Senin, 28 Desember 2015

Merespons Berlakunya MEA

Merespons Berlakunya MEA

  I Basis Susilo  ;  Dosen Hubungan Internasional dan
Direktur Cakra Studi Global dan Strategis FISIP Universitas Airlangga
                                                      KOMPAS, 28 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Masyarakat Ekonomi ASEAN akan diberlakukan pada 31 Desember 2015. Namun, berita tentang persiapan menghadapi pemberlakuan MEA nyaris tak terdengar, kalah dari hiruk-pikuk berita kasus pilkada serentak dan Setya Novanto. Padahal, pengaruh pemberlakuan MEA bisa lebih kuat bagi masa depan kehidupan masyarakat.

Sikap tak begitu hirau dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) itu juga terjadi di negara-negara ASEAN lain. Di Vietnam, Wakil Direktur Central Institute of Economic Management Vo Tri Thanh bilang, negerinya menghadapi pelbagai masalah di kualitas sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur. Ia juga minta pemerintah memperbaiki iklim investasi dan bisnis serta membantu para pengusaha meng-update teknologi mereka dan mengembangkan pasar.

Di Filipina, Sekjen Badan Koordinasi Statistik Nasional Romulo Virola mengeluh, orang-orang Filipina belum siap mengambil manfaat dari integrasi ekonomi pada 2015 karena masih menghadapi beberapa problem di ekonomi lokal.

Di Thailand, sebagaimana ditulis di The Nation,12 Mei 2015, mantan Menteri Keuangan Korn Chatikavanij memandu dialog 90 menit dengan Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha dalam ”ASEAN Economic Integration: Will theASEAN Way Get in the Way?” dan mencatat, tak ada kata MEA diucapkan Prayut. Korn menyatakan, ”The awareness of AEC in Thailand is still very low.”

Di Malaysia, Michael Yeoh, CEO Lembaga Strategi dan Kepemimpinan Asia, mengatakan, kendati integrasi makin dekat, akademisi, pebisnis, dan masyarakat umum masih bingung tentang apa yang bakal terjadi setelah MEA diberlakukan. Mahathir Mohamad pun menyatakan, MEA akan mengalami kesulitan karena belum ada kesamaan sistem ekonomi di negara-negara ASEAN.

Reaksi dan respons

Dalam menyikapi pemberlakuan MEA ini bisa dilihat tiga gradasi: cuek, mereaksi, dan merespons. Sebenarnya masih ada gradasi keempat: mengendalikan (shaping), tetapi belum perlu kita bahas karena sikap ini baru akan diambil satu atau dua negara setelah realisasi MEA nanti.

Sikap cuek itu artinya tak mereaksi, apalagi merespons. Ini bisa disebabkan oleh ketaktahuan, tak mampu mengetahui persoalannya, atau sengaja tak mau tahu tentang persoalannya.

Mereaksi lebih ditentukan adanya rangsangan dari luar dirinya tanpa pertimbangan dan perhitungan. Biasanya reaksi ini berupa pernyataan lisan-spontan tanpa didukung pengetahuan tentang esensi persoalannya dan tanpa didukung oleh serangkaian kebijakan, peraturan daerah, dan program-program nyata.

Beda dari hanya mereaksi, merespons adalah mereaksi dengan pilihan sikap, kebijakan, peraturan dan program, serta tindakan yang didasari pengetahuan kritis dan kewaspadaan tentang esensi dan skala permasalahannya, yang dipadukan dengan kalkulasi logis tentang akibat dari pilihan yang diambil.

Pernyataan siap menghadapi MEA beberapa kali diucapkan para pejabat pusat dan pejabat daerah, seperti gubernur atau bupati/wali kota. Namun, pernyataan itu tampaknya lebih mencerminkan reaksi daripada respons. Yang diperlukan adalah respons berupa pilihan sikap, kebijakan, peraturan, dan program-program nyata. Respons itu harus dibangun atas pengetahuan kritis tentang esensi MEA serta kelemahan dan kekuatan diri sendiri dalam menghadapinya.

Pengetahuan tentang MEA, misalnya, bisa menyimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan kecil dan menengah (SME) akan kesulitan karena harus berhadapan dengan persaingan dari luar. Sementara perusahaan-perusahaan besar diuntungkan oleh liberalisasi kawasan. Karena itu, para pengusaha besar biasanya lebih optimistis. Namun, perusahaan sebesar apa pun akan sulit bersaing kalau selama ini banyak dilindungi oleh negara.

Di semua daerah pasti ada perusahaan besar, menengah, dan kecil. Setiap usaha punya peluang dan ancaman sendiri-sendiri. Di tiap daerah tentu ada perusahaan yang sudah siap, yang siap, yang akan siap, yang belum siap, dan yang tak siap sama sekali. Itu wajar dan logis. Karena itu, tak masuk akal kalau ada pejabat pusat, gubernur, atau bupati/wali kota yang menyatakan negara atau daerahnya sudah siap memasuki MEA.

Berlapis

Karena kompleksnya masalah dan perbedaan tingkat kesiapan setiap kekuatan di masyarakat, respons yang diambil mestilah tidak tunggal dan kaku, tetapi mesti berlapis.

Pertama, sosialisasi tiada henti. Bagaimanapun, untuk bisa merespons secara produktif harus dimulai dari pemahaman tentang esensi, tujuan, format, skala, latar belakang, dan kekuatan ekonomi MEA itu. Hal ini amat perlu karena gejala tidak tahu MEA ada di kalangan masyarakat di negara-negara ASEAN. Barangkali hal ini karena ASEAN masih elitis, belum memasyarakat. Kurangi perhatian pada hiruk-pikuk politik praktis dan fokuskan pada soal-soal yang lebih berguna bagi hajat hidup orang banyak.

Kedua, strategi ofensif-defensif. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, mesti menyadari bahwa untuk memenangi pertandingan perlu ofensif dan defensif pada waktunya. Yang sudah kuat mesti didorong ekspansi ke luar kandang. Pemerintah bisa mendayagunakan kedutaan, konsulat, dan atase di ASEAN. Pemda-pemda bisa buka kantor di kota-kota besar di ASEAN.

Yang masih lemah mesti didorong untuk menjadi kuat dengan proteksi yang cukup untuk waktu tertentu, bukan selamanya. Dengan hambatan nontarif, pemerintah tentu bisa membuat kebijakan yang pada dasarnya melindungi rakyat yang masih perlu dilindungi. Semua mesti didukung dengan kebijakan, peraturan, program, alokasi dana, serta sosialisasi.

Ketiga, evaluasi terjadwal. Evaluasi mesti dilakukan secara terjadwal, entah kuartalan, tengah tahunan, atau tahunan—mulai 2016—untuk mengetahui pengaruh diberlakukannya MEA bagi masyarakat. Caranya sederhana, dihitung indikator kemajuan ekonominya: tingkat pertumbuhan, tingkat pengangguran, indeks gini, surplus-defisit perdagangan, dan sebagainya. Jika hasilnya positif, kebijakan dan implementasinya diteruskan. Jika hasilnya negatif, perlu segera ada evaluasi kritis dan alternatif kebijakan lain.

Keempat, peningkatan kualitas dan kuantitas SDM. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM harus diutamakan di mana pun dan kapan pun karena daya saing ditentukan oleh kualitas dan kuantitas SDM. Kuantitas kita sudah punya dengan besarnya penduduk dan bonus demografi. Tinggal peningkatan kualitas dengan pendidikan formal dan nonformal yang serius, strategis, bermutu, dan tepat dalam mengantisipasi kebutuhan lapangan pekerjaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar