Kedamaian Relasi dan Pengorbanan
Sawitri Supardi Sadarjoen ; Penulis Kolom “Psikologi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
20 Desember 2015
Pada umumnya
kita semua menyadari apa yang kita inginkan dan apa yang ingin kita ubah.
Namun, dalam situasi tertentu, Ani (34) tidak merasa bebas untuk memuaskan
keinginannya tersebut, bahkan untuk mengutarakannya secara verbal sekalipun,
kepada sang suami (36).
Kebanyakan
istri cenderung memilih menjaga kedamaian relasi dengan suami demi
menghindari konflik. Timbul pertanyaan, seberapa besarkah pengorbanan seorang
istri demi menjaga kedamaian relasi yang terjalin dalam perkawinannya?
Apabila
ditinjau dari segi kemampuan intelektualnya, Ani adalah seseorang yang mampu
mengekspresikan ide dan pendapat pribadi yang berbeda dengan siapa pun yang
ia temui. Ia sangat mengenali apa yang ia inginkan. Ia juga menyadari
prioritas yang utama bagi diri pribadi. Namun, Ani ternyata lebih sering
memilih mengakomodasi harapan dan keinginan suaminya daripada menggoyahkan
keseimbangan laju perahu perkawinannya.
Dari
pengalaman konseling perkawinan yang saya lakukan selama 15 tahun terakhir,
saya mendapat kesan bahwa kebanyakan istri menentukan pilihan dalam hidupnya
tanpa menyadari apa yang mereka lakukan dan mengapa mereka melakukan hal
tersebut. Mereka tidak membiarkan keinginan mereka seperti apakah akan
menonton pertunjukan seni drama dengan teman atau mendampingi suami untuk
membeli sepatu baru. Mereka menolak untuk sesekali menghibur dirinya dari
rutinitas tugas sebagai ibu rumah tangga.
Mereka juga
sering menolak untuk mengungkap ide baru dan cara berpikir baru yang membuka
peluang berkonflik dengan suami, sebagai sosok yang berarti bagi mereka.
Mereka tidak berani menghadapi suasana relasi yang pada saat tertentu bisa berlawanan
dengan harapan suami. Untuk itu mungkin saja mereka mengorbankan harga tiket
yang sudah dibayar untuk menonton seni drama dengan temannya tersebut atau
mengurungkan keinginan membeli tas yang mereka rencanakan, walaupun untuk itu
mereka sudah menabung berbulan lamanya.
Kalaupun
mereka mencoba mengangkat keinginannya, yang diutarakan adalah misalnya: ”Aku
sebenarnya ingin sekali nonton seni drama di gedung kesenian hari Sabtu,
malam Minggu ini….” Kemudian dengan penuh kepekaan perasaan mereka akan mulai
menilai dan mengecek respons dan reaksi mimik muka sang suami, mereka akan
menangkap dengan cepat tanda-tanda bahwa suasana hati suami kurang nyaman
dengan ungkapannya.
Dan untuk
itu, mereka mencoba melindungi ketidaknyamanan perasaan suami dengan cepat-cepat
mengatakan, ”Wah, tapi rasanya sisa uang bulanan kita tidak cukup untuk beli
tiketnya, mahal banget. Rada males juga sih kalau pergi dengan ibu E, teman
sekelasku saat aku di SMA dulu.”
Saat itu,
tanpa disadari mereka berusaha keras untuk membuat dirinya sesuai dengan
keinginan dan harapan suami, seperti menemani suami beli sepatu baru.
Terkadang kondisi semacam ini mengakibatkan mereka mengabaikan keinginannya
dan mengorbankan perasaannya sendiri. Sebab, kecuali uang tiket seni drama
harus dikorbankan, mereka juga mengabaikan pemuasan keinginan mereka untuk
menonton seni drama bersama teman. Benar-benar pengorbanan yang tidak
sederhana maknanya.
Namun, mereka
akan mengaitkan ketidaknyamanan emosional tersebut dengan menyatakan, ”Aku
berkorban demi melindungi suamiku agar relasiku dengan suami tetap tenang.”
”Tak ada gunanya bertengkar dan tidak pantas bertengkar, pertengkaran yang
tidak berarti yang terjadi karena hal sepele seperti menonton seni drama
bersama teman.”
Penenang
Perempuan
memang diposisikan oleh lingkungan kultur dan norma untuk selalu menjadi
”penenang” suasana lingkungan. Namun, pengondisian sosial seperti itu tanpa
disadari membuat perempuan pasif dan sulit, bahkan tanpa disadari menuntut
pengorbanan fisik/materi dan emosional yang tidak sederhana. Padahal, pada
saat-saat tertentu diperlukan juga suatu perubahan penting serta esensial
dalam relasi dengan pasangan, yang bisa saja harus melalui konflik untuk
beberapa saat, misalnya.
Sejauh itu,
sebenarnya keterampilan berperan sebagai ”pembina kedamaian” adalah suatu
keterampilan sosial yang dilandasi oleh keterlatihan kepekaan perasaan serta
aktivitas dalam kehidupan psikologis yang mendalam demi terciptanya kedamaian
lingkungan. Perempuan benar-benar terampil dalam hal ini, sayangnya
keterampilan semacam ini tidak dimiliki lelaki.
Andai para
lelaki pun memiliki keterampilan ini, dunia akan selamat dari berbagai
konflik yang tidak penting dan iklim relasi terasa damai serta nyaman.
Semoga…. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar