Jumat, 27 Februari 2015

Dampak Penggantian Raskin

Dampak Penggantian Raskin

Sapuan Gafar ;  Mantan Sekretaris Menteri Pangan dan Wakil Kepala Bulog
KOMPAS, 26 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Pasca-penghapusan Garis-garis Besar Haluan Negara, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan kebijakan yang mendasar, yakni beras untuk rakyat miskin, yang dirancang sebagai bagian terintegrasi dari kebijakan perberasan nasional.

Sejak 2001, beras untuk rakyat miskin (raskin) dipakai sebagai saluran stok publik yang dipegang Bulog. Hal itu terlihat dalam Instruksi Presiden tentang Penetapan Kebijakan Perberasan Nomor 9 Tahun 2001 dan Inpres No 9 Tahun 2002.

Stabilisasi harga

Konsiderans inpres menyebutkan, dalam rangka peningkatan pendapatan petani dan pengembangan ekonomi pedesaan, kemudian diinstruksikan beberapa hal penting, antara lain: (a) untuk memberi dukungan peningkatan produktivitas petani padi dan produksi beras nasional, (b) memberi dukungan bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani, (c) melaksanakan kebijakan harga dasar pembelian gabah dan beras, (d) menetapkan kebijakan impor beras, (e) memberi jaminan persediaan dan penyaluran beras untuk kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan.

Dengan demikian, antara produksi, distribusi, dan konsumsi dirangkai dalam satu sistem yang kokoh. Dari segi aliran barang, program peningkatan produksi dijamin oleh Bulog untuk dibeli sesuai dengan aturan yang berlaku. Hasil pembelian Bulog dipakai untuk memupuk stok cadangan untuk keperluan stabilisasi harga. Oleh karena beras terbatas daya simpannya, untuk perputaran stok digunakan penyaluran beras untuk kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan. Itulah kebijakan perberasan yang fundamental secara tertulis dari pemerintah.

Dari segi pembiayaan juga terdapat sistem yang saling menjamin. Pemerintah mendorong petani untuk meningkatkan produksi padi yang tentu saja mengeluarkan anggaran untuk keperluan itu. Agar pemerintah tidak dipersalahkan petani, ada jaminan produksinya akan dibeli Bulog. Adapun untuk biaya pembelian ditalangi dulu oleh Bulog yang mendapat kredit bank dengan jaminan Menteri Keuangan. Di sini Menteri Keuangan bersedia menjamin kredit Bulog karena adanya agunan anggaran berupa subsidi beras untuk masyarakat miskin dan rawan pangan. Hal ini juga merupakan fondasi kebijakan yang sangat penting.

Pemerintah saat itu sangat sabar dan hati-hati ”melawan” tekanan Dana Moneter Internasional pada waktu itu. Dalam keadaan impor beras bebas dilakukan, Presiden bersikukuh membela petani dengan mengeluarkan perlindungan harga untuk petani. Kebijakan ini dikritik habis-habisan sebagai hal yang tak ada manfaatnya, tetapi pemerintah tetap konsisten pada pendiriannya. Tahun 2004, Menteri Perdagangan dan Perindustrian melakukan pembatasan impor beras.

Walaupun tahun 2004 impor beras sudah dibatasi, dampaknya terhadap harga baru terasa akhir 2005, dengan harga terus bergerak naik menjadi sekitar Rp 5.000 per kilogram pada Februari 2007, naik dua kali lipat dalam kurun waktu tiga tahun. Perlu ditambahkan, harga beras tahun 2004 masih stabil sepanjang tahun pada kisaran harga Rp 2.500 per kilogram. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tampaknya terkejut dengan adanya kenaikan harga yang demikian tinggi. Oleh karena itu, pemerintah merespons dengan mengeluarkan kebijakan yang menaikkan harga pembelian gabah/beras pemerintah (HPP) dari 2004 sampai 2008 secara cukup signifikan.

Dampak pembatasan impor beras dan kenaikan HPP ini diduga jadi salah satu penyebab kenaikan produksi beras selama tiga tahun berturut-turut: tahun 2007 naik 4,9 persen, 2008 naik 5,5 persen, dan 2009 naik 5,8 persen. Akibat kenaikan produksi ini, Indonesia selamat menghadapi krisis pangan dunia 2008, tak perlu berebut terjun ke pasar beras dunia.

Pelajaran bagi kita yang ingin berswasembada beras dalam tiga tahun, sistem yang mengaitkan antara produksi, distribusi, dan konsumsi yang dibangun di era Megawati perlu diperhatikan. Peran harga diduga juga masih cukup signifikan, demikian pula pengaruh iklim tak boleh diabaikan. Pilihan kebijakan dengan memperbaiki dan menambah infrastruktur serta memperlancar sarana produksi merupakan pilihan terbaik saat ini.

Mengganti raskin dengan ”e-money”

Langkah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang akan ”menenggelamkan” program raskin dan menggantinya dengan e-money pada 2016 dapat dinilai akan ”merobohkan” sistem perberasan yang dirintis Megawati. Alasan penggantian yang dipakai pun merupakan alasan klasik, yaitu tidak tepat sasaran, jumlah dan kualitas. Namun, penting untuk diperhatikan, langkah ini akan menghilangkan sistem yang saling menjamin, baik dari segi aliran barang maupun pembiayaan.

Apabila raskin diganti dengan e-money, maka akan berkurang daya serap Bulog untuk membeli surplus beras musiman. Di lain pihak, konsumen pasti akan membeli secukupnya saja, akibatnya harga akan turun. Memang Bulog dapat diperintahkan untuk membeli berapa pun jumlahnya, tetapi perlu dihitung untung-ruginya. Ada yang mengusulkan kelebihan stok Bulog diekspor, tetapi kerugiannya perlu dihitung karena harga beras di Indonesia sudah dua kali dari harga dunia.

Ada juga yang menyarankan agar kelebihan stok Bulog dibuat tepung beras. Persoalannya, siapa yang akan membeli tepung dengan harga mahal? Oleh karena itu, sebelum kita babak belur yang kedua kalinya seperti tahun 1984/1985, sebaiknya dibahas dulu tingkat swasembada yang kita inginkan itu, swasembada absolut, swasembada on trend, atau swasembada model Vietnam. Semua strategi ada konsekuensi biaya, dan pasti ada sisi baik dan buruknya. Yang penting jangan kita keblasuk atau telanjur masuk perangkap yang tak kita perhitungkan sebelumnya.

Mengenai ketidaktepatan sasaran, hal ini sudah menjadi perdebatan sejak awal peluncuran operasi pasar khusus (OPK) tahun 1998 yang kemudian tahun 2002 diganti jadi raskin. Berdasarkan penelitian tahun 1999, ketidaktepatan sasaran OPK sebesar 15 persen masih lebih rendah dibandingkan food stamp di Amerika Serikat yang kebocorannya 40 persen. Penelitian Husein Sawit dan Steven R Tabor (2005) menemukan 84 persen raskin diterima keluarga yang dianggap berhak.

Pertanyaan selanjutnya, apakah penggantian raskin dapat menjamin tepat sasaran? Yang jelas juga belum ada jaminan uang diterima akan dipakai untuk membeli beras. Akhirnya, raskin yang tujuannya memperbaiki asupan gizi penduduk berpendapatan rendah juga dipertanyakan. Sumber energi dan protein penduduk berpendapatan rendah 70 persen berasal dari beras. Dengan memegang uang, godaan untuk membeli rokok, pulsa, bahkan judi togel sulit dihindarkan. Oleh karena itu, Menteri Kependudukan/BKKBN pada tahun 1998 mengusulkan agar penerima beras ibu rumah tangga.

Soal keluhan kualitas, kita lihat saja apakah tahun ini Bulog dapat memperbaiki kualitas beras yang dibagikan. Apabila Bulog tidak dapat membeli beras tahun ini, disarankan untuk tidak dipaksa membeli karena harga yang dipasang swasta sekarang lebih tinggi dari HPP. Apabila Bulog dipaksa untuk membeli beras, dipastikan yang diperoleh adalah beras berkualitas buruk.

Akhirnya, diperlukan kajian yang mendalam tentang raskin sebelum dilakukan perubahan kebijakan. Rekomendasi dari hasil penelitian Steven R Tabor tahun 1999 (OPK Program: An Economy Wide Impact) serta M Husein Sawit dan Steven R Tabor tahun 2005 (Raskin: A Macro Program Assessment), barangkali perlu menjadi bahan pertimbangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar