Prioritas
Langkah Menyelamatkan Polri
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus Psikologi
Forensik, The University of Melbourne
|
KORAN
SINDO, 25 Februari 2015
Ada yang merisaukan pada isi pidato Presiden Jokowi, Rabu
(18-2-2015) lalu. Pidato berisi keputusan Presiden terkait kekisruhan antara
KPK dan Polri itu menyinggung masyarakat sebagai pihak yang terimbas sebatas
dalam bentuk terjadi perbedaan pendapat.
Padahal, lebih dari sekadar perdebatan kognitif,
pertikaian dua organisasi itu nyata-nyata sudah sampai ke dimensi afektif
yakni dalam bentuk kian tergerusnya kepercayaan publik terhadap
lembaga-lembaga penegakan hukum. Apalagi, terdapat kesan kuat bahwa sinisme
masyarakat terhadap Polri tampak lebih mengental; suasana batiniah yang
mengkhawatirkan, mengingat Polri merupakan institusi penegakan hukum yang
bersifat permanen.
Berhadapan dengan kondisi psikologis masyarakat sedemikian
rupa, Polri sepatutnya terdorong untuk lebih inward looking, di samping terus
mengupayakan perbaikan kualitas kemitraannya dengan KPK. Dorongan bagi Polri
untuk lebih mawas diri itulah yang sebenarnya sangat baik bila disampaikan
Jokowi.
Tentu, dengan sekian banyak area pembenahan internal yang
ada, tugas Komisaris Jenderal Polisi Badrodin Haiti kelak akan sangat berat.
Area mana yang patut diutamakan bersumber dari tiga potong kejadian yang
telah terlupakan. Peristiwa penting yang justru dari situlah calon Kapolri
Badrodin dapat menemukan tiga area yang membutuhkan pembenahan besar-besaran.
Kejadian pertama yang mencerminkan kekacauan organisasi
Polri adalah ketika dua petingginya mengeluarkan pernyataan berbeda
sehubungan dengan penangkapan Bambang Widjojanto. Plt Kapolri (Wakapolri)
Badrodin Haiti membantah ada penangkapan tersebut. Tapi, berbeda tajam,
Kabareskrim Budi Waseso justru mengonfirmasi kabar mengenai penangkapan
terhadap petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi itu.
Bertolak belakangnya pernyataan dua komjen di atas
mengisyaratkan ada faksi-faksi didalam tubuh Polri. Koordinasi antarfaksi
menipis, sebagai konsekuensi ketidaksempurnaan dalam mengatasi keadaan kritis
yang dipandang harus disikapi selekas mungkin. Kekacauan fungsi komunikasi
publik (hubungan masyarakat, humas) Polri itu sesungguhnya memalukan,
mengingat by nature kerja polisi
identik dengan situasi krisis.
Publik pun bereaksi dengan mempertanyakan, apakah
penangkapan Bambang merupakan langkah penegakan hukum yang dihasilkan
berdasarkan keputusan terpadu Polri atau sebatas sebagai prakarsa sektoral
oleh kubu dengan kepentingan tertentu di tubuh Polri? Jika ditarik ke tataran
lebih mendasar, istilah humas di institusi Polri pun seolah mengandung salah
kaprah.
Seluruh aparat Polri sesungguhnya memiliki kewajiban untuk
membangun hubungan dengan masyarakat. Dengan kata lain, kehumasan tidak
semestinya dijadikan sebagai tugas pokok dan fungsi unit kerja tertentu lalu
dikesampingkan pada unitunit kerja lain. Dengan dasar berpikir seperti itu,
unit humas Polri sepatutnya dilikuidasi ke seluruh unit kerja Polri.
Sebagai gantinya, dibentuk unit hubungan media (media relations) dengan tugas melayani
kebutuhan informasi para wartawan serta unit kerja sama antarlembaga.
Bagaimana memastikan setiap orang yang bergabung dalam Polri memiliki potensi
kehumasan yang memadai serta terkembangkan secara baik, itulah fondasi yang
patut dibangun ulang oleh Badrodin selaku kapolri nanti.
Spesifik dalam konteks kemelut yang sedang berlangsung,
sinkronisasi informasi yang disampaikan ke masyarakat merupakan keharusan
guna mencegah agar kekacauan tidak bergulung-gulung seperti bola salju.
Kejadian bahkan tak keliru disebut misteri kedua adalah dimutasinya Komjen
Suhardi Alius dari jabatan Kabareskrim Polri ke posisi Sestama Lemhanas.
Meski Polri mengemukakan alasan bahwa keputusan pemindahan
Suhardi sesuai rekam jejak Suhardi, gelombang skeptisisme publik tetap deras
menolak penjelasan yang Polri ajukan. Keragu-raguan masyarakat itu bertitik
tolak dari penilaian bahwa Polri hingga kini belum sungguh-sungguh menerapkan
pendekatan objektif sebagai mekanisme penentuan karier personelnya.
Pada satu sisi, profesionalisme selalu dikemukakan sebagai
rasionalisasi. Tapi, pada sisi lain, kasakkusuk nyaring terdengar bahwa
promosi maupun demosi di lembaga Polri lebih ditentukan oleh faktor-faktor
semisal urut kacang, baik berdasarkan usia karier maupun usia biologis, dan
kedekatan pribadi. Ketiadaan mekanisme objektif itu pula yang mendasari
syakwasangka bahwa di dalam organisasi Polri sekali lagi terdapat faksi-faksi.
Sehingga, ketika Suhardi “masuk kotak”, publik serta-merta
menyimpulkan bahwa Suhardi merupakan korban rivalitas antarfaksi dan Suhardi
bagian dari faksi yang kalah. Pemindahan Suhardi yang terkesan bukan
dilandasi penilaian akan faktor kompetensi mengirim pesan nyaring ke
Badrodin, dan para penerusnya ke depan, bahwa manajemen sumber daya manusia
(SDM) serta pendidikan dan pelatihan (diklat) Polri merupakan agenda
prioritas yang mutlak dilaksanakan.
SDM dan diklat yang terkelola modern merupakan indikasi
kesungguhan Polri dalam memosisikan para personel sebagai aset emas
organisasi. Hanya dengan sistem pengelolaan SDM dan diklat yang mantap,
perbincangan tentang visi dan pencapaian kinerja masing-masing personel
menjadi sesuatu yang relevan. Sekaligus, meminimalkan ruparupa politik
organisasi yang busuk semacam “lelang” jabatan, kolusi, dan nepotisme.
Isu penting ketiga dipicu oleh ditetapkannya Komjen Pol
Budi Gunawan oleh KPK sebagai tersangka. Pascapenetapantersebut, yang lantas
dianulir oleh hakim Sarpin Rizaldi pada sidang praperadilan, spontan bangkit
ingatan khalayak luas pada isu tentang rekening gendut sejumlah perwira
tinggi Polri. Bangkitnya memori publik menunjukkan bahwa pendisiplinan diri
seluruh anggota Polri oleh institusi Polri masih merupakan titik rawan yang
terus-menerus diperhatikanmasyarakat.
Memang wajar bila masyarakat meletakkan standar tinggi
bahwa Polri seharusnya mampu menjalankan misi kenabian sebagai acuan
kebenaran dan kesantunan. Namun, faktanya, di situ pula gumpalan kekecewaan
publik berlipat ganda; telanjur terbangun keyakinan publik bahwa solidaritas
korps Polri terejawantah ke dalam kebiasaan menutup-nutupi perilaku jahat
atau pun perilaku tidak etis para personelnya.
Berulangnya gontok-gontokan antara KPK dan Polri juga
mempertegas hukum alam bahwa bagi organisasi yang ruhnya berintikan pada jiwa
korsa, sorotan dari pihak eksternal hampir bisa dipastikan selalu ditanggapi
dengan perlawanan. Karena itu, Polri yang semestinya memaksimal peranperan
pengawasan internalnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan personel.
Untuk tujuan tersebut, fungsi profesi dan pengamanan
menjadi sektor terdepan. Pendisiplinan mengincar dua subkultur yang mewabah
di kebanyakan organisasi kepolisian, yaitu perilaku korupsi dan tindakan
brutal. “Save Polri-Selamatkan Polri”
, begitulah semboyan yang kini disuarakan ke segala penjuru. Tentu bukan
menyelamatkan Polri dari incaran KPK, melainkan dari hancur leburnya
kepercayaan “orang tua kandung Polri” alias masyarakat. Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar