Politik Amien Rais
Bawono Kumoro ; Peneliti Politik di The Habibie Center
|
KORAN
SINDO, 27 Februari 2015
Keberadaan
pemegang saham sebagai pihak dominan dalam sebuah perusahaan sangat lazim.
Namun, dalam konteks partai politik, keberadaan pemegang saham tidak lazim
dan tidak sehat.
Di
Indonesia hampir seluruh partai politik dikelola seperti perusahaan oleh pemegang
saham. Mereka sering memaksakan kehendak agar partai diurus sesuai keinginan
mereka. Mereka sangat kuat dalam mendominasi pengelolaan partai politik
bersangkutan. Tidak heran bila kemudian penentuan figur-figur sentral dalam
kepengurusan partai politik, terutama ketua umum, harus melalui persetujuan
pemegang saham tersebut.
Keinginan
Amien Rais untuk menjadikan Zulkifli Hasan tampil sebagai ketua umum dan
meminta Hatta Rajasa mundur dari pencalonan dalam Kongres IV Partai Amanat
Nasional (PAN) pada tanggal 28 Februari- 3 Maret mendatang merupakan contoh
paling aktual dari hal tersebut. Sebagaimana diketahui, ada dua kandidat kuat
ketua umum PAN pada kongres nanti, Zulkifli Hasan dan Ketua Umum incumbent
Hatta Rajasa.
Dalam
sejumlah kesempatan Amien Rais meminta para pemilik suara untuk memilih
Zulkifli Hasan—notabene besan— sebagai ketua umum dalam kongres nanti. Di
saat yang sama Amien Rais juga meminta Hatta Rajasa untuk mundur dari bursa
pencalonan. Amien Rais berdalih hal itu dimaksudkan untuk melanjutkan tradisi
PAN selama ini di mana ketua umum cuma menjabat satu periode.
Padahal,
pembatasan jabatan satu periode tidak diatur di dalam anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga partai. Amien Rais berdalih pembatasan jabatan ketua
umum satu periode dilakukan untuk regenerasi kepemimpinan partai. Hemat
penulis, regenerasi kepemimpinan partai tetap dapat dilakukan tanpa
memberikan batasan satu periode bagi jabatan ketua umum. Bila merujuk
jabatan-jabatan publik—mulai dari bupati/walikota, gubernur hingga
presiden—pembatasan jabatan lazimnya dilakukan dua periode, bukan satu
periode.
Pembatasan
jabatan satu periode juga dilihat publik sebagai sebuah hal tidak lazim.
Pendapat publik itu terekam melalui survei terbaru Lembaga Survei Indonesi
(LSI). Survei LSI mengenai ”Partai Politik di Mata Publik: Evaluasi atas
Kinerja Partai dan Regenerasi Politik” menunjukkan 58,9% responden
menginginkan kepemimpinan di partai dibatasi dua periode.
Survei
ini secara tidak langsung menunjukkan keinginan Amien Rais agar ketua umum
PAN cukup satu periode saja terlihat agak berlebihan dalam memandang isu
regenerasi. Sudah menjadi rahasia umum bila Amien Rais memegang peran dominan
selama 17 tahun perjalanan PAN. Penentuan ketua umum hingga arah koalisi PAN
harus melalui persetujuannya. Maklum saja Amien Rais merupakan pendiri partai
berlambang matahari terbit tersebut.
Namun,
hal itu tidak serta merta dapat menjadi justifikasi bagi Amien Rais untuk
terus tampil dominan seperti pemegang saham. Dominasi pemegang saham tunggal
di sebuah partai politik cuma akan membuat partai politik bersangkutan tidak
kunjung bertransformasi menjadi partai modern, di mana mekanisme kontestasi diserahkan
kepada kader-kader, bukan daulat orang-orang tertentu.
Di
samping itu, dominasi pemegang saham tunggal di sebuah partai politik juga
akan membuat partai politik bersangkutan tidak terinstitusionalisasi dengan
baik. Menurut Scott Mainwaring (1998: 67-81), salah satu dimensi penting
untuk melihat apakah sebuah partai politik telah terinstitusionalisasi dengan
baik atau tidak adalah tidak adanya dominasi personal dari seorang elite
politik.
Dewasa
ini dominasi personal seorang tokoh memang seakan telah menjadi fenomena umum
dari kehidupan partai politik di Indonesia. Partai Demokrat sangat bergantung
kepada figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku pendiri partai. Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan identik dengan Megawati Soekarnoputri.
Pengaruh Prabowo Subianto sangat kuat mewarnai setiap langkah dan kebijakan
Partai Gerindra.
Partai
Hanura tidak dapat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kepemimpinan
Wiranto. Demikian pula dengan Amien Rais yang selalu menampilkan diri sebagai
tokoh sentral di PAN sehingga seolah-olah setiap kader hendak mencalonkan
diri sebagai ketua umum harus mendapatkan restu politik dari tokoh gerakan
reformasi 1998 tersebut.
Dominasi
personal tersebut boleh jadi kemudian akan berujung kepada tren aklamasi
dalam proses pemilihan ketua umum. Selain PAN dalam waktu dekat sejumlah
partai politik lain juga akan menggelar kongres atau munas untuk memilih
ketua umum. Partai Hanura akan menggelar munas bulan ini. Partai Demokrat
melakukan kongres pada Maret mendatang. Satu bulan kemudian giliran PDIP
menggelar kongres.
Para
elite masing-masing partai politik akan berusaha sekuat tenaga agar dapat
menang secara aklamasi tanpa ada calon lain tampil sebagai rival potensial.
Meskipun telah berusia cukup tua figur-figur seperti SBY, Megawati, Wiranto,
Prabowo, dan Amien Rais tidak akan dengan sukarela melepaskan kendali dan
pengaruh politik mereka di partai politik masing-masing.
Dalam
konteks itu keputusan Hatta Rajasa untuk tetap maju dalam bursa pencalonan
ketua umum PAN dalam kongres mendatang - meskipun tanpa restu politik sang
pendiri partai - akan menjadi ujian serius bagi eksistensi politik Amien Rais
di masa depan. Kongres yang akan berlangsung di Bali akhir pekan ini akan
menjadi ukuran bagi publik untuk melihat apakah Amien Rais masih memiliki
pengaruh cukup kuat dalam menentukan arah perjalanan PAN.
Bila
Hatta Rajasa terpilih kembali untuk kali kedua sebagai ketua umum, maka dapat
dikatakan pengaruh Amien Rais di PAN mulai luntur dan usang. Dan itu
merupakan kabar baik bagi PAN sebagai langkah awal menuju partai modern
dengan tidak lagi melulu bergantung kepada titah Amien Rais. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar