Teka-Teki
di Balik Sikap Presiden
Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum dan
Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
|
KORAN
SINDO, 21 Februari 2015
Akhirnya Presiden Joko Widodo bersikap, tidak melantik
Budi Gunawan menjadi kepala Polri, disertai pengajuan calon kepala Polri
lain, dan perombakan komisioner KPK. Sikap demikian diprediksi tidak akan
menuntaskan konflik Polri versus KPK dan mampu meningkatkan kualitas
penyelenggaraan negara hukum.
Berbagai indikator menunjukkan bahwa konflik akan terus
berkelanjutan. Mungkin dalam intensitas dan atmosfer yang semakin serius dan
panas, setiap komponen bangsa wajib terus waspada. Dalam terminologi akademis,
sikap Presiden tersebut mencerminkan pandangannya tentang konsep bernegara
hukum, bahwa: (1) Hukum dipandang sebagai entitas yang terpisah dari politik,
dan masingmasing berdiri sendiri. (2) Penegakan hukum ditumpukan kepada hukum
positif, akan tetapi mengesampingkan aspirasi sosial, sehingga legalitas
dipandang penting, sementara legitimitas dikesampingkan. (3) Moralitas
berbangsa dipisahkan dari praktik penyelenggaraan negara hukum. Tampaknya
sebagian besar politikus dan penegak hukum di negeri ini memiliki pandangan
serupa dan mengamini sikap Presiden tersebut.
Berbeda halnya bagi publik, khususnya orang awam hukum dan
praktik politik, terasa adanya kejanggalan dengan sikap dan pandangan
tersebut. Moralitas justru dipandang amat penting dan mendasar, sebagai
sumber dan dasar penyelenggaraan negara hukum. Sebagaimana ajaran hukum
klasik bahwa apa yang disebut hukum adalah norma moral sosial, dan apa yang
disebut keadilan dapat diwujudkan tanpa hukum positif.
Bila Presiden, politikus, dan penegak hukum tidak mampu
memperkaya ilmu hukum secara utuh dan memadukannya dengan nilai-nilai moral
Pancasila untuk penyelenggaraan negara hukum, sangat dikhawatirkan jurang
pemisah antara penyelenggara negara dan rakyat semakin lebar, dan citacita
bernegara pun semakin jauh dari harapan.
Bagi publik, sungguh kecewa mengapa terus berlangsungnya
kriminalisasi terhadap KPK dan penggiat antikorupsi, sementara Presiden tidak
berbuat apa pun untuk menghentikannya? Publik mendukung sikap Presiden tidak
melantik calon kepala Polri bermasalah, tetapi publik mengecam sikap Presiden
tidak melakukan pembelaan dan penguatan terhadap KPK.
Publik bertanya, mengapa posisi dan peran Joko Widodo
sebagai petugas partai begitu menonjol, sementara posisi dan peran sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan begitu lemah? Mengapa pula, wawasan
kebangsaan Presiden terbelokkan menjadi wawasan politik? Pertanyaan senada
tertuju kepada politisi, apa motif politik fraksi-fraksi di DPR, terkait
dengan persetujuan ataupun penolakan calon kepala Polri yang diajukan
Presiden?
Sungguh amat disayangkan bila manuver politik hanya demi
kepentingan partai, dalam rangka bargaining APBN, kalkulasi anggaran yang
diperoleh, ujungujungnya duit, tetapi melalaikan kepentingan bangsa. Aneh dan
terasa konyol ketika sikap Presiden bergantung pada vonis seorang hakim
praperadilan dalam memutuskan persoalan negara yang sedemikian strategis.
Benarkah hakim praperadilan netral, mampu menjaga
moralitas dan profesionalitas, imun dari tekanan politik dan teror? Rakyat
sangat khawatir mengenai hal ini, jangan-jangan vonis kontroversial, lahir
dari skenario terstruktur, sistematis, dan masif? Komisi Yudisial hendaknya
mampu mengungkap tuntas mengenai dimensi etika dan moralitas hakim
praperadilan tersebut. Begitu banyak teka-teki di balik sikap Presiden.
Sekadar berbagi
pemikiran, ketika ujian demi ujian terkait dengan konflik Polri versus KPK,
terbukti belum mampu menjadikan bangsa ini semakin dewasa dalam ber-negara
hukum, maka perlu dicari akar masalahnya. Konflik Polri versus KPK dapat
dianalogikan sebagai benalu pada dahan atau ranting, sementara kanker pada
pohon dan akar tidak disentuh untuk diobati.
Dapat pula dianalogikan, konflik Polri versus KPK hanya
persoalan atap bocor, sementara fondasi dan pilarpilar rumah begitu rapuh,
lupa dibenahi. Tanpa perbaikan menyeluruh sistem kenegaraan, apa pun
keputusan Presiden, diprediksi tidak berpengaruh signifikan terhadap
perbaikan negara hukum.
Dalam perspektif akademik, salah satu sebab kegagalan
bernegara hukum karena keterjebakan penyelenggara negara pada legalisme
liberal. Apa itu? Paham yang meyakini bahwa keadilan, ketertiban, keteraturan
dalam bernegara hukum dapat dilayani melalui pembuatan dan penyelenggaraan
sistem peraturan dan prosedur yang objektif (detached), independen, impersonal, dan otonom (Nonet dan Selznick, 1978).
Padahal, konsep legalisme liberal yang berakar pada budaya
Eropa barat dan cenderung individual-imperialistik itu, tidak match (cocok)
dengan sistem hukum yang berakar pada nilai-nilai Pancasila, seperti
keharmonisan, kekeluargaan, gotong-royong, komunalistik religius. Kita
insyaf, bahwa di era globalisasi terjadi pertukaran antarbangsa mengenai
konsep bernegara hukum.
Dalam konteks demikian, ada kecenderungan penyelenggara
negara mempelajari konsep legalisme liberal dan berusaha mempraktikannya di
negeri sendiri. Akan tetapi, amat disayangkan terjadi kesalahan fatal dalam
pembelajaran tersebut. Budaya Barat, yang oleh sosiolog Belanda Bart van
Steenbergen (1953) dikatakan memiliki kecenderungan memandang realitas secara
dikotomis,
parsialistis, dan berpotensi memecah belah kesatuan dan
persatuan, ternyata di-copy-paste dan dipraktikan dalam bernegara hukum di
negeri ini, sehingga melahirkan DPR tandingan, perseteruan antarkoalisi
partai, Polri versus KPK, dan sebagainya. Bangsa terpecahbelah. Di Amerika
Serikat, sejarawan Grant Gilmore (1977) banyak menggunakan ungkapan-ungkapan
yang menunjukkan otoritas dan kekhasan Amerika dalam bernegara hukum,
seperti: American concept, American
doctrines, American approach, etc.
Amerika berani melakukan terobosan terhadap doktrin Trias Politica. Amerika berkembang
seperti sekarang itu ternyata sangat disokong peran menonjol pengadilan,
khususnya Supreme Court, antara
lain berani intervensi ke wilayah eksekutif melalui putusan-putusan yang
berwawasan kebangsaan.
Mengapa di Indonesia justru hukum (pengadilan) dikooptasi
politik? Penyelesaian konflik Polri versus KPK dan pembenahan sistem
bernegara hukum mestinya dilakukan segera secara holistis, mempertimbangkan
aspek hukum, politik, sosial, dan moral kebangsaan secara utuh, dalam bingkai
dan berdasarkan Pancasila. Wallahu alam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar