Selasa, 22 Desember 2015

Kedamaian Relasi dan Pengorbanan

Kedamaian Relasi dan Pengorbanan

Sawitri Supardi Sadarjoen  ;  Penulis Kolom “Psikologi” Kompas Minggu
                                                      KOMPAS, 20 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada umumnya kita semua menyadari apa yang kita inginkan dan apa yang ingin kita ubah. Namun, dalam situasi tertentu, Ani (34) tidak merasa bebas untuk memuaskan keinginannya tersebut, bahkan untuk mengutarakannya secara verbal sekalipun, kepada sang suami (36).

Kebanyakan istri cenderung memilih menjaga kedamaian relasi dengan suami demi menghindari konflik. Timbul pertanyaan, seberapa besarkah pengorbanan seorang istri demi menjaga kedamaian relasi yang terjalin dalam perkawinannya?

Apabila ditinjau dari segi kemampuan intelektualnya, Ani adalah seseorang yang mampu mengekspresikan ide dan pendapat pribadi yang berbeda dengan siapa pun yang ia temui. Ia sangat mengenali apa yang ia inginkan. Ia juga menyadari prioritas yang utama bagi diri pribadi. Namun, Ani ternyata lebih sering memilih mengakomodasi harapan dan keinginan suaminya daripada menggoyahkan keseimbangan laju perahu perkawinannya.

Dari pengalaman konseling perkawinan yang saya lakukan selama 15 tahun terakhir, saya mendapat kesan bahwa kebanyakan istri menentukan pilihan dalam hidupnya tanpa menyadari apa yang mereka lakukan dan mengapa mereka melakukan hal tersebut. Mereka tidak membiarkan keinginan mereka seperti apakah akan menonton pertunjukan seni drama dengan teman atau mendampingi suami untuk membeli sepatu baru. Mereka menolak untuk sesekali menghibur dirinya dari rutinitas tugas sebagai ibu rumah tangga.

Mereka juga sering menolak untuk mengungkap ide baru dan cara berpikir baru yang membuka peluang berkonflik dengan suami, sebagai sosok yang berarti bagi mereka. Mereka tidak berani menghadapi suasana relasi yang pada saat tertentu bisa berlawanan dengan harapan suami. Untuk itu mungkin saja mereka mengorbankan harga tiket yang sudah dibayar untuk menonton seni drama dengan temannya tersebut atau mengurungkan keinginan membeli tas yang mereka rencanakan, walaupun untuk itu mereka sudah menabung berbulan lamanya.

Kalaupun mereka mencoba mengangkat keinginannya, yang diutarakan adalah misalnya: ”Aku sebenarnya ingin sekali nonton seni drama di gedung kesenian hari Sabtu, malam Minggu ini….” Kemudian dengan penuh kepekaan perasaan mereka akan mulai menilai dan mengecek respons dan reaksi mimik muka sang suami, mereka akan menangkap dengan cepat tanda-tanda bahwa suasana hati suami kurang nyaman dengan ungkapannya.

Dan untuk itu, mereka mencoba melindungi ketidaknyamanan perasaan suami dengan cepat-cepat mengatakan, ”Wah, tapi rasanya sisa uang bulanan kita tidak cukup untuk beli tiketnya, mahal banget. Rada males juga sih kalau pergi dengan ibu E, teman sekelasku saat aku di SMA dulu.”

Saat itu, tanpa disadari mereka berusaha keras untuk membuat dirinya sesuai dengan keinginan dan harapan suami, seperti menemani suami beli sepatu baru. Terkadang kondisi semacam ini mengakibatkan mereka mengabaikan keinginannya dan mengorbankan perasaannya sendiri. Sebab, kecuali uang tiket seni drama harus dikorbankan, mereka juga mengabaikan pemuasan keinginan mereka untuk menonton seni drama bersama teman. Benar-benar pengorbanan yang tidak sederhana maknanya.

Namun, mereka akan mengaitkan ketidaknyamanan emosional tersebut dengan menyatakan, ”Aku berkorban demi melindungi suamiku agar relasiku dengan suami tetap tenang.” ”Tak ada gunanya bertengkar dan tidak pantas bertengkar, pertengkaran yang tidak berarti yang terjadi karena hal sepele seperti menonton seni drama bersama teman.”

Penenang

Perempuan memang diposisikan oleh lingkungan kultur dan norma untuk selalu menjadi ”penenang” suasana lingkungan. Namun, pengondisian sosial seperti itu tanpa disadari membuat perempuan pasif dan sulit, bahkan tanpa disadari menuntut pengorbanan fisik/materi dan emosional yang tidak sederhana. Padahal, pada saat-saat tertentu diperlukan juga suatu perubahan penting serta esensial dalam relasi dengan pasangan, yang bisa saja harus melalui konflik untuk beberapa saat, misalnya.

Sejauh itu, sebenarnya keterampilan berperan sebagai ”pembina kedamaian” adalah suatu keterampilan sosial yang dilandasi oleh keterlatihan kepekaan perasaan serta aktivitas dalam kehidupan psikologis yang mendalam demi terciptanya kedamaian lingkungan. Perempuan benar-benar terampil dalam hal ini, sayangnya keterampilan semacam ini tidak dimiliki lelaki.

Andai para lelaki pun memiliki keterampilan ini, dunia akan selamat dari berbagai konflik yang tidak penting dan iklim relasi terasa damai serta nyaman. Semoga….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar