Soal
Daging yang Ibarat Dokter Salah Resep
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 23 Februari 2015
"Ini" tidak pernah dibahas di pusat pengambilan
kebijakan. Saat saya menjadi menteri pun tidak pernah memikirkan yang
"ini". Saya memang tidak tahu bahwa ternyata "ini"-lah
pangkal penyebab mahalnya daging.
Begitu naifnya saya.
Saya ingat, setiap terjadi gejolak harga daging,
pembahasannya selalu sangat ilmiah. Ilmu supply
and demand, ilmu dagang, ilmu hewan, ilmu logistik, serta segala macam
ilmu diperdebatkan.
Kesimpulannya pun sangat ilmiah: Indonesia hanya cocok
untuk penggemukan sapi, tapi tidak cocok untuk pembibitan sapi. Biaya membuat
seekor anak sapi hingga berumur enam bulan sampai Rp 6 juta. Di Australia
hanya Rp 2 juta. Tapi, biaya membesarkan dan menggemukkan sapi di Indonesia
lebih murah.
Maka, logikanya pun ilmiah: beli saja peternakan sapi di
Australia. Khusus untuk pembibitan. Lalu, anak sapi itu dikirim ke Indonesia.
Untuk digemukkan. Jangan impor sapi potong dari Australia. Bisa mematikan
peternak kita.
Maka, penjajakan untuk membeli peternakan sapi di
Australia pun dilakukan. Bahwa usaha ilmiah tersebut gagal, itu karena kurs
rupiah tiba-tiba anjlok. Investasi itu harus dihitung ulang.
Anjloknya rupiah, khusus dalam kasus ini, ternyata
menyenangkan!
Kenapa pembibitan sapi di Australia murah? Sebab, sapi
dilepas di alam bebas! Tidak perlu beli makanan ternak. Yang kian hari kian
mahal itu. Kita tidak punya jutaan hektare lahan seperti itu. Kecuali di NTT.
Khususnya Sumba. Dan sekitarnya.
Tapi, sudah lama NTT tidak lagi jadi andalan pasokan sapi.
Semua tahu itu. Panjang sekali rapat untuk membahas itu. Kesimpulannya ya
yang sangat ilmiah tadi: Tidak ada kapal khusus pengangkut ternak. Maka, tol
laut dan penyediaan kapal akan menjadi solusi.
Ternyata semua itu salah.
Atau benar tapi salah.
"Ini" baru saya ketahui bulan lalu. Saat saya
untuk kali kelima ke Sumba. Bisa mengetahui "ini"-nya pun
kebetulan. Kebetulan ada relawan yang mau jadi sopir saya: Victor Rebo Lewa,
seorang insinyur mesin lulusan ITN Malang. Saya memang sudah jenuh mengemudi
berjam-jam. Sejak dari Tambolaka di ujung barat daya Sumba ke Waingapu di
timur pulau itu. Besoknya ganti Victor Lewa yang jadi sopir. Juga berjam-jam.
Menjelajah berbagai daerah di Sumba. Termasuk melewati padang-padang sabana
yang luas.
"Sopir" ini sungguh asyik. Kakeknya yang
kelahiran Rote termasuk orang paling kaya di Sumba. Termasuk raja sapi. Sang
kakek menginginkan anak laki-lakinya kawin dengan gadis tercantik di desanya.
Juga anak tokoh paling berpengaruh saat itu. Maka, disediakanlah maskawin
yang sepadan: 200 ekor sapi. Perkawinan itulah yang melahirkan Victor.
Di Sumba, saat itu, sapi adalah lambang kekayaan, status
sosial, dan taruhan masa depan generasi penerus. "Saya bisa jadi
insinyur karena sapi," ujar Victor. "Di sini orang memelihara sapi
sebagai tabungan untuk menyekolahkan anak ke universitas," tambahnya.
Semua itu sudah berakhir. "Lihat, Pak," katanya
sambil menunjuk sabana luas yang berbukit hijau. "Tuh, di sana hanya ada
satu ekor sapi," katanya. Mata saya pun mengarah ke seekor sapi di
kejauhan itu. Tapi, hati saya berdebar. Takut dia lengah mengemudikan mobil
di jalan yang berliku-liku itu. "Waktu saya remaja, sabana ini penuh
sapi," kata Victor. "Juga kuda. Kuda Sumba. Kuda sandelwood,”
tambahnya.
Apakah karena tidak ada kapal khusus ternak?
"Ha ha ha," dia tertawa.
Victor ternyata juga mengikuti perdebatan ilmiah di
Jakarta yang membahas merosotnya ternak di NTT.
"Apa yang lucu?" tanya saya.
"Penyebabnya bukan itu," ujar Victor.
"Ini," tambahnya.
Lalu, dia menciptakan suasana tegang. "Sudah lama orang
Sumba takut memelihara sapi," katanya. "Pencurian sapi di sini
sudah masif, sistematis, dan terstruktur," tambahnya. Dia pun terdiam.
Agak lama. Seperti tidak tahu harus memulai ceritanya dari mana. Saking
ruwetnya. "Ambulans pun sudah mulai dipakai angkut daging sapi
curian," tutur dia.
Yang terlibat sangat luas. Rakyat tidak percaya lagi ada
yang bisa mengatasinya. Tidak bupati. Tidak pula polisi. Sudah banyak yang
ditangkap. Tapi mencuri lagi. Sudah pernah diadakan sumpah adat, tapi selalu
terjadi lagi. "Yang masih berani memelihara sapi pun hidupnya tidak
tenang," kata Victor. "Mereka tidak bisa tidur nyenyak. Selalu
waswas, takut pencuri datang," tambahnya. "Ibaratnya, dari 10 orang
Sumba, 11 orang yang takut pelihara sapi," guraunya.
Bahkan, pencurian itu kini sudah meningkat ke pemerasan.
Si pencuri sudah berani menghubungi pemilik. Minta tebusan Rp 2 juta. Agar
sapinya dikembalikan. Pun sudah menjalar ke generasi muda. Dengan berbagai
motif. Misalnya mau cepat dapat uang jutaan. Dengan cara mudah. Atau setengah
balas dendam: Dulu sapi orang tuanya dicuri orang.
"Ketakutan memelihara sapi ikut mengubur harapan
pemuda untuk kuliah di luar daerah," ujar Victor. Dulu, prinsip hidup
orang di Sumba adalah ini: Hasil pertanian untuk mencukupi makan, ternak sapi
untuk tabungan biaya anak kuliah. Kini banyak anak muda tidak lagi bisa
kuliah. Menganggur. Naik kuda pun sudah tidak bisa. Potensi besar untuk jadi
pencuri generasi baru. "Kalau ada pacuan kuda, kami sudah harus
datangkan joki dari Bima," tambahnya.
Pagi itu, saya mampir ke Desa Lewa Paku. Lebih dari 10
orang ikut meriung di halaman rumah Pak Yusuf Bili Popo. Semua berebut ingin
menceritakan keganasan pencurian sapi di Sumba. Ibu Rambu Kris, yang masih
berani memelihara sapi bantuan pemerintah, sampai berdiri dari duduknya.
"Minggu lalu, sapi bantuan itu dicuri. Dua lagi," kata Ibu Rambu
dari Desa Laihau, Kecamatan Letis, itu.
Victor mencoba membantu sang ibu. Berhasil. Dia tahu siapa
pencurinya. Dia juga tahu ke mana sapi curian itu akan dijual. "Sapi itu
akan dipakai pesta pelantikan dua kepala desa," katanya. Dia pun tahu
tanggal pelantikannya. Lalu, dia merencanakan upaya penangkapan pada tanggal
pelantikan itu. Gagal. Tidak punya biaya.
Walhasil, solusi membeli kapal angkutan ternak atau
bantuan anak sapi dari pemerintah kelihatannya hanya akan jadi ibarat dokter
yang salah resep. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar