Rekaman dan Permufakatan Jahat
Eddy OS Hiariej ;
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
|
KOMPAS,
08 Desember 2015
Politisi Senayan yang
terindentifikasi sebagai Setya Novanto diduga kuat telah mencatut nama
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mendapatkan saham
PT Freeport Indonesia. Kasus ini sedang disidangkan oleh Majelis Kehormatan
Dewan. Dengan menggunakan logika jungkir balik, beberapa anggota MKD
mempertanyakan legal standing dan
motivasi Sudirman Said untuk mengadukan persoalan tersebut ke MKD.
Hal ini tampaknya
sengaja dipermasalahkan untuk menghindari pokok persoalan yang sebenarnya.
Bahkan, ada pemimpin DPR yang, katanya terhormat, tanpa rasa risi dan malu
mencoba menyederhanakan persoalan dengan mengatakan bahwa substansi
pembicaraan yang telah didengarkan tidak membuktikan apa pun. Pernyataan
demikian memperlihatkan kekuasaan telanjang yang sedang berkolaborasi untuk
melindungi Novanto yang diduga kuat telah melakukan pelanggaran etik, bahkan
terindikasi melakukan pelanggaran hukum.
Bukti rekaman
Hal lain yang
dipersoalkan dalam sidang MKD, apakah rekaman pembicaraan dapat dijadikan bukti
adanya suatu peristiwa hukum? Dalam hukum pembuktian, rekaman pembicaraan
adalah real evidence atau physical evidence yang menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal sebagai barang bukti. Masih
menurut KUHAP, pada dasarnya barang bukti adalah benda yang digunakan untuk
melakukan suatu tindak pidana atau benda yang diperoleh dari suatu tindak
pidana atau benda yang menunjukkan telah terjadinya suatu tindak pidana.
Dengan demikian, rekaman pembicaraan dapat dijadikan bukti sebagai barang
yang menunjukkan telah terjadi suatu tindak pidana.
Persoalan lebih
lanjut, apakah rekaman pembicaraan merupakan bukti yang sah dalam hukum acara
pidana? Pertanyaan ini berkaitan dengan salah satu parameter hukum pembuktian
pidana yang dikenal dengan bewijsvoering.
Secara harfiah bewijsvoering
berarti penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim
di pengadilan.
Bagi negara-negara
yang cenderung menggunakan due process
of law dalam sistem peradilan pidananya, perihal bewijsvoering ini cukup mendapatkan perhatian. Dalam due process of law, negara begitu
menjunjung tinggi hak asasi manusia (hak-hak tersangka) sehingga acap kali
seorang tersangka dibebaskan oleh pengadilan dalam pemeriksaan praperadilan
lantaran alat bukti diperoleh dengan cara yang tidak sah atau yang disebut
dengan istilah unlawful legal evidence.
Bewijsvoering ini semata-mata
menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formalistis. Konsekuensi
selanjutnya, sering kali mengesampingkan kebenaran dan fakta yang ada.
Sayangnya, KUHAP yang
kita miliki dan masih sah berlaku sebagai hukum positif lebih cenderung pada crime control model yang tidak
menitikberatkan pada perlindungan hak-hak tersangka atau terdakwa. Demikian
pula masalah bewijsvoering, tidak diatur dalam KUHAP. Banyak ketentuan di
dalam KUHAP yang bersifat lex
imperfecta, yang berarti adanya kewajiban menurut hukum, tetapi tidak ada
konsekuensi jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan.
Jika merujuk pada
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) ataupun
Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), ketentuan perihal bewijsvoering ini juga tidak diatur.
Konsekuensi lebih lanjut, perolehan bukti secara ilegal, kendati secara
teoretis dapat mengesampingkan perkara, tetapi menurut KUHAP, UU PTPK ataupun
UU KPK tidaklah menggugurkan pokok perkara.
Dalam praktik
pengadilan, bukti rekaman diterima sebagai real evidence atau physical
evidence. Masih segar dalam ingatan kita rekaman video porno yang menjerat
seorang vokalis band ternama di Tanah Air yang dihukum oleh pengadilan dan
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Para pelaku tidak pernah mengakui
adanya adegan dalam rekaman video tersebut, bahkan tidak ada saksi yang
melihat adegan tersebut selain para pelaku. Akan tetapi, dengan menggunakan
keterangan ahli telematika untuk memastikan bahwa video itu asli dan bukan
rekayasa, sudah memperkuat keyakinan hakim untuk menjatuhkan pidana
berdasarkan real evidence atau physical evidence yang hanya berupa
rekaman. Dengan demikian, sah tidaknya rekaman sebagai bukti tidak perlu
diperdebatkan lagi.
Permufakatan jahat
Selanjutnya, apakah
substansi pembicaraan yang ada dalam rekaman tersebut dapat dikualifikasikan
sebagai permufakatan jahat sebagaimana yang dinyatakan oleh Jaksa Agung HM
Prasetyo? Dalam hukum pidana, permufakatan jahat atau samenspanning atau conspiracy
bukanlah perbuatan permulaan pelaksanaan (begin
van uitvoeringshandelingen) sebagaimana dimaksud dalam delik percobaan.
Permufakatan jahat
barulah perbuatan persiapan (voorbereidingshandelingen).
Jerome Hall dalam General Principles of
Criminal Law menyatakan bahwa tidaklah mungkin memisahkan secara obyektif
antara perbuatan persiapan dan perbuatan permulaan pelaksanaan. Demikian pula
Moeljatno yang menyatakan bahwa dalam praktik, perbuatan persiapan dan
perbuatan permulaan pelaksanaan tidak ada perbedaan secara materiil.
Tegasnya, perbuatan persiapan adalah mengumpulkan kekuatan, sedangkan
perbuatan permulaan pelaksanaan mulai melepaskan kekuatan yang telah
dikumpulkan. Masih dalam teori hukum pidana, baik permufakatan jahat maupun
percobaan adalah tatbestand-ausdehnungsgrund atau dasar memperluas dapat
dipidananya perbuatan.
Berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), permufakatan jahat yang dijatuhi pidana
adalah apabila berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara atau
makar, baik terhadap presiden-wakil presiden, pemerintahan yang sah, maupun
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kembali kepada kasus pencatutan nama yang
diduga keras dilakukan Setya Novanto, apakah sudah termasuk dalam
permufakatan jahat ataukah percobaan, ada beberapa catatan.
Pertama, Pasal 15 UU
PTPK secara tegas menyatakan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat
untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama.
Kedua, substansi
pembicaraan diduga keras mengarah pada permufakatan jahat atau percobaan
untuk melakukan tindak pidana korupsi berupa penyuapan pasif atau pemerasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 12 UU PTPK.
Ketiga, untuk
mengetahui ada-tidaknya permufakatan jahat atau percobaan, rekaman
pembicaraan harus digali lebih mendalam, khususnya inisiatif pertemuan
dilakukan oleh siapa. Hal ini untuk menentukan adanya voornemen atau niat
dari inisiator pertemuan termasuk motif di balik pertemuan tersebut.
Keempat, jika merujuk
pada Pasal 88 KUHP yang mendefinisikan permufakatan jahat, apabila dua orang
atau lebih telah bersepakat untuk melakukan kejahatan, maka perlu ditelaah
apakah ada meeting of mind dari para pelaku dalam pertemuan tersebut. Meeting of mind dalam permufakatan
jahat sama dengan kesepakatan dalam delik penyertaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 KUHP. Hanya saja, dalam delik penyertaan harus ada kualifikasi lebih lanjut para
pelaku peserta, apakah sebagai turut serta melakukan, sebagai yang
menyuruhlakukan, ataukah sebagai yang menggerakkan atau yang membujuk.
Oleh karena itu, dalam
konteks permufakatan jahat untuk melakukan penyuapan atau pemerasan, meeting of mind dari dua orang atau lebih
tidaklah berarti harus ada kesepakatan antara yang menyuap dan yang disuap
atau antara yang memeras dan yang diperas, tetapi cukup adanya kesepakatan
dua orang atau lebih untuk meminta sesuatu atau memeras tanpa harus ada
persetujuan dari yang akan menyuap atau yang akan diperas.
Selain itu, adanya
meeting of mind tidak perlu dengan kata-kata yang menandakan persetujuan
secara eksplisit, tetapi cukup dengan bahasa tubuh atau kalimat-kalimat yang
secara tidak langsung menandakan adanya kesepakatan. Dalam konteks teori, hal
ini dikenal dengan istilah sukzessive
mittaterschaft yang berarti adanya keikutsertaan dalam suatu kejahatan
termasuk permufakatan jahat dapat juga dilakukan secara diam-diam. Dengan
demikian, pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo, bahwa substansi pembicaraan
memiliki indikasi adanya permufakatan jahat, kiranya tidak sebatas wacana,
tetapi dapat ditindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan terhadap para
pihak yang terlibat dalam pertemuan tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar