Pilkada Serentak dan Elitisme Lokal
Ferdy Hasiman ; Peneliti dari Indonesia Today, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 29 Desember 2015
PILKADA yang
diselenggarakan secara serentak pada 9 Desember telah disambut antusias warga
daerah. Meskipun ada dugaan pelanggaran di sanasini, proses pemilu tetap
berlangsung aman. Rakyat daerah pun telah memiliki pemimpin baru yang
diharapkan dapat membawa kesejahteraan rakyat daerah.
Rakyat daerah
juga berharap dari rahim demokrasi itu lahir pemimpin-pemimpin tangguh. Pemimpin
yang mampu mencari solusi atas berbagai masalah daerah, mampu membawa rakyat
keluar dari kubangan kemiskinan dan pengangguran. Pemimpin yang lahir dari
pilkada diharapkan mampu membenahi infrastruktur publik sehingga rakyat bisa
mengakses ke pasar dan investasi tumbuh. Dengan begitu, lapangan kerja
tersedia, banyak tamatan sarjana mendapat pekerjaan, dan tak berharap penuh
menjadi PNS yang menyebabkan biaya birokrasi membengkak. Rakyat pun berharap
tak ada lagi pemimpin yang menggadaikan tanah rakyat hanya untuk investasi
tambang dan perkebunan. Pasalnya, dalam banyak kasus, perizinan usaha
pertambangan dan perkebunan sering ditentukan bukan untuk kesejahteraan
rakyat, Melainkan dibuat atas kendali transaksional dengan pengusaha hitam
sehingga korupsi meluas dan rakyat menjadi budak. Pilkada dapat memutus
rantai birokrasi yang korup, kekuasaan yang ekstraktif, dan harus memunculkan
kekuasaan inklusif di daerah.
Namun, pilkada
dalam kenyataannya hanya merupakan ajang mengganti penguasa A ke penguasa B.
Pola dan sistem kerjanya sama saja. Dalam demokrasi elektoral, rakyat hanya
sebagai voters, bukan subjek politik berdaulat. Hal itu disebabkan para
petarung dalam pilkada hanya elite-elite lokal. Pilkada hanya konsolidasi
kekuasaan politik dan ekonomi. Pertanyaannya mengapa elitisme lokal
menggejala di era desentralisasi?
Demokrasi yang oligarkis
Reformasi 1998
ialah tahap penting untuk konsolidasi de mokrasi Indonesia. Dari rahim
reformasi, lahir otonomi daerah dan pilkada langsung. Pilkada langsung sudah
melahirkan pemimpin-pemimpin lokal tangguh, seperti Tri Rismaharini (Wali
Kota Surabaya) dan Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung).
Daerah sekarang sudah
menjadi rahim bagi lahirnya pemimpin nasional, seperti Joko Widodo, yang
terpilih menjadi presiden periode 2014-2019. Lahirnya pemimpin berkualitas di
daerah tak lepas dari kompetisi demokrasi yang sehat.
Meskipun
demikian, desentralisasi sebenarnya hanya pergeseran kekuasaan ke daerah.UU
No 24/2014, tentang Pemerintah Daerah sebagai revisi atas UU No 32/2004
tentang Otonomi Daerah mencoba menarik kembali wewenang daerah ke pusat.
Melalui revisi UU itu, pemerintah pusat bisa memberikan sanksi kepada
bupati/wali kota yang melakukan pelanggaran. Pemda tak sesuka hati lagi
memberikan izin konsesi tambang dan perkebunan kepada korporasi.
Secara
sepintas, peran pemerintah pusat kelihatan seperti negara penjaga malam
karena daerah memiliki otonomi besar dalam menentukan pilihan kebijakan dan
investasi. Namun, secara fiskal, sumber-sumber utama pendapatan (80% pajak
pendapatan, pajak pertambahan nilai, dan pajak ekspor) masih dikuasai pusat. Otonomi
daerah sebenarnya hanya desentralisasi kekuasaan administratif yang disubsidi
besar-besaran pusat.
Cengkeraman pusat ke daerah yang paling kentara ialah
melalui parpol. Parpol tak memungkinkan pembentukan partai daerah dan tetap
tersentralisasi di tangan bos-bos Jakarta tanpa memberikan ruang kepada
daerah. Parpol hanya memilih calon yang mengakomodasi kepentingan pengusaha
dan kepentingan parpol.
Politik uang
dalam penentuan calon di daerah bukan dianggap tabu lagi. Itu terjadi karena
parpol yang ada sekarang sudah dikuasai oligarki politik (dominasi orang
kuat) dan oligarki ekonomi (dominasi pemodal). Kekuatan oligarki serentak
mengurung niat putra putri terbaik daerah yang akan maju untuk berkompetisi
dalam pilkada. Padahal, demokrasi mestinya membuka ruang bagi siapa saja yang
kompeten untuk memperjuangkan aspirasi rakyat sehingga berciri inklusif dan
terbuka.
J Ranciere
(2006) mengatakan adanya kaitan antara hasrat mendapat kekayaan dengan
pelanggengan kekuasaan melalui demokrasi yang oligarkis. Ranciere mengatakan
kesetaraan itu tak pernah muncul dalam demokrasi yang oligarkis karena ada
upaya oligarki ekonomi-politik untuk menciptakan situasi yang tak setara.
Demokrasi yang
oligarkis hanya menghasilkan penguasa daerah yang tamak akan uang dan pemburu
rente. Demi uang, pemimpin mengabaikan komunitas sosial, tak peduli dengan
kelestarian lingkungan, dan tak peduli lagi dengan rakyat miskin.
Korupsi
kemudian menemukan konteks baru yang beragam di berbagai daerah. Politik
mengarah pada kebangkitan kembali semangat kerajaan masa lalu dan memberikan
peluang lahirnya dinasti politik lokal. Desentralisasi bahkan menguatkan
elite lokal yang tidak berpengalaman dalam demokrasi dan cenderung korup.
Akibatnya pilkada tidak lebih dari sekadar jalan untuk merebut kekuasaan
politik dan kekuasaan ekonomi.
Demokrasi yang
oligarkis menurut Daron Acemoglu dan James A Robinson (2012) menciptakan
institusi ekstratif. Institusi politik ekstraktif melahirkan politisi korup,
DPRD yang suka bermain proyek, seperti yang marak terjadi di daerah.Institusi
politik ekstraktif melahirkan kekuasaan lokal yang serakah serta suka
menggadaikan daerah kepada korporasi dan pengusaha. Kekuasaan seperti itu tak
peduli pada upaya pencapaian bonum
commune (kebaikan bersama).
Infrastruktur
publik tak diperhatikan. Jalan raya hanya diaspal ke rumah-rumah para
pejabat, sementara jalan ke desa-desa tak pernah diaspal.
Pembangunan
daerah kemudian sama saja dengan kolonialisme baru. Pembangunan bukan untuk
mensejahterakan rakyat, melainkan membuat rakyat menjadi budak di negerinya
sendiri. Pembangunan memang marak, investasi asing meningkat, pertumbuhan
ekonomi relatif stabil. Namun, bukannya mengentaskan kemiskinan, pembangunan
eksploitatif malah menghasilkan proses pemiskinan sistemik lewat pencaplokan
sumber daya dan marginalisasi.
Ranciere
mengatakan, demokrasi ialah daya (power)
untuk mematahkan dominasi kelompok elite oligarkis karena mereka berusaha
melanggengkan status quo kekuasaan.
Dominasi kelompok elite itu akan menciptakan ketidaksetaraan dalam
masyarakat. Karena itu, demokrasi dalam arti daya hadir sebagai solusi untuk
menghancurkan ketidaksetaraan yang dibangun kaum elite dan itu hanya bisa
diperjuangkan civil society.
Karena itu,
tak ada kata lain bagi civil society
selain harus melawan monopoli elite. Ini harus menjadi gerakan kolektif yang
masif. Galakkan politik kewargaan yang dimotori civil society, pemuka agama, LSM, dan media untuk mengadvokasi masyarakat.
Gerakan ini penting untuk mengkawal proses demokrasi ke depan.
Lebih dari itu, demokrasi tak
cukup hanya berhenti pada pemilu. Rakyat perlu berpartisipasi dalam
pengaturan tata sosial, politik, dan ekonomi. Opsi-opsi pembebasan masyarakat
harus berada di luar kuasa hegemonik. Keadilan hanya bisa diperjuangkan dari
bawah. Indonesia harus menuju demokrasi radikal. Radikalisasi demokrasi
menuntut partisipasi rakyat dalam proses pembangunan agar mengontrol
perselingkuhan antara birokrat, politisi, dan investor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar