Jumat, 27 Februari 2015

Diplomasi Antinarkoba

Diplomasi Antinarkoba

W Riawan Tjandra ;  Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta;
Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum UGM
MEDIA INDONESIA, 26 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

REAKSI keras dari beberapa negara atas pelaksanaan hukuman mati terhadap warga negara mereka yang sudah dan akan dijatuhi hukuman mati karena kasus-kasus kejahatan narkoba di Indonesia tetap perlu mendapat perhatian. Yang terpenting, jangan sampai menjadi hambatan bagi pelaksanaan hukuman mati tersebut. Apalagi, sampai melemahkan komitmen pemerintah dan rakyat Indonesia untuk menabuh genderang perang terhadap kartel narkoba. Sikap pemerintah untuk bersikap tegas dalam penerapan hukum antinarkoba sudah berada pada arah yang tepat dalam rangka mendorong terwujudnya negara bebas narkoba. Negara-negara berhak untuk menentukan kategorisasi perbuatan pidana yang layak dijatuhi hukuman mati sesuai dengan kedaulatan hukum dan politik yang dimiliki sebagai negara yang merdeka.Tak perlu ada kegalauan terkait dengan penerapan hukuman yang tegas terhadap para pelaku kejahatan narkoba di negeri ini.

Sudah ada garis demarkasi yang jelas dalam penerapan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan narkoba tersebut, yaitu hukuman mati secara selektif diterapkan hanya bagi para pelaku kejahatan narkoba yang kategorinya ialah sebagai pengedar atau bandar narkoba. Karena itu, terhadap korban penyalahgunaan narkoba lebih diefektifkan upaya rehabilitasi dan penyadaran agar tak mengulangi kejahatan yang sama. Paling sedikit terdapat 4 juta korban penyalahgunaan narkoba di Indonesia dan hanya sekitar 18 ribu yang direhabilitasi atau sekitar 0,47% dari total korban penyalahgunaan narkoba. 

Berdasarkan data BNN, tercatat 40 pemakai narkoba meninggal dunia setiap harinya. Tidak terhitung pula mereka yang putus sekolah dan tidak terhitung berapa banyak yang menjadi gila akibat efek narkoba serta zat-zat adiktif tersebut.

Reaksi keras dari beberapa negara, seperti Brasil, Belanda, dan kemudian juga Australia harus diletakkan secara proporsional sebagai hak dari setiap negara tersebut, sejauh sifatnya tidak mengganggu hubungan bilateral karena sikap-sikap yang merendahkan Indonesia.

Kasus penundaan penerimaan credential letter dari pemerintah Brasil memang terkesan merendahkan Indonesia karena dilakukan terhadap duta besar yang diutus secara resmi oleh Indonesia yang notabene merupakan representasi rakyat dan negara Indonesia di negara tersebut.Sangat dipahami reaksi keras pemerintah untuk segera memanggil pulang Duta Besar RI tersebut dan sekaligus mengajukan nota protes kepada Duta Besar Brasil di Jakarta. Sikap pemerintah Indonesia sudah sesuai dan tak melanggar etika hubungan antarnegara yang didasarkan atas prinsip kesetaraan dan saling menghormati.

Ke depan, Indonesia perlu mengembangkan diplomasi internasional antinarkoba dengan berbagai negara sahabat untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat menghormati negara-negara lain dalam relasi internasional, tetapi di sisi lain, berani bersikap tegas terhadap siapa pun pelaku kejahatan narkoba di Indonesia. Tak satu pun aturan hukum internasional yang melarang suatu negara mengatur kedaulatan hukumnya secara nasional sepanjang tak bertentangan dengan konvensi-konvensi internasional.

Indonesia juga memiliki kedaulatan penuh untuk mengatur secara nasional perangkat hukumnya sendiri untuk memerangi kejahatan narkoba yang memang sudah dikategorisasikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan negeri ini sudah memasuki kondisi darurat narkoba. Maka, cara-cara luar biasa juga dinilai layak untuk memerangi kejahatan narkoba tersebut.
Narkoba ibarat `terorisme terselubung' yang memiliki efek kerusakan sosial yang dahsyat dan bahkan bisa menyebabkan kematian sebuah generasi.

Bagian diplomasi

Meskipun perang terhadap kartel narkoba layak dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah Indonesia, tetap perlu memikirkan diplomasi antinarkoba dalam relasi internasional. Hofstede dan Matos (2004) dalam risetnya mengenai bahasa diplomasi mengatakan bahwa esensi dari bahasa diplomasi (diplomacy language) ialah menggunakan bahasa dengan cara-cara kondusif, guna mengonstruksi dan mendukung terwujudnya konsensus dan kolaborasi antarbangsa.

Bahasa diplomatik harus bisa bermakna peace-building, peace-making dan peace-promoting force. Berkaitan dengan sikap pemerintah RI untuk melaksanakan hukuman secara tegas terhadap pelaku kejahatan narkoba, hal itu harus menjadi bagian dari diplomasi dalam relasi bi/multi-lateral. Tak ada salahnya jika kebijakan antinarkoba tersebut selalu dikomunikasikan secara konsisten dalam setiap event dialog G to G. Bahkan, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) perlu mengoordinasikan para dubes, diplomat, maupun konsul RI di seluruh negara untuk gencar mengomunikasikan sikap tegas pemerintah RI saat ini terhadap kejahatan narkoba. Jika hal itu dikomunikasikan dengan baik kepada negara-negara sahabat, kiranya dapat meminimalisasikan reaksi negatif jika suatu saat sikap tegas tersebut dilakukan terhadap warga negara asing yang melakukan kejahatan narkoba di Indonesia.

Indonesia sendiri beberapa kali juga pernah mengajukan permintaan secara resmi kepada beberapa negara yang akan menghukum mati WNI karena melanggar aturan hukum di negara setempat sebagai reaksi keras dari publik di Tanah Air.

Hal yang sama kiranya juga terjadi di berbagai negara yang melakukan reaksi keras terhadap kebijakan pemerintah RI untuk melaksanakan hukuman mati terhadap warga negara asing yang melakukan kejahatan narkoba di Indonesia. Meskipun sebenarnya hukuman mati yang dijatuhkan secara normatif didasarkan atas hukum positif yang berlaku di Indonesia yang merupakan domain kedaulatan Indonesia, tetap diperlukan untuk mengembangkan diplomasi antinarkoba dengan negara-negara sahabat agar tidak menimbulkan retaknya hubungan bilateral.

Negara-negara sahabat harus bisa memisahkan antara hukuman mati terhadap kejahatan yang dilarang keras dilakukan di Indonesia dan relasi bilateral yang sejatinya tak terkait secara langsung dengan hukuman mati terhadap warga negaranya di negeri ini.Namun, karena pertalian antara politik domestik dengan politik bilateral antarnegara, hal semacam itu sering kali sulit dipisahkan tanpa kemampuan diplomasi yang baik dari kedua negara.

Sikap tegas pemerintah RI terhadap kejahatan narkoba perlu terus dikomunikasikan dengan menjelaskan bahwa upaya mengefektifkan penegakan hukum terhadap kejahatan narkoba pernah menjadi mandat dari Ketetapan MPR. Dalam upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum MPR 2002 melalui Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 telah direkomendasikan kepada DPR dan Presiden untuk melakukan perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Amandemen terhadap UU No 22 Tahun 1997 menjadi UU No 35 Tahun 2009 dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan kartel narkoba.

Realitas politik hukum semacam inilah yang perlu selalu dikomunikasikan oleh Kemenlu melalui para diplomat, duta besar maupun konsul-konsul RI di negara mana pun mereka berada.Tanpa adanya diplomasi yang efektif, maka reaksi keras dari negara-negara yang kebetulan warga negaranya melakukan kejahatan narkoba di Indonesia akan selalu terjadi.Bahkan, bukan tidak mungkin hal itu bisa memicu menjadi retaknya relasi bilateral karena tekanan domestik negaranegara sahabat juga berpotensi mengancam posisi politik para pejabat politik yang berkuasa di negara tersebut.

Kini, menjadi tugas Kemenlu untuk secara aktif membangun diplomasi efektif antinarkoba untuk menghadirkan muruah Nawacita dalam relasi internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar