Merespons Berlakunya MEA
I Basis Susilo ; Dosen Hubungan Internasional dan
Direktur Cakra Studi Global dan
Strategis FISIP Universitas Airlangga
|
KOMPAS,
28 Desember 2015
Masyarakat
Ekonomi ASEAN akan diberlakukan pada 31 Desember 2015. Namun, berita tentang
persiapan menghadapi pemberlakuan MEA nyaris tak terdengar, kalah dari
hiruk-pikuk berita kasus pilkada serentak dan Setya Novanto. Padahal,
pengaruh pemberlakuan MEA bisa lebih kuat bagi masa depan kehidupan
masyarakat.
Sikap tak begitu
hirau dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) itu juga terjadi di negara-negara
ASEAN lain. Di Vietnam, Wakil Direktur Central
Institute of Economic Management Vo Tri Thanh bilang, negerinya
menghadapi pelbagai masalah di kualitas sumber daya manusia (SDM) dan
infrastruktur. Ia juga minta pemerintah memperbaiki iklim investasi dan
bisnis serta membantu para pengusaha meng-update
teknologi mereka dan mengembangkan pasar.
Di Filipina,
Sekjen Badan Koordinasi Statistik Nasional Romulo Virola mengeluh,
orang-orang Filipina belum siap mengambil manfaat dari integrasi ekonomi pada
2015 karena masih menghadapi beberapa problem di ekonomi lokal.
Di Thailand,
sebagaimana ditulis di The Nation,12
Mei 2015, mantan Menteri Keuangan Korn Chatikavanij memandu dialog 90 menit
dengan Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha dalam ”ASEAN Economic Integration: Will theASEAN Way Get in the Way?”
dan mencatat, tak ada kata MEA diucapkan Prayut. Korn menyatakan, ”The awareness of AEC in Thailand is still
very low.”
Di Malaysia,
Michael Yeoh, CEO Lembaga Strategi dan Kepemimpinan Asia, mengatakan, kendati
integrasi makin dekat, akademisi, pebisnis, dan masyarakat umum masih bingung
tentang apa yang bakal terjadi setelah MEA diberlakukan. Mahathir Mohamad pun
menyatakan, MEA akan mengalami kesulitan karena belum ada kesamaan sistem
ekonomi di negara-negara ASEAN.
Reaksi dan respons
Dalam
menyikapi pemberlakuan MEA ini bisa dilihat tiga gradasi: cuek, mereaksi, dan
merespons. Sebenarnya masih ada gradasi keempat: mengendalikan (shaping), tetapi belum perlu kita
bahas karena sikap ini baru akan diambil satu atau dua negara setelah
realisasi MEA nanti.
Sikap cuek
itu artinya tak mereaksi, apalagi merespons. Ini bisa disebabkan oleh
ketaktahuan, tak mampu mengetahui persoalannya, atau sengaja tak mau tahu
tentang persoalannya.
Mereaksi
lebih ditentukan adanya rangsangan dari luar dirinya tanpa pertimbangan dan
perhitungan. Biasanya reaksi ini berupa pernyataan lisan-spontan tanpa
didukung pengetahuan tentang esensi persoalannya dan tanpa didukung oleh
serangkaian kebijakan, peraturan daerah, dan program-program nyata.
Beda dari
hanya mereaksi, merespons adalah mereaksi dengan pilihan sikap, kebijakan,
peraturan dan program, serta tindakan yang didasari pengetahuan kritis dan
kewaspadaan tentang esensi dan skala permasalahannya, yang dipadukan dengan
kalkulasi logis tentang akibat dari pilihan yang diambil.
Pernyataan
siap menghadapi MEA beberapa kali diucapkan para pejabat pusat dan pejabat
daerah, seperti gubernur atau bupati/wali kota. Namun, pernyataan itu
tampaknya lebih mencerminkan reaksi daripada respons. Yang diperlukan adalah
respons berupa pilihan sikap, kebijakan, peraturan, dan program-program
nyata. Respons itu harus dibangun atas pengetahuan kritis tentang esensi MEA
serta kelemahan dan kekuatan diri sendiri dalam menghadapinya.
Pengetahuan
tentang MEA, misalnya, bisa menyimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan kecil
dan menengah (SME) akan kesulitan karena harus berhadapan dengan persaingan
dari luar. Sementara perusahaan-perusahaan besar diuntungkan oleh
liberalisasi kawasan. Karena itu, para pengusaha besar biasanya lebih
optimistis. Namun, perusahaan sebesar apa pun akan sulit bersaing kalau
selama ini banyak dilindungi oleh negara.
Di semua
daerah pasti ada perusahaan besar, menengah, dan kecil. Setiap usaha punya
peluang dan ancaman sendiri-sendiri. Di tiap daerah tentu ada perusahaan yang
sudah siap, yang siap, yang akan siap, yang belum siap, dan yang tak siap
sama sekali. Itu wajar dan logis. Karena itu, tak masuk akal kalau ada
pejabat pusat, gubernur, atau bupati/wali kota yang menyatakan negara atau
daerahnya sudah siap memasuki MEA.
Berlapis
Karena
kompleksnya masalah dan perbedaan tingkat kesiapan setiap kekuatan di
masyarakat, respons yang diambil mestilah tidak tunggal dan kaku, tetapi
mesti berlapis.
Pertama,
sosialisasi tiada henti. Bagaimanapun, untuk bisa merespons secara produktif
harus dimulai dari pemahaman tentang esensi, tujuan, format, skala, latar
belakang, dan kekuatan ekonomi MEA itu. Hal ini amat perlu karena gejala
tidak tahu MEA ada di kalangan masyarakat di negara-negara ASEAN. Barangkali
hal ini karena ASEAN masih elitis, belum memasyarakat. Kurangi perhatian pada
hiruk-pikuk politik praktis dan fokuskan pada soal-soal yang lebih berguna
bagi hajat hidup orang banyak.
Kedua,
strategi ofensif-defensif. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, mesti
menyadari bahwa untuk memenangi pertandingan perlu ofensif dan defensif pada
waktunya. Yang sudah kuat mesti didorong ekspansi ke luar kandang. Pemerintah
bisa mendayagunakan kedutaan, konsulat, dan atase di ASEAN. Pemda-pemda bisa
buka kantor di kota-kota besar di ASEAN.
Yang masih
lemah mesti didorong untuk menjadi kuat dengan proteksi yang cukup untuk
waktu tertentu, bukan selamanya. Dengan hambatan nontarif, pemerintah tentu
bisa membuat kebijakan yang pada dasarnya melindungi rakyat yang masih perlu
dilindungi. Semua mesti didukung dengan kebijakan, peraturan, program,
alokasi dana, serta sosialisasi.
Ketiga,
evaluasi terjadwal. Evaluasi mesti dilakukan secara terjadwal, entah
kuartalan, tengah tahunan, atau tahunan—mulai 2016—untuk mengetahui pengaruh
diberlakukannya MEA bagi masyarakat. Caranya sederhana, dihitung indikator
kemajuan ekonominya: tingkat pertumbuhan, tingkat pengangguran, indeks gini,
surplus-defisit perdagangan, dan sebagainya. Jika hasilnya positif, kebijakan
dan implementasinya diteruskan. Jika hasilnya negatif, perlu segera ada evaluasi
kritis dan alternatif kebijakan lain.
Keempat,
peningkatan kualitas dan kuantitas SDM. Peningkatan kualitas dan kuantitas
SDM harus diutamakan di mana pun dan kapan pun karena daya saing ditentukan
oleh kualitas dan kuantitas SDM. Kuantitas kita sudah punya dengan besarnya
penduduk dan bonus demografi. Tinggal peningkatan kualitas dengan pendidikan
formal dan nonformal yang serius, strategis, bermutu, dan tepat dalam
mengantisipasi kebutuhan lapangan pekerjaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar