Apa yang Kau Cari, Novanto?
Ikrar Nusa Bhakti ;
Profesor Riset LIPI
|
KOMPAS,
08 Desember 2015
Judul artikel
ini diilhami film garapan sutradara kondang Indonesia era 1960-an, Asrul
Sani, Apa yang Kau Tjari, Palupi? Film
tersebut mengisahkan dua sejoli suami istri. Haidar, sang suami, amat setia
pada pekerjaannya sebagai penulis naskah teater walau harus hidup miskin.
Istrinya, Palupi, tidak mencintai siapa pun kecuali dirinya sendiri, kurang
puas terhadap keadaan ekonomi keluarga, dan berupaya untuk dapat hidup lebih
nyaman dengan menjadi bintang film. Namun, Palupi akhirnya menerima kenyataan
bahwa apa yang ia kejar hanyalah sebuah fatamorgana. Film ini mendapatkan
penghargaan sebagai Film Terbaik Asia pada 1970.
Makna yang terkandung dalam film
itu masih relevan dengan masa kini. Setya Novanto, politisi Partai Golkar
yang telah menjadi anggota DPR selama empat periode (1999-2004, 2004-2009,
2009-2014, dan 2014-2019) dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur II, yang
mencakup Pulau Timor, Rote, Sabu, dan Sumba, serta terpilih sebagai Ketua DPR
periode 2014-2019, adalah politisi yang tidak puas terhadap apa yang telah
dicapainya saat ini.
Ia pun masih memiliki
angan-angan menjadi Ketua Umum Partai Golkar, suatu posisi yang tinggal
selangkah lagi ia raih karena ia memiliki pengaruh cukup besar di partai itu.
Kalau sudah jadi Ketua Umum Partai Golkar, ia juga bisa menjadi calon
presiden RI. Ia juga amat kaya raya, baik karena posisinya sebagai komisaris
perusahaan maupun direktur utama berbagai perusahaan.
Uang dan politik
Dalam teori M-P-MM-MP, seorang
politisi yang mendasarkan perolehan kekuasaannya melalui transaksi ekonomi
dan politik, untuk mendapatkan kekuasaan (P = Power), ia tentunya membutuhkan uang (M = Money).
Dari power yang ia miliki, ia bisa mendapatkan
uang lebih banyak lagi (MM = More Money), dan dari MM
itu ia bisa mendapatkan kekuasaan lebih besar lagi (MP = More
Power). Begitu seterusnya sampai angan-angannya meraih kekuasaan
tertinggi tercapai. Teori ini juga berlaku bagi para "politisi
tiban", yaitu politisi yang tidak memiliki latar belakang sebagai
aktivis, tetapi kaya dan tiba-tiba terjun sebagai politisi.
Teori ini tidak hanya terjadi
di negara-negara Barat atau negara yang demokrasinya belum matang, tetapi
juga di Indonesia yang telah melaksanakan reformasi politik sejak 1998. Teori
ini tentunya tidak berlaku bagi politisi yang benar-benar bekerja keras di
daerah pemilihannya dan tinggal di daerah itu selama bertahun-tahun sehingga
ia mengenal daerah pemilihannya secara baik dan dikenal oleh penduduk
setempat karena relasi sosial, bukan relasi ekonomi.
Politisi yang mendasari
kegiatan politiknya melalui politik uang tidak jarang terjerumus dalam
praktik pelanggaran hukum. Setya Novanto, menurut data yang dimiliki Indonesia Corruption Watch, patut
diduga tersangkut dalam berbagai kasus hukum. Beberapa kasus yang tercatat
antara lain kasus hak tagih (cessie)
Bank Bali sebesar Rp 546 miliar saat Indonesia di ambang krisis ekonomi
1997-1998.
Novanto juga dituduh terlibat
dalam penyelundupan beras Vietnam sebanyak 60.000 ton pada 2010 yang
merugikan pendapatan pajak negara. Ia juga dituduh terlibat korupsi pembuatan
KTP elektronik senilai Rp 6 triliun oleh mantan Bendahara Partai Demokrat
Muhammad Nazaruddin. Novanto juga dituduh menerima uang Rp 9 miliar terkait
pembangunan prasarana olahraga untuk PON Riau. Namun, ia selalu lolos dari
jeratan hukum kasus-kasus korupsi tersebut.
Dalam dua pekan terakhir ini,
Novanto lagi-lagi diberitakan tersandung kasus Freeportgate atau dalam topik hangat para netizen dikenal dengan istilah keren
"Papa Minta Saham". Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Sudirman Said yang melaporkan kasus Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan
(MKD), paling tidak ada tiga pertemuan antara Novanto yang didampingi
pengusaha Muhammad Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia
Maroef Sjamsoeddin.
Pada pertemuan terakhir,
Novanto mengatasnamakan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla
meminta saham kosong 11 persen untuk Presiden dan 9 persen untuk Wapres. Ia
juga meminta 49 persen saham perusahaan listrik Urumuga di Timika yang akan
dibangun PT Freeport Indonesia.
Hal yang menarik, MKD bukannya
mendalami substansi kasus ini, melainkan malah akan melaporkan Sudirman Said
ke Badan Reserse Kriminal Polri karena melanggar kesepakatan untuk tidak
menyebarluaskan kasus ini ke publik. Lebih menarik lagi, Novanto malah balik
menuduh bahwa justru Sudirman Said-lah yang membawa-bawa nama Presiden dan
Wapres saat melaporkan dirinya ke MKD.
Padahal, menurut Novanto yang
mengutip pernyataan Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, Presiden Jokowi
tidak menyetujui kasus ini dibawa ke ranah MKD, sesuatu yang kemudian
dibantah Wapres Jusuf Kalla yang menyatakan bahwa Presiden tahu dan marah
atas pencatutan namanya oleh Novanto. Novanto juga marah karena pertemuannya
direkam. Ia lupa bahwa Maroef pernah menjadi Wakil Kepala Badan Intelijen
Negara yang insting intelijennya tentunya masih amat kuat.
Jalan tiada ujung?
Akankah Setya Novanto lolos
dari jeratan hukum kasus Freeportgate? Kita sulit
untuk menjawabnya. Jika kita lihat pernyataan dukungan dari para wakil ketua
DPR seperti Fadli Zon dan Fahri Hamzah, dan juga dukungan dari para tokoh
Koalisi Merah Putih (KMP) yang kini dipelesetkan menjadi Koalisi Minta Persen
hasil pertemuan di rumah Prabowo Subianto pada hari Jumat, 20 November 2015,
ditambah lagi susunan anggota di MKD yang lebih banyak berasal dari KMP,
bukan mustahil Novanto akan melenggang tenang dari jeratan tuduhan melanggar
etika DPR.
Namun, tidak sedikit anggota
DPR dari dua kubu (partai-partai pendukung pemerintah dan KMP) yang masih
memiliki etika dan rasionalitas yang tinggi. Di mata mereka, salah tetap
salah dan harus mendapatkan sanksi atau bahkan ganjaran hukum. Novanto tidak
hanya harus mundur dari jabatan Ketua DPR, tetapi juga harus berhadapan
dengan hukum karena mencatut nama Presiden dan Wapres untuk kepentingan
pribadinya.
Ini kasus KKN. Rakyat juga
mendesak agar sidang-sidang MKD dilakukan secara terbuka agar ada
transparansi politik dan rakyat akan tahu apakah MKD fair ataukah MKD
main-main. Permintaan saham yang mengatasnamakan Presiden dan Wakil Presiden
memang ada walau dilakukan melalui negosiasi bisnis yang amat santai, tetapi
tidak masuk kategori, mengutip Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, "petty talk"
(obrolan biasa).
Kebenaran harus ditegakkan.
Jika tidak, nama baik Presiden dan Wapres akan tercemar. Tak cuma itu, rakyat
akan tidak lagi memercayai parlemen jika MKD tak melakukan fungsinya secara
benar. Bahkan, negara akan dalam bahaya jika rakyat memandang bahwa, jika
ketua DPR saja bisa mencatut nama Presiden dan Wapres untuk kepentingan
dirinya dan bebas, berarti semua orang dapat melakukan hal serupa dan bebas
demi hukum!
Kita masih menunggu, apakah
masih ada kejujuran yang hakiki di negeri ini? Setya Novanto bisa saja lolos
dari kasus ini. Namun, rakyat, khususnya di daerah pemilihannya, belum tentu
memercayainya lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar