jika pansus melaporkan lebih awal pekerjaannya kepada rapat paripurna karena
kata-kata dalam undang-undang menyatakan `paling lama'. Soalnya ialah,
pekerjaan mereka memang belum selesai.
Tidak ada
pernyataan dari pansus bahwa mereka telah menyelesaikan tugasnya. Laporan
kepada rapat paripurna 18 Desember lalu tersebut bukanlah laporan akhir,
melainkan laporan sementara. Padahal UU MD3 jelas tidak mengenal laporan
sementara. Kalaupun progress report mau disampaikan, tidak perlu disertai
kesimpulan yang kemudian dikukuhkan di rapat paripurna. Terlebih
rekomendasi-rekomendasi tersebut justru mau melabrak sistem pemerintahan
presidensial dengan menyarankan agar Presiden Jokowi memberhentikan Menteri
BUMN.
Sangat jelas
terlihat pansus seperti mengejar target agar ada kesimpulan sebelum mereka
reses pada tahun ini. Sangat mudah dikaitkan bahwa sikap `ngebet' DPR itu
terkait dengan isu reshuffle jilid II yang tengah menggelinding dan menjadi
wacana publik hari-hari belakangan ini.
Dengan
merekomendasikan pemberhentian RJ Lino dan Rini Soemarno, pansus seperti
berharap hal tersebut akan menjadi trigger,
pemantik, yang mendorong Presiden Jokowi betul-betul mencopot Rini dari
posisinya. Korban sudah jatuh ketika Lino akhirnya betul-betul diberhentikan
setelah sebelumnya dinyatakan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK)-¬ penersangkaan yang agaknya patut dipertanyakan karena KPK
seperti menari di genderang DPR.
Sistem presidensial
Dari sisi
etika, rekomendasi pemberhentian seorang menteri patut dipertanyakan. Hal ini
bisa dimaknai bahwa DPR hendak mengintervensi presiden. Mengganti atau tidak
mengganti seorang menteri semata-mata hak prerogatif seorang presiden. Tidak
ada lembaga negara lain dan bahkan kekuatan politik lain yang punya dasar
konstitusional untuk mencampuri hak prerogatif presiden tersebut. Meskipun
faktanya presiden-presiden Republik Indonesia sejak era Reformasi dalam
pembentukan kabinet (mengangkat menteri-menteri) selalu mengakomodasi
berbagai kekuatan politik sebagai mitra koalisinya, tetap saja wewenang
mengangkat dan memberhentikan menteri ialah hak prerogatif presiden.
Apabila
presiden merasa butuh mengganti seorang menteri, seharusnya ia bisa melakukan
setiap saat. Demikian pula sebaliknya, apabila presiden ingin
mempertahankannya, ia tidak terhalang untuk melakukakannya. DPR harusnya
tidak mencampuri wilayah ini. Bila ada kinerja menteri yang dianggap tidak
memuaskan atau melanggar undang-undang, dari sisi etika ketatanegaraan, DPR
cukup menggunakan fungsi kontrolnya. Tidak perlu merekomendasikan
pemberhentian. Dalam sistem pemerintahan presidensial, kewenangan eksekutif
mutlak di tangan presiden. Kewenangan DPR hanyalah terbatas pada pengawasan.
Sejak empat
kali perubahan UUD 1945, desain ketatanegaraan Indonesia semakin mempertegas
format dan mekanisme checks and
balances dalam hubungan presiden (eksekutif) dengan DPR (legislatif). UUD
1945 mengatur bahwa presiden tidak dapat membubarkan DPR sebagaimana lazim
terjadi dalam sistem parlementer, dan sebaliknya DPR tidak dapat secara
sepihak hanya dengan alasan politik untuk memakzulkan presiden. Lagi pula, memakzulkan
presiden bukan perkara yang mudah karena harus berdasarkan alasan hukum dan
melibatkan Mahkamah Konstitusi sebagai wasitnya.
Dengan demikian,
rekomendasi pansus yang disertai dengan ultimatum terhadap Presiden Jokowi,
bahwa ia akan di jatuhkan bila tidak mengikuti rekomendasi tersebut, jelas melampaui
batas wewenang konstitusional DPR.
Sikap aneh PDIP
Hal lain yang
aneh dari Pansus Pelindo II ialah kengototan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP), yang notabene partai pemerintah (the ruling party), untuk menggoyang-goyang kabinet Jokowi-JK,
terutama terkait Menteri Rini.
Padahal,
sebagai partai pemerintah, harusnya mereka bisa melakukan itu di belakang
layar (back door). Mereka tinggal
bicara kepada Presiden Jokowi untuk mengganti menteri tertentu seandainya ada
agenda seperti itu.Tidak perlu diungkap secara telanjang di publik, terlebih
menggunakan mekanisme pembentukan pansus segala yang jelas-jelas menyerap
anggaran yang tidak sedikit.
Dengan
menyerang Rini secara terbuka, bahkan melalui pansus DPR, terlihat bahwa ada
hubungan yang tidak harmonis antara pemerintah dan partai pendukung
pemerintah. Hal ini sesungguhnya sudah menjadi rahasia umum karena Presiden
Jokowi memang tidak bisa sepenuhnya mengontrol PDIP karena loyalitas PDIP
lebih pada Teuku Umar (Ketua Umum PDIP Megawati) ketimbang istana.
Soalnya ialah,
dengan bersikap konfrontatif terhadap Presiden Jokowi, PDIP seperti tengah
menguras tabungan simpati publik. Langkah-langkah partai pemenang Pemilu 2014
ini belakangan justru banyak berhadapan dengan keinginan publik.
Pemilu 2019
memang masih lama, tetapi hukum besi politik tetap berlaku seiring dengan
berkembangnya kecerdasan publik; partai yang tidak setia kepada hati nurani
publik, suatu saat akan ditinggalkan.
Sebagai catatan akhir, Presiden
Jokowi tidak perlu terlalu risau dalam menghadapi rekomendasi DPR. Tunggu
saja hasil akhir dari pansus, barulah Presiden bersikap. Bersikap saat ini
terlalu prematur karena pansus memang belum menyelesaikan bab terakhir
mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar