Drama MKD dan Politik Perwakilan
Ahmad Qisa’i ; Manajer Program di Kemitraan dan Dosen
Pascasarjana
Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 23 Desember 2015
Kasus sidang
Mahkamah Kehormatan Dewan terhadap anggota DPR RI Setya Novanto seharusnya
memberikan pembelajaran penting bagi transformasi demokrasi di Indonesia,
terutama untuk memperkuat sistem politik perwakilan.
Akhirnya
Setya Novanto hanya mengundurkan diri dari jabatan ketua DPR RI tanpa
disertai sanksi konkret dari MKD menunjukkan tontonan drama politik telanjang
nan memuakkan. Apalagi, pengunduran diri yang diajukan Setya Novanto bukanlah
pengunduran diri dari keanggotaan DPR RI.
Tulisan ini tidak
hendak menghakimi Setya Novanto, tetapi untuk menjadi refleksi terhadap
politik perwakilan saat ini.
Merujuk pada
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22E ayat (3), peserta pemilihan umum untuk
memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik. Artinya, yang
boleh mengikuti pemilihan umum legislatif dan nanti yang memiliki kursi di
DPR/DPRD adalah partai politik, bukan individu politisi. Individu politisi
hanya menduduki kursi di lembaga legislatif karena kemurahan hati partai
politik semata, bukan karena dukungan suara yang diperolehnya. Inilah yang
tersurat di dalam UUD 1945.
Penegasan
soal kepesertaan pemilu legislatif ini termaktub di dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 7 tentang Peserta
Pemilu. Untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
adalah partai politik. Namun, di undang-undang yang sama di pasal yang
berbeda, Pasal 154, disebutkan bahwa pemberian suara untuk pemilu anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara
mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama
calon pada surat suara.
Di sini
tersurat ada pembelokan dari mandat Undang-Undang Dasar 1945 tentang peserta
pemilu. Bila pasal tersebut dibaca (bagian yang ditulis miring), individu
boleh dan sah mengikuti pemilu legislatif selama dia menjadi anggota partai
dan menjadi calon anggota legislatif. Bila namanya dicoblos dengan sah, suara
yang diberikan oleh pemilih juga sah sebagai suara individu. Suara tersebut
juga berkontribusi pada pencapaian suara partai tempat si politisi bergabung.
Inilah salah satu penyebab terjadi drama MKD terkait Setya Novanto.
Dalam pemilu
legislatif pada 2014, Setya Novanto mendapatkan suara individu yang lebih
besar dari suara partainya di daerah pemilihan NTT-2. Sebagai individu, Setya
Novanto mendapatkan 85.818 suara sah, jauh melampaui yang diraih partainya
dengan 23.911 untuk rekapitulasi suara Daerah Pemilihan Nusa Tenggara Timur
II (Dapil NTT II).
Momentum Perbaikan Sistem Pemilu
Bila mengacu
pada UUD 1945, sistem pemilihan umum legislatif yang berlaku seharusnya
adalah sistem daftar partai (party list)
di mana hanya partai politiklah yang boleh ikut pemilu legislatif. Pemilih
hanya akan memilih salah satu partai di dalam lembar suara pemilu legislatif
supaya suaranya sah. Nama-nama calon anggota DPR/DPRD tidak perlu ada di
dalam lembar suara karena mereka adalah individu politisi yang bernaung di
dalam sebuah partai politik, bukan partai politik. Ini berlaku bagi pemilihan
anggota DPR dan DPRD, bukan DPD. Untuk menarik pemilih, nama-nama mereka
hanya dikenalkan oleh partai peserta pemilu kepada para pemilih tanpa harus
tertulis di dalam lembar kertas suara. Dengan begitu, pemilih hanya akan
fokus pada partai politik peserta pemilu, bukan pada individu daftar calon
anggota legislatif yang ditawarkan oleh masingmasing partai politik peserta
pemilu. Bila ini dilakukan, pelaksanaan pemilu legislatif akan sesuai mandat
UUD 1945.
Berdasarkan
aturan yang berlaku, keberhasilan Setya Novanto memperoleh suara lebih banyak
dari partainya telah mengubah konstelasi dan posisi partai politik terhadap
Novanto. Kemenangan Partai Golkar di daerah pemilihan NTT-2 adalah kontribusi
besar Novanto, yang tanpanya, Partai Golkar belum tentu bisa memenanginya.
Dengan begitu, para petinggi Partai Golkar tidak berani untuk melakukan
recall kepada Novanto ketika kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil
Presiden di MKD bergulir.
Hal yang sama
juga seharusnya menjadi pertimbangan Partai Golkar ketika tiga anggota
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dari Fraksi Partai Golkar hadir dalam
acara konferensi pers oleh Menko Polhukam Luhut B Panjaitan ketika proses di
MKD sedang bergulir. Menko Polhukam Luhut menjadi salah satu calon saksi yang
akan dipanggil di dalam sidang tersebut.
Bila partai
politik memang benar-benar berkuasa terhadap kursi-kursi yang diduduki oleh
para politisi partai di parlemen, tentu ihwal yang terkait kepantasan dan
etika politik yang terindikasi dilanggar oleh anggota dewan tersebut akan
menjadi dasar bagi dewan pimpinan partai politik untuk memberikan teguran
atau bahkan sanksi disiplin partai. Karena, apa pun yang dilakukan para
individu anggota dewan tersebut tidak bisa lepas dari statusnya sebagai kader
partai politik dan karena ada dampaknya, baik positif maupun negatif.
Drama MKD dan
pengesahan RUU Kodifikasi Undang-Undang Pemilu sebagai salah satu RUU yang
akan dibahas di dalam program legislasi nasional 2016 harus menjadi momentum
untuk memperbaiki keadaan ini. Pembenahan terhadap aturan yang ada, terutama
terkait peserta pemilu sebagaimana dimandatkan UUD 1945, akan bisa memperkuat
posisi partai politik dalam upayanya mendisiplinkan anggotanya yang duduk di
dewan perwakilan supaya tetap sesuai dengan visi-misi dan program partai.
Penegasan aturan ini juga akan memberikan ruang yang luas bagi pemilih untuk
menuntut kinerja partai politik yang lebih baik atau menghukumnya di dalam
pemilihan umum. Dengan demikian, proses penguatan politik perwakilan sebagai
bagian dari transformasi demokrasi di Indonesia bisa terjadi, selangkah demi
selangkah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar