Cinta Produk Dalam Negeri
Purbayu Budi Santosa ; Guru Besar Fakultas
Ekonomika dan Bisnis
Universitas Diponegoro, Semarang
|
KORAN
SINDO, 26 Februari 2015
Impor
apel yang berasal dari negara Amerika Serikat (AS), dengan jenis Granny Smith
dan Gala (dari California) sekarang ini tidak diperkenankan. Keadaan ini
terjadi karena adanya kasus keracunan akibat mengonsumsi kedua jenis apel
tersebut. Diduga keracunan terjadi karena bakteri Listeria monocytogenes yang
berbahaya bagi kesehatan manusia. Pencegahan impor kedua jenis apel tersebut
menindaklanjuti informasi dan surat peringatan dari Emergency Contact Point International Food Safety Authorities Network
(Infosan) y ang dikirimkan pada 17 Januari 2015.
Selain
itu, pemerintah telah menerima surat dari Kedutaan Besar AS di Jakarta
terkait hal serupa pada 21 Januari 2015. Sekiranya telah telanjur diimpor,
maka harus dilakukan penarikan pada apel yang diduga dapat membahayakan
kesehatan manusia. Lewat media massa, baik elektronik maupun cetak pada
berbagai daerah, kita bisa melihat masih ada penjualan kedua apel tersebut
baik pada pasar modern maupun lapaklapak yang dipunyai pedagang kecil.
Oleh
karena sangat membahayakan bagi kesehatan, sudah selayaknya peredaran apel
tersebut untuk sementara waktu ditiadakan. Kerugian ekonomi yang terjadi baik
pada importir maupun pedagang memang merupakan suatu risiko usaha, dari pada
kesehatan masyarakat umum dipertaruhkan. Pelarangan impor apel tersebut dapat
merupakan berkah tersembunyi bagi usaha substitusi produk dalam negeri, baik
pada buah apel, buah lain, maupun pada komoditas lainnya.
Alasannya,
entah disengaja atau tidak, kayanya advertensi produk luar negeri begitu
masifnya dalam mengarahkan konsumsi domestik. Efek demonstrasi (demonstration effect) yang menuju
kepada pengunggulan produk luar sangatlah kentara di negara yang agraris,
yang sebenarnya mengandung potensi buah, sayuran, pangan, dan komoditas
pertanian lainnya.
Komoditas
buah yang banyak diimpor adalah apel, pir, jeruk hingga buah naga. Sekiranya
komoditas buah yang diimpor tidak ada di Indonesia, tidaklah mengapa, tetapi
akan menjadi problema kalau buah tersebut ada di Indonesia. Apel yang diimpor
jelas merupakan pesaing bagi buah apel malang, demikian juga jeruk banyak
diproduksi di Indonesia. Perbandingan buah impor dan domestik paling menonjol
pada pasar modern (swalayan) dibandingkan dengan penjual buah pinggir jalan.
Di
tengah menjamurnya pasar modern di Indonesia yang minimarketnya sampai
menjangkau daerah pedesaan, perubahan selera masyarakat akan mudah berubah
mengikuti tren zaman, yang disebut modern tersebut. Pengenalan komoditas ke
geraigerai minimarket, termasuk buah impor, akan mengubah kebiasaan
masyarakat dalam mengonsumsi.
Kalau
tidak direspons segera oleh pihak berwajib, maka kemandirian dan kedaulatan
buah di Indonesia dalam bahaya besar. Kondisi buah yang ada di Indonesia
kalau tidak segera diperbaiki, masalahnya seperti halnya pangan yang kondisi
impornya makin memprihatinkan. Mafia pangan telah ditengarai adanya, sehingga
jenis dan volume impor terus mengalami kenaikan.
Data
impor pangan hingga pertengahan 2014 tetap tinggi, misal beras 152.000 ton,
jagung 1,45 juta ton, dan kedelai 1,3 juta ton. Khusus untuk kedelai yang
diimpor mayoritas dari AS, jenisnya transgenetik, yang sampai sekarang dari
unsur kesehatan juga masih menimbulkan perdebatan. Di negara asalnya, kedelai
tersebut mayoritas diperuntukkan bagi pakan ternak, tetapi mengapa di
Indonesia justru untuk makanan tahu dan tempe khususnya?
Kearifan Lokal
Di
tengah suasana globalisasi dan liberalisme yang sedang terjadi, sebenarnya
Tuhan Mahaadil, pemurah dan penyayang. Kearifan lokal yang sebenarnya ada,
mestinya harus terus dijaga sebagai anugerah tak terbatas dari ilahi.
Buah-buahan di Indonesia sebagai negara tropis, tentunya rasanya tidak
semanis buah impor.
Keadaan
ini disebabkan bagi tubuh di daerah tropis lebih memerlukan vitamin C untuk
kesehatan tubuh dibandingkan yang terlalu banyak mengandung gula, yang justru
kalau kebanyakan dapat menyebabkan penyakit diabetes. Glokalisasi sangatlah
diperlukan dalam arena globalisasi sekarangini. Persainganyangtanpa pandang
bulu, mestinya bagi Pemerintah harus tetap menjunjung tinggi dan menjaga
kearifan lokal, termasuk pada buah dan komoditas lainnya.
Sosiali-sasi
keunggulan buah lokal mesti terus digaungkan baik melalui pertemuan formal
dan informal pada berbagai segmen masyarakat. Demikian juga melalui media
masa baik cetak dan elektronik dapat juga dikampanyekan dan diadvertensikan.
Para pemimpin sebagai cerminan dan anutan masyarakat harus gemar memberikan
contoh dalam mengonsumsi produk lokal, termasuk buah lokal.
Pernah
penulis naik kereta jurusan Semarang-Tegal beberapa waktu lalu, di mana
segerbong dengan para elite, dan disediakan buah-buahan, ternyata mayoritas
buah impor. Demikian juga pada rapat-rapat resmi sekarang ini lebih banyak
disajikan buah impor, karena sajian dan bentuknya lebih menarik. Keadaan ini
bisa disebabkan unsur kepatutan, di mana secara jujur tampilan barang impor,
termasuk buah impor sering lebih menarik, karena ranum dan bentuknya
besar-besar.
Konsep Agrobisnis
Di
tengah area Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sebentar lagi akan
giat-giatnya dijalankan, Indonesia harus berbenah diri pada berbagai
komoditas yang dihasilkan termasuk buah-buahan. Konsep agrobisnis mestinya
bisa diaplikasikan. Pertama , penyediaan input untuk produksi.
Benihnya
harus unggul, demikian juga sarana dan prasarana lainnya harus tersedia
memadai, misal pupuk dan mesin traktor jika diperlukan. Demikian juga jalan
dan saluran irigasi. Pengalaman Bob Sadino (almarhum) yang sukses dengan produk
agrobisnis organik bisa dijadikan contoh untuk berguru.
Pupuk
sering jadi masalah, di mana dibutuhkan justru menghilang, maka peran
Pemerintah dengan aparatnya sangatlah diperlukan. Kedua , teknologi produksi
haruslah mengikuti perkembangan jaman. Penggunaan mesin jika diperlukan dapat
dilakukan supaya produknya unggul. Teknologi pengolahan (agroindustri)
sangatlah diperlukan untuk mengolah produk primer menjadi produk olahan
karena ada nilai tambah.
Aneka
apel olahan dan ketela olahan sebagai misal, sebagai hasil usaha kreatif dan
inovatif begitu dibutuhkan dalam menyerap tenaga kerja yang jumlahnya
kelebihan. Ketiga, aspek pemasaran menjadi begitu penting, di mana tidak ada
artinya sesuatu produk kalau tidak bisa dipasarkan. Kita begitu iri kepada pemerintah
Thailand di mana khusus untuk pemasaran produk agrobisnis disediakan
pelabuhan khusus, dengan pelayanan prima dalam arti waktu dan dana pengurusan
izin minimum.
Keempat,
lembaga penunjang seperti perbankan, asuransi, penyuluhan, penelitian dan lain-lainnya.
Indonesia dengan penduduk keempat terbesar di dunia, dengan jumlahnya sekitar
250 juta orang, merupakan pasar yang potensial untuk berbagai produk,
termasuk produk buah. Sekiranya mayoritas kebutuhan buah dapat dipenuhi dari
produk dalam negeri, maka efek pengganda kenaikan pendapatan dan kesempatan
kerja akan meningkat.
Yang
lebih penting lagi, rasa memiliki kecintaan produk dalam negeri akan dapat
membendung masuknya berbagai produk impor. Kiranya larangan impor suatu
komoditas merupakan berkah tersembunyi bagi Indonesia. Kita tunggu saja
bagaimana Indonesia akan menyikapinya, apakah akan berpihak ke kearifan
lokal, atau justru lupa akan peluang yang penting. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar