Mengelola Transportasi di 2016
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 23 Desember 2015
Dalam
beberapa hari menjelang penutupan tahun ini, berita yang menarik perhatian
kita adalah sektor transportasi. Mulai dari larangan atas transportasi yang
memanfaatkan aplikasi teknologi hingga mogoknya sopir-sopir Metromini selama
lima hari belakangan ini. Dalam kasus transportasi berbasis aplikasi,
perkembangan teknologi informasi telah melampaui zaman transportasi
konvensional. Pada saat aturan tentang transportasi umum dibuat, belum ada
yang berpikir bahwa ojek atau kendaraan pribadi bisa menjadi sarana
transportasi melalui penguasaan teknologi informasi.
Selain aturan
yang terkait dengan lalu lintas, hubungan antara pengemudi dengan pemilik
aplikasi juga tidak masuk dalam aturan hubungan ketenagakerjaan yang diatur
di dalam undang-undang. Sejauh yang saya ketahui, hubungan para pengemudi dan
pemilik aplikasi lebih mirip hubungan antara pembeli dan penjual atau seperti
mitra. Penyebabnya karena pengemudi tidak digaji oleh pemilik aplikasi,
bahkan mereka justru memberi komisi kepada pemilik aplikasi. Pekerjaan juga
diterima bukan dari perusahaan, tetapi dari penumpang yang memanfaatkan
aplikasi tersebut. Pengemudi juga bisa bekerja sesuai dengan waktu yang
ditentukannya sendiri. Ini bertolak belakang dengan konsep ketenagakerjaan
konvensional yang di dalamnya lapangan kerja tercipta karena ada majikan yang
mempekerjakan buruh atau tenaga kerja.
Perubahan
zaman adalah hal yang harus dengan cepat diantisipasi Pemerintah Indonesia.
Sejumlah penelitian telah dilansir negara-negara maju, yaitu mereka menyuarakan
perlunya mewaspadai perubahan jenis lapangan kerja dan model relasi
ketenagakerjaan yang makin dramatis dalam waktu-waktu ke depan. Kebutuhan
praktis konsumen menjadi pemicu perubahan ini.
Di Australia,
misalnya, kepiawaian pekerja mengoperasikan komputer dan ragam teknologi
informasi termasuk juga mesin-mesin canggih berbasis robot telah dibicarakan
sebagai masa depan ketenagakerjaan yang sedang dipersiapkan pengaturannya
oleh pemerintah. Misalnya saja, meskipun pekerjaan sebagai sopir kendaraan
umum tetap dibutuhkan, jenis kendaraan umum yang digemari bukan lagi taksi
berpelat kuning, melainkan taksi gelap yang terlacak keberadaan dan
kinerjanya lewat satelit. Karena sopirnya paham bahwa penumpang adalah
majikan, perlakuan pada penumpang katanya lebih baik. Di bidang konstruksi meskipun tetap
dibutuhkan tukang dan kuli, mereka ini harus piawai menggunakan alat-alat
berat dan siap beradu kompetensi lewat sertifikasi. Sementara itu petani
tetap diperlukan, tetapi pekerjaan mereka perlu dibuat lebih bergengsi dengan
diintegrasikannya proses produksi sektor pertanian dengan sistem logistik dan
teknologi informasi yang canggih hingga bisa melacak tempat produk pertanian
dihasilkan dan dikemas.
Jadi, upah
tinggi tidak lagi dianggap sebagai barang yang tabu untuk dibicarakan karena
gaya hidup masyarakat yang cenderung konsumtif dan merindukan kenyamanan
tidak dikecam, melainkan dimaklumi. Kecenderungan masyarakat justru dijadikan
peluang bagi siapa pun yang bisa menyediakan barang dan jasa secara cepat,
tepat, bermutu atau sesuai dengan selera konsumen.
Saya
membayangkan, tidak mustahil bahwa kurang dari 10 tahun lagi, kota-kota besar
di Indonesia akan lebih dominan didiami oleh para pekerja yang secara
kompetitif mempertahankan tingkat upah yang mereka idamkan. Rata-rata orang
yang tinggal di kota-kota besar adalah mereka yang terampil menggunakan
teknologi informasi dan punya inovasi dalaml ini pekerjaannya. Sementara itu
mereka yang sekadar menunggu, bermental suruhan, dan kurang terampil harus siap
tersingkir ke pinggiran atau mengais dari ruang rezeki yang tersisa.
Zaman telah
berubah dan hal ini nyata terlihat di pusat aktivitas bisnis seperti di ibu
kota provinsi. Pertumbuhan ekonomi yang berada di atas 5% dalam 10 tahun
terakhir ini telah menciptakan kelompok-kelompok menengah yang berpendapatan
Rp2 juta-10 juta rupiah per bulan. Mereka biasa disebut sebagai kelas
menengah yang punya gaya hidup konsumtif.
Apakah kelas
menengah kita mumpuni? Lebih jauh lagi, apakah pemerintah kita sadar akan
perubahan zaman ini dan mau menjadi lentera bagi bangsanya di tengah arus
perubahan global yang dahsyat ini? Tahun 2016 sudah di depan mata, ada
perlunya kita bergegas berbenah diri.
Dunia modern
tidak akan ada maknanya tanpa manusia-manusia yang beradab. Beradab salah
satu karakternya adalah sadar aturan, sadar bahwa dirinya harus mendorong
keteraturan dan rela diatur atau diarahkan.
Kembali soal
transportasi. Yang sedang digalakkan di tingkat global dan regional adalah
konektivitas alias keterhubungan antarmanusia dan antara satu tempat dengan
tempat lainnya. Di masa mendatang, barang atau jasa tidak boleh terhambat
hanya karena tidak bisa ”diantar” kepada konsumen dengan tepat waktu. Itu
sebabnya di bulan Januari mendatang, China meresmikan inisiatif Asian Infrastructure Investment Bank
dan Indonesia menjadi salah satu pendukungnya. Di ASEAN, isu konektivitas dan
pembangunan infrastruktur serta moda transportasi antarnegara sudah ada peta
jalannya sejak 2010.
Artinya
sangatlah tepat jika kita di dalam negeri bicara juga tentang cara-cara jitu
membenahi konektivitas antarmanusia di Indonesia. Kalau bukan kita yang
membenahi, nantinya kita yang akan dibenahi oleh tenaga-tenaga kerja asing
yang piawai ”menjawab” kebutuhan konsumen Indonesia.
Berikut ini
sejumlah perubahan zaman yang perlu diantisipasi pemerintah.
Pertama ,
kendaraan pribadi yang dijadikan alat transportasi massal adalah upaya
pekerja mencari solusi dari tidak memadainya infrastruktur jalan dan moda
transportasi umum. Ojek berbasis online justru model baru. Yang sudah lebih
lama dipraktikkan sejak 1980-an adalah pooling mobil. Mereka yang bekerja di
Jakarta tetapi tinggal di Depok, Bogor, Bekasi atau Cibubur memilih untuk
”nebeng” mobil-mobil pribadi di waktu pagi dan turun di titik-titik strategis
seperti di samping Kampus Atmajaya di bilangan Sudirman atau di waktu malam
ikut pulang di atas jam 9 malam hingga dini hari ke daerah rumah
masing-masing. Ini menjadi alternatif transportasi yang dapat diandalkan
setelah Metromini atau Kopaja pulang ke kandang untuk beristirahat.
Artinya
tempatkanlah pengaturan moda transportasi dalam konteks menjembatani
peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja dan pebisnis Indonesia.
Hindarilah aturan-aturan yang justru menambah beban tenaga kerja dan pebisnis
lokal yang tiap hari harus sabar membuang waktu 2-6 jam pergi-pulang ke
tempat kerja.
Kedua, apa
pun jenis moda kendaraan pasti ada risiko kecelakaan. Bagi yang
mengoperasikan kendaraan, risiko ini masuk dalam kategori kecelakaan kerja,
tetapi karena jenis pekerjaan ini belum terdeteksi oleh sistem
ketenagakerjaan di Indonesia, kesadaran dari para pengemudi untuk
mengasuransikan diri menjadi sangat penting. Jika tidak, risiko kecelakaan
tidak hanya menjadi beban keluarga, tetapi juga beban negara. Bagaimana cara
membangun kesadaran itu, tentu bukan dengan menghukum, tetapi dengan
melakukan pendidikan publik yang menarik.
Korlantas
Polri menyebutkan pada 2011-2013 kecelakaan lebih banyak terjadi di pagi hari
(34%) dan sore hari (24,14%). Periode waktu ini menunjukkan bahwa frekuensi
tingkat kecelakaan terjadi pada saat pekerja berangkat dan pulang dari tempat
kerja. Dari jenis kendaraannya, Korlantas menyebut bahwa jenis kendaraan roda
dua atau sepeda motor yang lebih banyak mengalami kecelakaan bila
dibandingkan dengan alat transportasi lain. Secara statistik kecelakaan
sepeda motor sebesar 52,5%, kendaraan roda empat atau mobil pribadi 20%, alat
transportasi pengangkut barang 17,5%, dan bus 10%.
Penelitian
Manajemen Sistem Keselamatan Jalan Terpadu (IRSM) mencatat dari sisi
probabilitas, kemungkinan untuk hidup dari mereka yang mengalami kecelakaan
kendaraan bermotor, terutama kendaraan roda dua, juga sangat kecil karena
data itu memperlihatkan bahwa 70% pengendara sepeda motor yang mengalami
kecelakaan pasti meninggal dunia dan sebagian besar usia mereka adalah usia
produktif pada kelompok usia 15-29 tahun. Bayangkan bebannya bagi keluarga,
anak-anak yang ditinggalkan, serta komunitas.
Ketiga , karena
penguasaan atas data dan teknologi informasi sudah menjadi tren bisnis di
sektor transportasi dan infrastruktur, tidak bisa tidak Pemerintah Indonesia
harus lebih sigap mengarahkan dan menciptakan suasana yang kondusif bagi
pebisnis-pebisnis lokal untuk mengembangkan keahlian dan daya saing di bidang
data dan teknologi informasi.
Generasi muda
pun harus dibina. Program-program beasiswa dari pemerintah jangan lagi
dihambur-hamburkan untuk sebebas-bebasnya program studi. Pemerintah
bertanggung jawab menggerakkan orang muda Indonesia untuk mengembangkan
keahlian dan keterampilan di bidang-bidang yang strategis.
Patut
diketahui bahwa China, misalnya, yang saat ini memegang status sebagai mitra
kerja strategis dan komprehensif bagi Indonesia, secara sistematis, mengirim
mahasiswa program S-3 ke negara-negara maju untuk ilmu pasti dan menciptakan
lapangan inovasi di beratus-ratus pusat studi dan pusat penelitian.
Jadi, kalau
Indonesia tidak mengolah potensi Indonesia menjadi daya dorong yang sungguh dahsyat,
kita berisiko menjadi bangsa yang sekadar mengais dari ruang rezeki global
yang tersisa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar