Penyertaan
Modal Negara
Dani Setiawan ; Pegiat Asosiasi Ekonomi
Politik Indonesia
|
KOMPAS,
24 Februari 2015
Salah satu isu yang mendapat perhatian luas dalam
pembahasan RAPBN-P 2015 lalu adalah rencana pemerintah menambah penyertaan
modal negara (PMN) menjadi Rp 72,9 triliun, yang akan dialokasikan kepada 40
BUMN.
Jumlah penyertaan ini meningkat 1.328 persen atau sekitar
Rp 67,8 triliun dari alokasi APBN 2015 yang Rp 5,1 triliun. Dari total jumlah
ini, Kementerian BUMN mengajukan Rp 48,01 triliun untuk 35 perusahaan,
terdiri dari Rp 46,8 triliun PMN tunai dan Rp 1,21 triliun PMN nontunai.
Sisanya, sekitar Rp 27 triliun, PMN untuk BUMN di bawah Kementerian Keuangan.
Empat catatan
Pemberian PMN setidaknya dilatarbelakangi keinginan
pemerintah menjadikan BUMN sebagai salah satu penggerak utama pertumbuhan
ekonomi. Tak saja akan mendorong pengembangan BUMN itu sendiri, tetapi juga
menjadikan BUMN sebagai agen pembangunan nasional. Karena pentingnya
pembahasan PMN dalam RAPBN-P 2015, terdapat empat hal yang harus diperhatikan
pemerintah dan DPR dalam memutuskan mengenai tambahan PMN kepada sejumlah
BUMN.
Pertama, dalam penyelenggaraan suatu perekonomian yang
berlandaskan Pasal 33 UUD 1945, peranan BUMN mendapatkan posisi sangat
penting. Karena itu, tak bisa dihindari, keberadaan BUMN merupakan suatu
keinginan negara untuk menguasai bidang-bidang vital dan strategis. Ini
mengingat bidang itu menyangkut kepentingan umum dan masyarakat banyak.
Secara historis, penguasaan negara atas cabang-cabang produksi penting
mengandung misi ideologis. Yakni memastikan terjadinya transformasi
perekonomian kolonial menuju ekonomi nasional dalam sistem ekonomi
kerakyatan. Pengendalian atas cabang-cabang produksi yang penting dilakukan
dengan mengoptimalkan peran BUMN sebagai penggerak utama perekonomian
nasional.
Oleh karena itu, penambahan PMN dalam APBN-P 2015 haruslah
merupakan suatu strategi untuk menjadikan peranan BUMN yang semakin besar
dalam ekonomi nasional. Hal tersebut setidaknya dapat dilihat melalui tiga
hal: (1) meningkatnya pelayan publik yang memadai bagi seluruh rakyat
Indonesia karena negara (melalui BUMN) memiliki orientasi sosial dalam
penyelenggaraan kegiatan usahanya; (2) penciptaan lapangan pekerjaan yang
masif bagi seluruh rakyat Indonesia; dan (3) meningkatkan kontribusi BUMN
pada penerimaan negara.
Kontribusi ini tak hanya dihasilkan dari pengumpulan
pembayaran pajak oleh BUMN, tetapi juga yang dikumpulkan dari pembagian
keuntungan kepada negara atas penguasaan BUMN pada industri-industri strategis
seperti SDA. Peranan strategis BUMN dalam perekonomian nasional dengan
sendirinya mampu mengurangi kebergantungan kepada negara lain, baik dalam
bentuk modal maupun teknologi.
Kedua, dari 40 BUMN yang mendapat suntikan modal segar
dari pemerintah, alokasi PMN untuk pembangunan infrastruktur dan kemaritiman
mendapat alokasi paling besar, sekitar 69 persen dari total penyaluran PMN.
Alokasi PMN untuk sektor infrastruktur dan kemaritiman sebagian besar
disalurkan ke PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dengan alokasi Rp 20,3
triliun.
PT SMI adalah BUMN di bawah Kementerian Keuangan, yang
secara aktif mensponsori kerja sama pemerintah-swasta dalam pembangunan
infrastruktur di Indonesia. PT SMI memiliki anak perusahaan bernama PT
Indonesia Infrastructure Finance (IIF), yang sahamnya dimiliki bersama
sejumlah lembaga keuangan internasional, di antaranya ADB dan IFC. PT IIF
sepenuhnya dikelola sebagai perusahaan swasta yang ditujukan untuk membiayai
proyek infrastruktur, khususnya yang dilakukan pihak swasta yang dinilai
layak secara komersial.
Oleh sebab itu, total PMN infrastruktur dan kemaritiman Rp
50,7 triliun dalam APBN-P 2015 berpotensi tak sepenuhnya dinikmati BUMN.
Sekurang-kurangnya Rp 20,3 triliun diperuntukkan langsung bagi pembiayaan
sektor swasta yang pengelolaan infrastrukturnya dilakukan secara komersial.
Dari sisi ini, patutlah rakyat mewaspadai bahwa pemberian PMN infrastruktur
dalam RAPBN-P 2015 merupakan cara legal melakukan praktik komersialisasi
penyediaan infrastruktur di Indonesia.
Ketiga, suntikan dana APBN melalui PMN haruslah
mempertimbangkan kinerja BUMN dan masalah-masalah yang terjadi dalam tubuh
BUMN. Secara keseluruhan, nilai PMN kepada semua BUMN telah mencapai Rp 770,4
triliun per 31 Desember 2013. Dengan total aset sekitar Rp 4.467 triliun pada
2014, BUMN masih jadi pemain penting dalam ekonomi Indonesia.
Besarnya penyertaan modal negara dan makin bertambahnya
aset BUMN tidak serta-merta menjadikan kinerja BUMN makin membanggakan.
Sejumlah BUMN masih diliputi berbagai persoalan keuangan yang akut, bahkan
lebih parah lagi banyak BUMN dipaksa hanya mengejar keuntungan tanpa
mempertimbangkan fungsinya sebagai public service atau public utilities.
Berbagai persoalan di tubuh BUMN berasal dari banyak
faktor. Bahkan, tak jarang bersumber dari kebijakan pemerintah yang langsung
dan tidak langsung menyudutkan peran BUMN dalam perekonomian nasional. Sebut
saja bagaimana kebijakan impor pangan, termasuk gula, yang terus dilakukan
pemerintah sehingga stok gula di gudang-gudang BUMN menumpuk, tak bisa
terjual. Begitu pun dalam hal penempatan direksi dan komisaris atau dewan
pengawas BUMN yang cenderung mengabaikan profesionalisme dan tak
sungguh-sungguh memahami fungsi dan tugas BUMN sebagai pilar ekonomi nasional
yang diamanatkan oleh konstitusi.
Keempat, PMN harus berorientasi memperkuat modal BUMN,
sekaligus mengurangi ketergantungan BUMN pada pinjaman luar negeri yang sudah
sangat besar. Menurut BI, utang luar negeri (ULN) BUMN mengalami pertumbuhan
cukup signifikan. Akhir 2014, proporsi utang BUMN 29.107 miliar dollar AS
atau sekitar 18,13 persen dari total ULN swasta, meningkat 17,8 persen dari
2013 yang hanya sekitar 24.706 miliar dollar AS. Proporsi ULN BUMN per 2014
dapat dibagi jadi tiga kelompok peminjam: (1) bank, 3.411 miliar dollar AS;
(2) lembaga keuangan bukan bank, 1.616 miliar dollar AS; (3) perusahaan bukan
lembaga keuangan, 24.080 miliar dollar AS.
Jauhkan kekuasaan politik
Menurut jangka waktu pembayaran, rata-rata ULN swasta
(bank dan bukan bank) merupakan utang jangka panjang (lebih dari 1 tahun)
dengan total utang per November 2014 senilai 116.769 miliar dollar AS. Jika
kondisi ini terus dibiarkan, keberadaan utang BUMN justru menjadi malapetaka
bagi perekonomian nasional. Berdasarkan empat hal di atas, sudah sepatutnya
kita mengawasi agar pemberian PMN dilakukan semata-mata untuk meningkatkan
kinerja BUMN sebagai salah satu pilar penting dalam pembangunan nasional.
Pengelolaan BUMN harus semakin dijauhkan dari kekuasaan politik agar tidak
terjadi penyalahgunaan dan jadi sapi perahan bagi pihak penguasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar