Masalah Eksekusi Hukuman Mati
Frans H Winarta ; Ketua Umum PERADIN dan Dosen Fakultas Hukum
UPH
|
KORAN
SINDO, 27 Februari 2015
Beberapa
waktu belakangan ini mencuat berita di media mengenai vonis hukuman mati yang
dijatuhkan kepada puluhan terpidana narkoba di Indonesia serta penolakan
grasi oleh Presiden Joko Widodo.
Maksud
Presiden Joko Widodo menolak permintaan grasi dari 64 terpidana narkoba
tersebut telah menimbulkan reaksi dari beberapa negara. Pemerintah Belanda
dan Brasil menarik duta besarnya, pemerintah Australia mendesak Pemerintah
Indonesia untuk mengurungkan eksekusi hukuman mati atas warga negara
Australia Myuran Sukumaran dan Andrew Chan.
Tidak
kurang, Sekjen PBB Ban Ki Moon juga meminta pemerintah Indonesia untuk
mengurungkan niatnya itu. Memang sebagai negara berdaulat Indonesia dapat
saja mengeksekusi para terpidana narkoba sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, namun perlu diperhatikan, penolakan grasi secara massal
tersebut adalah tidak lazim karena permohonan grasi dari masing-masing
terpidana tentunya diajukan dengan alasan- alasan yang berlainan satu sama
lain.
Ada
terpidana yang mengajukan permohonan grasi karena merasa bersalah dan
menyesali perbuatannya, yang kemudian disusul dengan berkelakuan baik dan
sadar selama masa tahanan dan rehabilitasi. Apakah terpidana seperti itu
pantas untuk dihukum mati. Tentunya rakyat Indonesia paham bahwa alasan
Presiden Joko Widodo mengambil sikap tegas ini agar tercipta efek jera kepada
pelaku dan calon pelaku yang mengedarkan dan membuat narkoba perlu
dipertimbangkan kembali secara hatihati.
Itu
juga merupakan penjelasan atas hukuman mati selektif yang dianut Indonesia,
di mana hukuman mati harus dilaksanakan secara selektif dan hati-hati serta
dipertimbangkan dengan matang. Menolak permohonan grasi secara pukul rata
dengan tidak melihat dan mempertimbangkan secara seksama alasan permohonan
grasi masing-masing terpidana narkoba dapat berakibat fatal.
Kita
semua tahu bahwa lembaga peradilan kita belum independen dan imparsial. Masih
dipengaruhi faktor ekonomi dan politik. Korupsi yudisial (judicial coruption) masih marak dan
kualitas putusan pengadilan masih diragukan dan sering menyebabkan
kontroversi atau ketidakadilan.
Berbagai
akibat dari kebijakan menyamaratakan permohonan grasi untuk ditolak dapat
membahayakan integritas dan kepercayaan publik akan politik hukum ini, karena
bisa saja terjadi salah tangkap atau salah tuntut. Belum lagi salah bukti
sehingga orang yang tidak bersalah dihukum mati. Kalau terpidana telah
dieksekusi kemudian ternyata ada ”error
in persona” Maka terpidana yang sudah dieksekusi tidak dapat diperbaiki
hukumannya dan dibebaskan lagi.
Di
negara adidaya seperti Amerika Serikat pernah terjadi si terpidana sudah
dihukum mati kemudian ada seseorang yang mengakui melakukan pembunuhan itu.
Nyawa seseorang menjadi taruhannya. Tentunya ini merupakan kejadian yang
dramatis dari segi kemanusiaan. Sudah terlambat itulah jawabannya dan memang
kebenaran dan keadilan itu tidak ada yang absolut.
Ini
bergantung bagaimana keyakinan hakim yang menjatuhkan vonis. Itulah sebabnya
presiden harus meminta pendapat Mahkamah Agung RI untuk menerima atau menolak
permohonan grasi terpidana secara individual dan bukan massal sebagai mana
bunyi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (UU Grasi)
yaitu sebagai berikut: ”Pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang
diberikan oleh presiden”.
Begitupun
dalam Pasal 2 ayat (1) UU Grasi yang berbunyi sebagai berikut: ”Terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana
dapat mengajukan permohonan grasi kepada presiden”. Dapat dilihat secara
nyata dalam sebuah kasus bahwa saat ini ada seseorang terpidana mati berasal
dari Nigeria yang dipenjara di lembaga pema-syarakatan Surabaya dengan vonis
hukuman mati.
Dia
bukanlah residivis seperti nama yang tertera dalam paspor palsunya bernama
Titus Ani. Namun, jaringan narkoba internasional telah menjebaknya
seolah-olah dia adalah seorang residivis narkoba internasional. Padahal, dia
hanyalah seorang kurir yang baru pertama kali membawa 396,6 gram narkoba
golongan 1 (metamfetamine) ke Indonesia.
Perikemanusiaan yang Beradab
Apa
yang diinginkan penegak hukum di Indonesia terhadap seseorang yang telah
menjalani hukuman 10 tahun lebih, kemudian dieksekusi hukuman mati? Ini
menimbulkan kebijakan yang dapat dikategorikan sebagai standar ganda karena
hukumannya menjadi berlipat. Lambannya proses peradilan di Indonesia tidak
dapat diletakkan di bahu terpidana.
Mulai
dari proses peradilan di tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi,
mahkamah agung, sampai dengan peninjauan kembali dapat saja memakan waktu
lebih dari 5 tahun sampai 10 tahun. Perlakuan seperti ini dapat menimbulkan
pertanyaan: Sebenarnya kebijakan apa yang dianut di Indonesia sehingga
menerapkan politik hukum yang tidak sesuai dengan segi perikemanusiaan jika
dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia.
Hukuman
mati telah menimbulkan kontroversi berkepanjangan. Apakah hukuman mati masih
perlu dianut oleh Indonesia atau tidak. Apalagi, mengingat bunyi Pasal 28 A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan sebagai
berikut: ”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya”.
Begitupun
dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(”UU HAM”) yang berbunyi sebagai berikut: ”(1) Setiap orang berhak untuk
hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya; (2) Setiap
orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin;
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Banyak
pro dan kontra akan penjatuhan vonis hukuman mati.
Jika
alasannya adalah untuk menciptakan efek jera, maka statistik di banyak negara
menunjukkan sebaliknya. Banyak negara yang telah menerapkan hukuman mati
sejak dahulu namun angka kejahatan di negara tersebut tetap saja tumbuh dan
tidak berkurang. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat masih menerapkan
hukuman mati tetapi angka kejahatan tetap bertambah termasuk kejahatan
narkoba (drugs trafficking).
Implikasi Kebijakan Diplomasi
Ganda
Salah
satu implikasi yang pernah kita alami adalah ketika terjadi kasus pembunuhan
Munir di tahun 2004 di dalam pesawat menuju Amsterdam, Pemerintah Indonesia
meminta hasil otopsi jenazah Munir, namun Kementerian Hukum Belanda menolak
dengan alasan Indonesia masih mempertahankan hukuman mati dalam sistem hukum
pidana di Indonesia.
Mereka
khawatir dari hasil laboratorium forensik akan dapat diketahui siapa pembunuh
Munir sebenarnya yang pada akhirnya akan dihukum mati sebagai balasan dari
perbuatan yang telah dilakukannya. Inilah salah satu akibat yang ke depan
dapat saja terjadi lagi jika Pemerintah Indonesia tetap mempertahankan
hukuman mati. Pasti akan ada reaksi timbal-balik dalam diplomasi
internasional.
Begitu
pula protes keras Indonesia terhadap vonis hukuman mati atas WNI di Malaysia,
Saudi Arabia, dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Tetapi, Indonesia
sendiri juga menerapkan hukuman mati kepada WNA dari negara yang tidak
menerapkan hukuman mati seperti Australia dan Belanda.
Selain
itu, sewaktu Hendra Rahardja dijadikan tersangka akan diekstradisi dari
Australia ke Indonesia, permohonan ekstradisi tadi ditolak oleh Pemerintah
Australia karena pemerintah Indonesia dianggap menerapkan sistem hukum yang
diskriminatif terhadap minoritas Tionghoa. Juga pemerintah Singapura pernah
menolak ekstradisi Nursalim debitur BLBI karena yang bersangkutan belum
diputus bersalah oleh pengadilan Indonesia dan belum pernah dinyatakan
sebagai tersangka.
Hal-hal
inilah yang perlu mendapatkan perhatian pemerintahan Joko Widodo jika kita
ingin dilihat konsisten dalam politik hukum di dalam pergaulan dunia
internasional. Jika kita tidak ingin didiskiriminasi oleh dunia
internasional, janganlah menerapkan hukum yang diskriminatif terhadap negara
lain. Permohonan Sekjen PBB Ban Ki Moon dan Perdana Menteri Tony Abbott
terhadap Indonesia perlu mendapatkan perhatian dan dicarikan win-win solution yang terhormat.
Kiranya
catatan kecil ini dapat memberikan sumbangsih yang berguna bagi politik hukum
di Indonesia selanjutnya. Sehingga, Indonesia dapat menjadi negara berdaulat
yang bermartabat di mata dunia, tanpa harus mengorbankan nyawa manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar