Dampak
Penggantian Raskin
Sapuan Gafar ; Mantan Sekretaris Menteri Pangan dan Wakil Kepala
Bulog
|
KOMPAS,
26 Februari 2015
Pasca-penghapusan Garis-garis Besar Haluan Negara,
Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan kebijakan yang mendasar, yakni
beras untuk rakyat miskin, yang dirancang sebagai bagian terintegrasi dari
kebijakan perberasan nasional.
Sejak 2001, beras untuk rakyat miskin (raskin) dipakai
sebagai saluran stok publik yang dipegang Bulog. Hal itu terlihat dalam
Instruksi Presiden tentang Penetapan Kebijakan Perberasan Nomor 9 Tahun 2001
dan Inpres No 9 Tahun 2002.
Stabilisasi harga
Konsiderans inpres menyebutkan, dalam rangka peningkatan
pendapatan petani dan pengembangan ekonomi pedesaan, kemudian diinstruksikan
beberapa hal penting, antara lain: (a) untuk memberi dukungan peningkatan
produktivitas petani padi dan produksi beras nasional, (b) memberi dukungan
bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani, (c) melaksanakan kebijakan harga
dasar pembelian gabah dan beras, (d) menetapkan kebijakan impor beras, (e)
memberi jaminan persediaan dan penyaluran beras untuk kelompok masyarakat
miskin dan rawan pangan.
Dengan demikian, antara produksi, distribusi, dan konsumsi
dirangkai dalam satu sistem yang kokoh. Dari segi aliran barang, program
peningkatan produksi dijamin oleh Bulog untuk dibeli sesuai dengan aturan
yang berlaku. Hasil pembelian Bulog dipakai untuk memupuk stok cadangan untuk
keperluan stabilisasi harga. Oleh karena beras terbatas daya simpannya, untuk
perputaran stok digunakan penyaluran beras untuk kelompok masyarakat miskin
dan rawan pangan. Itulah kebijakan perberasan yang fundamental secara
tertulis dari pemerintah.
Dari segi pembiayaan juga terdapat sistem yang saling
menjamin. Pemerintah mendorong petani untuk meningkatkan produksi padi yang
tentu saja mengeluarkan anggaran untuk keperluan itu. Agar pemerintah tidak
dipersalahkan petani, ada jaminan produksinya akan dibeli Bulog. Adapun untuk
biaya pembelian ditalangi dulu oleh Bulog yang mendapat kredit bank dengan
jaminan Menteri Keuangan. Di sini Menteri Keuangan bersedia menjamin kredit
Bulog karena adanya agunan anggaran berupa subsidi beras untuk masyarakat
miskin dan rawan pangan. Hal ini juga merupakan fondasi kebijakan yang sangat
penting.
Pemerintah saat itu sangat sabar dan hati-hati ”melawan”
tekanan Dana Moneter Internasional pada waktu itu. Dalam keadaan impor beras
bebas dilakukan, Presiden bersikukuh membela petani dengan mengeluarkan
perlindungan harga untuk petani. Kebijakan ini dikritik habis-habisan sebagai
hal yang tak ada manfaatnya, tetapi pemerintah tetap konsisten pada
pendiriannya. Tahun 2004, Menteri Perdagangan dan Perindustrian melakukan
pembatasan impor beras.
Walaupun tahun 2004 impor beras sudah dibatasi, dampaknya
terhadap harga baru terasa akhir 2005, dengan harga terus bergerak naik
menjadi sekitar Rp 5.000 per kilogram pada Februari 2007, naik dua kali lipat
dalam kurun waktu tiga tahun. Perlu ditambahkan, harga beras tahun 2004 masih
stabil sepanjang tahun pada kisaran harga Rp 2.500 per kilogram. Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono tampaknya terkejut dengan adanya kenaikan harga yang
demikian tinggi. Oleh karena itu, pemerintah merespons dengan mengeluarkan
kebijakan yang menaikkan harga pembelian gabah/beras pemerintah (HPP) dari 2004
sampai 2008 secara cukup signifikan.
Dampak pembatasan impor beras dan kenaikan HPP ini diduga
jadi salah satu penyebab kenaikan produksi beras selama tiga tahun
berturut-turut: tahun 2007 naik 4,9 persen, 2008 naik 5,5 persen, dan 2009
naik 5,8 persen. Akibat kenaikan produksi ini, Indonesia selamat menghadapi
krisis pangan dunia 2008, tak perlu berebut terjun ke pasar beras dunia.
Pelajaran bagi kita yang ingin berswasembada beras dalam
tiga tahun, sistem yang mengaitkan antara produksi, distribusi, dan konsumsi
yang dibangun di era Megawati perlu diperhatikan. Peran harga diduga juga
masih cukup signifikan, demikian pula pengaruh iklim tak boleh diabaikan.
Pilihan kebijakan dengan memperbaiki dan menambah infrastruktur serta
memperlancar sarana produksi merupakan pilihan terbaik saat ini.
Mengganti raskin dengan ”e-money”
Langkah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang akan
”menenggelamkan” program raskin dan menggantinya dengan e-money pada 2016
dapat dinilai akan ”merobohkan” sistem perberasan yang dirintis Megawati.
Alasan penggantian yang dipakai pun merupakan alasan klasik, yaitu tidak
tepat sasaran, jumlah dan kualitas. Namun, penting untuk diperhatikan,
langkah ini akan menghilangkan sistem yang saling menjamin, baik dari segi
aliran barang maupun pembiayaan.
Apabila raskin diganti dengan e-money, maka akan berkurang
daya serap Bulog untuk membeli surplus beras musiman. Di lain pihak, konsumen
pasti akan membeli secukupnya saja, akibatnya harga akan turun. Memang Bulog
dapat diperintahkan untuk membeli berapa pun jumlahnya, tetapi perlu dihitung
untung-ruginya. Ada yang mengusulkan kelebihan stok Bulog diekspor, tetapi
kerugiannya perlu dihitung karena harga beras di Indonesia sudah dua kali
dari harga dunia.
Ada juga yang menyarankan agar kelebihan stok Bulog dibuat
tepung beras. Persoalannya, siapa yang akan membeli tepung dengan harga
mahal? Oleh karena itu, sebelum kita babak belur yang kedua kalinya seperti
tahun 1984/1985, sebaiknya dibahas dulu tingkat swasembada yang kita inginkan
itu, swasembada absolut, swasembada on trend, atau swasembada model Vietnam.
Semua strategi ada konsekuensi biaya, dan pasti ada sisi baik dan buruknya.
Yang penting jangan kita keblasuk atau telanjur masuk perangkap yang tak kita
perhitungkan sebelumnya.
Mengenai ketidaktepatan sasaran, hal ini sudah menjadi
perdebatan sejak awal peluncuran operasi pasar khusus (OPK) tahun 1998 yang
kemudian tahun 2002 diganti jadi raskin. Berdasarkan penelitian tahun 1999,
ketidaktepatan sasaran OPK sebesar 15 persen masih lebih rendah dibandingkan
food stamp di Amerika Serikat yang kebocorannya 40 persen. Penelitian Husein
Sawit dan Steven R Tabor (2005) menemukan 84 persen raskin diterima keluarga
yang dianggap berhak.
Pertanyaan selanjutnya, apakah penggantian raskin dapat
menjamin tepat sasaran? Yang jelas juga belum ada jaminan uang diterima akan
dipakai untuk membeli beras. Akhirnya, raskin yang tujuannya memperbaiki
asupan gizi penduduk berpendapatan rendah juga dipertanyakan. Sumber energi
dan protein penduduk berpendapatan rendah 70 persen berasal dari beras.
Dengan memegang uang, godaan untuk membeli rokok, pulsa, bahkan judi togel
sulit dihindarkan. Oleh karena itu, Menteri Kependudukan/BKKBN pada tahun
1998 mengusulkan agar penerima beras ibu rumah tangga.
Soal keluhan kualitas, kita lihat saja apakah tahun ini
Bulog dapat memperbaiki kualitas beras yang dibagikan. Apabila Bulog tidak
dapat membeli beras tahun ini, disarankan untuk tidak dipaksa membeli karena
harga yang dipasang swasta sekarang lebih tinggi dari HPP. Apabila Bulog
dipaksa untuk membeli beras, dipastikan yang diperoleh adalah beras
berkualitas buruk.
Akhirnya, diperlukan kajian yang mendalam tentang raskin
sebelum dilakukan perubahan kebijakan. Rekomendasi dari hasil penelitian
Steven R Tabor tahun 1999 (OPK Program:
An Economy Wide Impact) serta M Husein Sawit dan Steven R Tabor tahun
2005 (Raskin: A Macro Program
Assessment), barangkali perlu menjadi bahan pertimbangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar