Rabu, 25 Februari 2015

Berguru kepada Gunung

Berguru kepada Gunung

Indra Tranggono  ;  Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
KOMPAS, 24 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Alam telah berkali-kali memunculkan interupsi kepada umat manusia melalui banjir, gempa bumi, tanah longsor, dan letusan gunung. Banyak orang masih sering salah membacanya: interupsi dipahami sebagai bencana alam.

Alam tersinggung dengan pemahaman yang keseleo itu. Alam pun meradang, ”Lho apa salah kami, kok, selalu dipojokkan sebagai biang kerok bencana? Seolah-olah kami ini kejam, bengis, dan tega menari-nari di atas korban dan penderitaan manusia. Kami ini hanya menjalani hukum yang sudah digariskan Tuhan. Sebagaimana kalian para manusia, kami pun harus selalu berproses untuk menemukan keseimbangan baru. Risikonya, selalu ada guncangan, letusan, patahan bumi, dan banjir bandang yang kalian anggap sebagai bencana. Ini orkestrasi raksasa yang harus kalian pahami dengan ilmu, pengetahuan, akal sehat, kearifan, dan kemampuan manajerial. Jangan hanya bisa mengecam dan komplain!”

Tak berhenti di situ. Alam pun terus menggugat, ”Terus terang kami ini kelara-lara, sakit hati berkepanjangan karena kalian anggap sebagai produsen bencana. Mendadak kalian lupa selama ini kalian telah menikmati semua manfaat dan kebaikan yang telah kami berikan. Kami telah memberi kalian kesuburan dan penghidupan sehingga kalian bisa sejahtera dan bahagia.”

”Perkara kemakmuran itu tidak dibagi rata, itu bukan salah kami. Salahkan mereka yang punya kuasa untuk mengatur dan mendistribusikan kesejahteraan, tetapi curang. Tanyalah kepada pemerintah dan para penyelenggara negara. Saya jamin kalian tidak akan mendapatkan jawaban yang melegakan hati karena mereka terlalu pandai untuk bermain retorika.

Mendadak mereka berubah peran menjadi motivator dan lupa bahwa mereka itu sejatinya adalah motor perubahan dan distributor kesejahteraan bagi rakyat. Percaya, deh, mereka lebih banyak mengimbau para korban keadilan untuk selalu sabar dan berjiwa besar.”

Ada hal selalu menyedihkan alam. ”Kalian tahu, setiap kami menggelar orkestrasi besar macam gempa, banjir, dan gunung meletus, selalu muncul banyak proyek penanggulangan bencana. Kami bisa duduk manis atau tidur tenang jika peruntukan proyek itu memang benar dan sampai ke sasaran. Namun, yang namanya proyek, kan, tidak selalu steril dari hasrat untuk cari bathi/keuntungan. Masak, untuk urusan selimut saja enggak beres? Kami menangis, marah, dan selalu mendoakan para pengutil dana itu punther dan mlungker tangannya serta segera insaf dan mendapatkan jalan yang terang.”

”Perut kami juga sering mual melihat para aktor politik yang mendadak mendatangi korban, membawa beberapa dus mi instan dan disorot kamera. Teganya mereka mengeksploitasi penderitaan bangsa sendiri demi mendongkrak popularitas politiknya. Mereka menghina orang miskin dengan kekayaan dan kekuasaannya. Saya sangsi ketulusan masih ada di negeri ini. Jika mental rombeng macam ini masih bercokol, saya pun ragu bangsa ini mampu membangun kebudayaan untuk mencapai peradaban yang tinggi,” kata alam dengan gusar.

Cinta Tuhan

Di tengah berbagai perasaan yang teraduk-aduk, masih ada secercah refleksi di tengah orkestrasi alam yang menghebohkan. Ini terjadi, misalnya, ketika Gunung Kelud yang berdiri kokoh di perbatasan antara Blitar dan Kediri, Jawa Timur, itu meletus. Letusan setinggi 17 kilometer itu tidak hanya menyapu Jawa Timur, tetapi juga menimbulkan hujan abu vulkanik di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya pun lumpuh selama beberapa hari.

Kami warga DI Yogyakarta harus bertarung mengatasi abu dan debu vulkanik yang membahayakan bagi kesehatan itu. Namun, kami tidak marah dan mengutuk Kelud. Kami justru berterima kasih kepadanya karena telah bermurah hati mendistribusikan kesuburan ke kota kami.

Kami sangat mengapresiasi Kelud yang tidak punya kompleksitas kejiwaan, like and dislike, dan berpikir/bertindak dengan prinsip berdasarkan prasangka buruk, intoleran atas nama SARA (suku, agama, ras dan antargolongan). Kelud memberikan potensi kesuburannya secara adil dan merata. Ia memantulkan sifat-sifat mulia Tuhan: kasih sayang, baik hati, adil, dan pemberi kebaikan.

Kami pun berguru kepada Kelud, juga kepada gunung-gunung lainnya, dalam keteguhan memegang prinsip-prinsip dasar tentang cinta, kebenaran, keindahan, dan keadilan. Cinta merupakan magma rohani yang memancar, teraktualisasi membangun kebenaran obyektif untuk menebus dunia yang mengalami ketidakutuhan dalam nilai-nilai dan sarat penderitaan manusia. Keindahan dan keadilan merupakan wujud penebusan itu.

Cinta alam, cinta Gunung Kelud, dan gunung-gunung lainnya kepada manusia merupakan pantulan cinta Tuhan kepada semua makhluk yang diciptakan-Nya. Karena itu, gunung-gunung bisa tersinggung jika dianggap marah dan mengamuk ketika mereka menggelar orkestrasi vulkanik yang eksplosif. ”Pers kadang terlalu mendramatisasi,” ujarnya.

Saya tidak tahu apakah para pemimpin negeri ini juga berguru kepada alam, kepada gunung-gunung, tentang kebenaran obyektif, keindahan, dan keadilan dalam menjalankan peran sosialnya. Jika sudah belajar, kita pun wajib bertanya: kenapa berbagai ketidakadilan tetap saja menganga dan mengerkah banyak korban?

Kita berdoa, semoga gunung-gunung yang telah menggelar orkestrasi vulkanik dengan ungkapan penuh cinta itu tidak muspra, tidak sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar