Kembalikan Marwah KPK
Agus Riewanto ; Dosen Fakultas Hukum dan Program
Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret (UNS)
Surakarta
|
SUARA
MERDEKA, 23 Februari 2015
PUTUSAN praperadilan hakim Sarpin
Rizaldi di PN Jaksel yang memenangkan Komjen Budi Gunawan (BG) atas KPK, dan
menyatakan penetapan status hukum tersangka dalam kasus rekening gendut tak
lagi memiliki kekuatan hukum, menyimpang dari kebiasaan sistem hukum acara
peradilan pidana.
Pasalnya, hakim tunggal itu
memperluas tafsiran Pasal 77 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dengan menyatakan bahwa penetapan
seseorang sebagai tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan.
Perluasan tafsir pasal itu melampaui kewenangannya.
Padahal pasal itu sudah jelas memberikan
limitasi kewenangan praperadilan hanya menguji sah tidaknya penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan, dan/atau penuntutan, dan tidak dapat
diperluas lagi penafsirannya. Doktrin hukum acara pun menegaskan hukum acara
dibuat sangat limitatif dan rigid supaya tak bisa ditafsirkan.
KUHAP memang dirancang sebagai
hukum formal sedemikian rupa supaya tidak mudah disimpangkan oleh penyidik
dalam proses beracara. Karena itu, amar putusan hakim praperadilan yang
menyatakan, perluasan tafsir Pasal 77 dilakukan sebagai upaya menemukan hukum
baru (rechtvinding) guna mengisi
kekosongan hukum (rechtvacuum)
adalah menyesatkan.
Pasalnya, khusus hukum acara
(KUHAP) tak boleh ditafsirkan mengingat sejak awal sudah dirancang jelas.
Hakim praperadilan hanya boleh menguji sah tidaknya penetapan tersangka oleh
penyidik, bukan menafsirkan pasal-pasal KUHAP untuk dikontekskan dengan
peristiwa hukum. Berbeda dari hukum perdata dan hukum pidana material, hakim
boleh menafsirkan ketentuan pasal-pasalnya guna memujudkan keadilan,
kepastian dan kemanfaatan hukum.
Putusan hakim praperadilan itu
juga mengundang kontroversi karena mempersempit makna ’’pejabat negara dan penyelenggara negara di bidang hukum’’.
Dalam amar putusannya, Sarpin menyatakan bahwa BG saat menjabat Kabiro
Pembinaan Karier Polri tahun 2003-2006 bukan pejabat negara dan penegak hukum
sebagai dimaksud Pasal 6 dan Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Karena itu, menurut dia, BG bukan
subjek hukum yang bisa disidik KPK dalam kasus korupsi dan gratifikasi. Lebih
dari itu, waktu itu belum lahir UU yang mengatur tentang pencucian uang
sehingga ia berpendapat yang dilakukan BG tidak termasuk unsur yang merugikan
negara sebagaimana dimaksud dalam UU KPK ataupun UU Pencucian uang.
Ini jelas pertimbangan hukum yang
tidak wajar dalam batas rasionalitas hukum mengingat hakim memperluas
maknanya sewaktu menafsirkan Pasal 77. Di sisi lain, hakim mempersempit
penafsiran makna Pasal 6 dan Pasal 11
UU KPK.
Implikasi Putusan
Lebih dari itu, hakim praperadilan
mempersempit penafsiran kata ”pejabat negara” dalam Pasal 6 dan Pasal 11 UU
KPK, yang berarti merusak doktrin praperadilan. Hal itu mengingat esensi
praperadilan adalah peradilan cepat guna mengontrol sah tidaknya penetapan seseorang jadi tersagka. Realitasnya,
hakim praperadilan telah menabrak nalar ketentuan itu, malah mengaitkannya
dengan UU KPK dan UU Tipikor.
Cara berpikir hakim praperadilan
telah menyesatkan jalannya sistem beracara karena mengarahkan sidang ke arah
substansi pokok perkara. Seharusnya yang boleh menafsirkan ketentuan Pasal 6
dan Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengenai makna ’’pejabat
negara’’ adalah hakim tipikor ketika proses beracara dilakukan di pengadilan
tipikor.
Putusan prarperadilan yang
memenangkan BG telah merusak sistem praperadilan yang diatur dalam KUHAP.
Dipastikan putusan Sarpin berimplikasi pada keinginan semua orang yang status
hukumnya ditersangkakan oleh KPK untuk mengajukan gugatan praperadilan dengan
hakim tunggal, dan diputus cepat hanya 7 hari. Ini bukan hanya akan menguras
energi KPK, melainkan juga menguras energi hakim praperadilan Pengadilan
Negeri.
Lebih dari itu, putusan
praperadilan tersebut menampar keras capaian dan kesaktian KPK dalam
pemberantasan korupsi selama ini. Pasalnya, kini terbukti kinerja KPK dapat
dimentahkan oleh hakim tunggal praperadilan. Sesungguhnya masih tersedia
ruang bagi KPK untuk melakukan upaya hukum luar biasa, berupa peninjauan
kembali (PK) ke MA berpedoman Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 4
Tahun 2014.
Surat edaran itu antara lain
menyatakan, putusan praperadilan dapat diajukan upaya hukum PK jika ditemukan
indikasi kesalahan penerapan Pasal 77 KUHAP. Komisi Pemberantasan Korupsi
juga dapat melaporkan ke Komisi Yudisial (KY) untuk menguji independensi hakim
Sarpin dalam memutus praperadilan: apakah ada tekanan politik atau pesanan
dari kelompok tertentu.
Upaya itu bisa dlakukan lewat uji
kode etik dan perilaku hakim sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2003
tentang KY dan diubah menjadi UU Nomor 18 Tahun 2011. Perlu melakukan upaya
itu agar upaya pemberantasan korupsi tidak surut di tengah jalan sekaligus
mengembalikan marwah KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar