Minggu, 22 Februari 2015

Keputusan Melegakan

Keputusan Melegakan

Umbu TW Pariangu  ;  Dosen Fisipol Undana, Kupang
KORAN TEMPO, 21 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Gonjang-ganjing nasib Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) terjawab sudah. Presiden akhirnya membatalkan pelantikan BG dan mengusulkan calon baru Kapolri, yaitu Komjen Badrodin Haiti. Presiden juga menghentikan sementara kedua pemimpin KPK yang sedang menjadi tersangka, yakni Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Sebagai gantinya, Presiden mengangkat Plt KPK, yakni Taufiqurrahman Ruki, Indriyanto Senoadji, dan Johan Budi SP.

Rupanya butuh kejelian dan ketepatan kalkulasi untuk memutuskan nasib calon Kapolri, sampai-sampai Presiden harus berkantor di Istana Bogor terhitung sejak Senin lalu. Mungkin Presiden merasa harus "bersemedi" untuk menyaring suara-suara yang mengerubungi dinding Istana, agar tak ditorpedo pertimbangan-pertimbangan pragmatis, yang berpotensi menjauhkan jarak sensitivitasnya dari kehendak publik.

Seandainya saja BG dilantik, air bah penolakan dari publik akan bergemuruh. Jika membatalkan pelantikan pun, Presiden bakal dituduh menghina keputusan parlemen. Namun syukurlah polemik tersebut dapat teratasi persis di depan cermin bening etika dan moralitas. Bagaimanapun, dari segi etika, seseorang calon pejabat publik, apalagi sekelas Kepala Polri, jika namanya sudah disebut-sebut dalam sejumlah kasus dan menjadi sorotan perbincangan publik yang luas, dapat dibilang tak lagi memiliki legitimasi sebagai pejabat publik.

Itu sebabnya Thomas Aquinas (1225–1274) berkata, "Orang-orang benar menjadi hukum bagi dirinya sendiri". Kebenaran yang melekat dalam status seseorang tak ditentukan secara mutlak oleh dalil-dalil hukum dan keputusan politik semata, melainkan oleh nilai-nilai etika, kejujuran, kebajikan, dan akuntabilitas moral.

Benar, bahwasanya keputusan DPR bisa menjadi basis hukum dalam melantik BG. Namun keputusan tersebut telanjur kehilangan bobot moralnya karena diambil saat BG dinyatakan sebagai tersangka. Ungkapan latin, quid leges sine moribus (apa artinya hukum, jika tidak disertai moralitas?) mungkin menjadi penjelas pamungkasnya. Sejak awal pun Tim 9 maupun para ahli hukum tata negara tidak setuju BG dilantik hanya berdasarkan hasil gugatan praperadilan. Ditakutkan, Presiden akan terseret dalam blunder hukum selanjutnya karena dianggap menggunakan subyektivitas (prerogatif) memilih sosok Kapolri yang memiliki kepercayaan (trust) rendah.

Kini, jalan relatif lebih aman berhasil diretas Presiden. Rakyat dan seluruh bangsa lega. Memang, membatalkan pelantikan BG bukannya tanpa risiko, karena akan memicu menggelindingnya bola pemakzulan di DPR.

Namun, melihat dinamika politik yang kian cair, disertai keterampilan komunikasi politik Jokowi maupun Jusuf Kalla yang mulai terlihat berani berkeputusan, upaya-upaya politis tersebut bakal masuk angin, seperti "nafsu" interpelasi dalam hal penaikan harga BBM, yang kemudian meredup seiring dengan berjalannya waktu.Lagi pula, meski kecewa atas keputusan Presiden tersebut, politikus PDIP Trimedya Pandjaitan mengatakan DPR tak akan mengajukan hak interpelasi atau hak bertanya kepada Presiden.

Kini Presiden makin menyadari seharusnya memang ia tak perlu ragu atas sejumlah risiko dan ancaman politik yang ada, selama merasa benar-benar lahir dari rahim normal dukungan dan daulat publik, bukan dari operasi caesar kompromi politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar