Kamis, 10 Desember 2015

Format Baru 2+2 bagi Keamanan Asia

Format Baru 2+2 bagi Keamanan Asia

Rene L Pattiradjawane  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                      KOMPAS, 09 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Rencana pertemuan Indonesia-Jepang dalam format 2+2—antara masing-masing menteri luar negeri dan menteri pertahanan—pada 17 Desember memberikan peluang bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo membentuk mekanisme arsitektur keamanan yang baru di kawasan Asia-Pasifik. Pertemuan RI-Jepang 2+2 adalah yang pertama dalam format ini antara negara anggota ASEAN dan Jepang.

Selama ini, Jepang memiliki forum 2+2 pertemuan keamanan dengan lima negara, yakni Amerika Serikat, Australia, Rusia, Perancis, dan Inggris. Indonesia akan menjadi mitra 2+2 Jepang yang keenam. Hal ini menarik karena yang dipilih Tokyo adalah RI, bukan Korea Selatan atau Tiongkok, dalam menghadapi perubahan dinamika keamanan di kawasan Asia.

Selama ini, Asia-Pasifik memiliki beragam bentuk jaringan kerja sama yang luas. Tidak hanya menyangkut keamanan, tetapi juga ekonomi dan perdagangan. Kehadiran mekanisme kerja sama seperti Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur (EAS), Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), ataupun Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) menjadi pelengkap penting keberadaan ASEAN beserta mitra dialognya (ASEAN+), Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), ataupun Forum Regional ASEAN (ARF).

Namun, perlu ditekankan bahwa dialog 2+2 RI-Jepang ini harus didasarkan pada prinsip-prinsip nonblok dan harus dipisahkan dari persoalan keamanan regional secara menyeluruh. Kita tidak ingin terjebak dalam mekanisme aliansi, ketika perseteruan AS-Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Selatan mencapai titik panas. Juga saat rivalitas kedua negara raksasa ini ingin memperkokoh kepentingan intinya di kawasan yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia.

Bisa dipahami, masalah politik dan isu keamanan kawasan perlu diberi perhatian khusus karena dinamika yang sangat cepat. Khususnya perubahan eksistensi kekuatan di wilayah klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut Tiongkok Selatan serta meningkatnya radikalisasi dalam bentuk ekstremnya ekstremisme melalui ancaman terorisme yang tidak terduga.

Dalam pertemuan RI-Jepang 2+2 setidaknya ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan. Pertama, mekanisme kerja sama keamanan di kawasan Asia Tenggara menghadapi perubahan situasi akibat memanasnya kawasan Laut Tiongkok Selatan. Tidak bisa terpaku hanya dalam persaingan AS-Tiongkok tentang proyeksi kepentingan nasional mereka melalui penggelaran kekuatan militer.

Kedua, perlu diingat, mekanisme format 2+2 Indonesia-Jepang merupakan reaksi atas berbagai stagnasi dalam berbagai mekanisme kerja sama keamanan di kawasan. Khususnya ADMM-Plus (pertemuan menhan anggota ASEAN dan delapan menhan mitra dialog) yang tak berhasil menghadirkan pernyataan bersama seusai pertemuan di Kuala Lumpur, Malaysia, awal November lalu.

Penyebabnya adalah perdebatan tentang memasukkan isu klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut Tiongkok Selatan yang tidak berhasil mencapai titik temu sebagai pernyataan bersama menteri pertahanan. Ini adalah yang kedua kalinya (yang pertama pada pertemuan menlu ASEAN di Kamboja, 2012), ASEAN tidak berhasil mencapai mufakat dalam persoalan regionalisme.

Kita berharap pertemuan Indonesia-Jepang 2+2 memberikan pilihan baru dalam menata arsitektur kerja sama politik dan pertahanan kawasan bagi kepentingan bersama. Khususnya menghadapi ancaman terorisme dalam bentuk-bentuk yang tidak memiliki preseden. Pembicaraan ini juga diharapkan membahas persoalan apa yang disebut sebagai kebijakan pasifisme aktif yang dijalankan oleh PM Shinzo Abe.

Bagi Indonesia, reformasi sistem pertahanan Jepang dalam pasifisme aktif ini penting, memberikan peluang bagi negara besar Asia, selain Tiongkok, berperan aktif dalam menata dan mengelola arsitektur pertahanan bersama. Harus dipastikan bahwa kebijakan ini memang secara alamiah memuat nuansa perdamaian, menyelesaikan berbagai persoalan secara damai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar