Kamis, 10 Desember 2015

Rekaman dan Permufakatan Jahat

Rekaman dan Permufakatan Jahat

Eddy OS Hiariej ;  Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
                                                      KOMPAS, 08 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Politisi Senayan yang terindentifikasi sebagai Setya Novanto diduga kuat telah mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mendapatkan saham PT Freeport Indonesia. Kasus ini sedang disidangkan oleh Majelis Kehormatan Dewan. Dengan menggunakan logika jungkir balik, beberapa anggota MKD mempertanyakan legal standing dan motivasi Sudirman Said untuk mengadukan persoalan tersebut ke MKD.

Hal ini tampaknya sengaja dipermasalahkan untuk menghindari pokok persoalan yang sebenarnya. Bahkan, ada pemimpin DPR yang, katanya terhormat, tanpa rasa risi dan malu mencoba menyederhanakan persoalan dengan mengatakan bahwa substansi pembicaraan yang telah didengarkan tidak membuktikan apa pun. Pernyataan demikian memperlihatkan kekuasaan telanjang yang sedang berkolaborasi untuk melindungi Novanto yang diduga kuat telah melakukan pelanggaran etik, bahkan terindikasi melakukan pelanggaran hukum.

Bukti rekaman

Hal lain yang dipersoalkan dalam sidang MKD, apakah rekaman pembicaraan dapat dijadikan bukti adanya suatu peristiwa hukum? Dalam hukum pembuktian, rekaman pembicaraan adalah real evidence atau physical evidence yang menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dikenal sebagai barang bukti. Masih menurut KUHAP, pada dasarnya barang bukti adalah benda yang digunakan untuk melakukan suatu tindak pidana atau benda yang diperoleh dari suatu tindak pidana atau benda yang menunjukkan telah terjadinya suatu tindak pidana. Dengan demikian, rekaman pembicaraan dapat dijadikan bukti sebagai barang yang menunjukkan telah terjadi suatu tindak pidana.

Persoalan lebih lanjut, apakah rekaman pembicaraan merupakan bukti yang sah dalam hukum acara pidana? Pertanyaan ini berkaitan dengan salah satu parameter hukum pembuktian pidana yang dikenal dengan bewijsvoering. Secara harfiah bewijsvoering berarti penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan.

Bagi negara-negara yang cenderung menggunakan due process of law dalam sistem peradilan pidananya, perihal bewijsvoering ini cukup mendapatkan perhatian. Dalam due process of law, negara begitu menjunjung tinggi hak asasi manusia (hak-hak tersangka) sehingga acap kali seorang tersangka dibebaskan oleh pengadilan dalam pemeriksaan praperadilan lantaran alat bukti diperoleh dengan cara yang tidak sah atau yang disebut dengan istilah unlawful legal evidence. Bewijsvoering ini semata-mata menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formalistis. Konsekuensi selanjutnya, sering kali mengesampingkan kebenaran dan fakta yang ada.

Sayangnya, KUHAP yang kita miliki dan masih sah berlaku sebagai hukum positif lebih cenderung pada crime control model yang tidak menitikberatkan pada perlindungan hak-hak tersangka atau terdakwa. Demikian pula masalah bewijsvoering, tidak diatur dalam KUHAP. Banyak ketentuan di dalam KUHAP yang bersifat lex imperfecta, yang berarti adanya kewajiban menurut hukum, tetapi tidak ada konsekuensi jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan.

Jika merujuk pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) ataupun Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), ketentuan perihal bewijsvoering ini juga tidak diatur. Konsekuensi lebih lanjut, perolehan bukti secara ilegal, kendati secara teoretis dapat mengesampingkan perkara, tetapi menurut KUHAP, UU PTPK ataupun UU KPK tidaklah menggugurkan pokok perkara.

Dalam praktik pengadilan, bukti rekaman diterima sebagai real evidence atau physical evidence. Masih segar dalam ingatan kita rekaman video porno yang menjerat seorang vokalis band ternama di Tanah Air yang dihukum oleh pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Para pelaku tidak pernah mengakui adanya adegan dalam rekaman video tersebut, bahkan tidak ada saksi yang melihat adegan tersebut selain para pelaku. Akan tetapi, dengan menggunakan keterangan ahli telematika untuk memastikan bahwa video itu asli dan bukan rekayasa, sudah memperkuat keyakinan hakim untuk menjatuhkan pidana berdasarkan real evidence atau physical evidence yang hanya berupa rekaman. Dengan demikian, sah tidaknya rekaman sebagai bukti tidak perlu diperdebatkan lagi.

Permufakatan jahat

Selanjutnya, apakah substansi pembicaraan yang ada dalam rekaman tersebut dapat dikualifikasikan sebagai permufakatan jahat sebagaimana yang dinyatakan oleh Jaksa Agung HM Prasetyo? Dalam hukum pidana, permufakatan jahat atau samenspanning atau conspiracy bukanlah perbuatan permulaan pelaksanaan (begin van uitvoeringshandelingen) sebagaimana dimaksud dalam delik percobaan.

Permufakatan jahat barulah perbuatan persiapan (voorbereidingshandelingen). Jerome Hall dalam General Principles of Criminal Law menyatakan bahwa tidaklah mungkin memisahkan secara obyektif antara perbuatan persiapan dan perbuatan permulaan pelaksanaan. Demikian pula Moeljatno yang menyatakan bahwa dalam praktik, perbuatan persiapan dan perbuatan permulaan pelaksanaan tidak ada perbedaan secara materiil. Tegasnya, perbuatan persiapan adalah mengumpulkan kekuatan, sedangkan perbuatan permulaan pelaksanaan mulai melepaskan kekuatan yang telah dikumpulkan. Masih dalam teori hukum pidana, baik permufakatan jahat maupun percobaan adalah tatbestand-ausdehnungsgrund atau dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan.

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), permufakatan jahat yang dijatuhi pidana adalah apabila berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara atau makar, baik terhadap presiden-wakil presiden, pemerintahan yang sah, maupun Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kembali kepada kasus pencatutan nama yang diduga keras dilakukan Setya Novanto, apakah sudah termasuk dalam permufakatan jahat ataukah percobaan, ada beberapa catatan.

Pertama, Pasal 15 UU PTPK secara tegas menyatakan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama.

Kedua, substansi pembicaraan diduga keras mengarah pada permufakatan jahat atau percobaan untuk melakukan tindak pidana korupsi berupa penyuapan pasif atau pemerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 12 UU PTPK.

Ketiga, untuk mengetahui ada-tidaknya permufakatan jahat atau percobaan, rekaman pembicaraan harus digali lebih mendalam, khususnya inisiatif pertemuan dilakukan oleh siapa. Hal ini untuk menentukan adanya voornemen atau niat dari inisiator pertemuan termasuk motif di balik pertemuan tersebut.

Keempat, jika merujuk pada Pasal 88 KUHP yang mendefinisikan permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah bersepakat untuk melakukan kejahatan, maka perlu ditelaah apakah ada meeting of mind dari para pelaku dalam pertemuan tersebut. Meeting of mind dalam permufakatan jahat sama dengan kesepakatan dalam delik penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 KUHP. Hanya saja, dalam delik penyertaan  harus ada kualifikasi lebih lanjut para pelaku peserta, apakah sebagai turut serta melakukan, sebagai yang menyuruhlakukan, ataukah sebagai yang menggerakkan atau yang membujuk.

Oleh karena itu, dalam konteks permufakatan jahat untuk melakukan penyuapan atau pemerasan,  meeting of mind dari dua orang atau lebih tidaklah berarti harus ada kesepakatan antara yang menyuap dan yang disuap atau antara yang memeras dan yang diperas, tetapi cukup adanya kesepakatan dua orang atau lebih untuk meminta sesuatu atau memeras tanpa harus ada persetujuan dari yang akan menyuap atau yang akan diperas.

Selain itu, adanya meeting of mind tidak perlu dengan kata-kata yang menandakan persetujuan secara eksplisit, tetapi cukup dengan bahasa tubuh atau kalimat-kalimat yang secara tidak langsung menandakan adanya kesepakatan. Dalam konteks teori, hal ini dikenal dengan istilah sukzessive mittaterschaft yang berarti adanya keikutsertaan dalam suatu kejahatan termasuk permufakatan jahat dapat juga dilakukan secara diam-diam. Dengan demikian, pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo, bahwa substansi pembicaraan memiliki indikasi adanya permufakatan jahat, kiranya tidak sebatas wacana, tetapi dapat ditindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan terhadap para pihak yang terlibat dalam pertemuan tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar