Rabu, 25 Februari 2015

Banjir Kata Gubernur Ahok

Banjir Kata Gubernur Ahok

Agus Dermawan T  ;  Pengamat Budaya dan Seni
KORAN TEMPO, 24 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok adalah gunung berapi aktif, yang setiap letusannya menyemburkan bebatuan kata-kata. Bahasanya keras dan tajam. Terakhir, berkaitan dengan banjir di Jakarta, ia memberondong Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan kalimat yang mengecam. “Pemadaman listrik menyebabkan pompa kagak jalan. Ini gila. Ini sabotase!” katanya.

Tentu para pejabat PLN tergeragap, kemudian bergumam agar Ahok mengubah gaya bertuturnya dengan bahasa yang lebih sopan. Atas saran itu, mungkin Ahok akan menggelengkan kepala. Lantaran ia merasa bahwa kajian filsafat bahasa Wittgenstein jauh-jauh hari justru tidak menyalahkan apa yang ia ucapkan.

Sebagaimana Wittgenstein, Ahok memang memposisikan bahasa hanya sebagai terjemahan dari fakta, sehingga apa pun yang diucapkan, asal berangkat dari fakta, tidaklah bisa keliru. Ahok, lewat tutur bahasanya yang ternyata “kasar”, sesungguhnya memang hanya menegaskan fakta yang pernah terjadi. Sedangkan dari dalam pengungkapan fakta itu barulah muncul obyek (sebagai unsur dari fakta), yang dalam konteks banjir kemarin adalah PLN. Dalam luapan ucapan Ahok, si obyek alias PLN bukanlah ihwal yang paling pokok.

Dengan pengetengahan fakta (dan pemunculan obyek) itu, apa yang dikemukakan Ahok sekonyong-konyong menjadi realitas baru. Dan realitas baru itu bisa menyampaikan “maksud jelas” apabila di dalamnya termuat reference (rujukan). Dalam konteks banjir dan Ahok kemarin, “maksud jelas” yang tersirat adalah “perbaikan sistem”. Walhasil, apa yang dikemukakan Ahok dalam gaya bahasa apa pun memperoleh pembenaran ala Wittgenstein. Sebab, substansi isi ledakan bahasanya benar, dan muara dari maksud yang dia tuturkan juga benar.

Tapi, untuk publik Indonesia yang biasa bersantun ria, tutur kata dan gaya bahasa yang terlalu terang itu jadi masalah. Atas hal ini, kajian filsafat bahasa lain memberikan penjelasan. Noam A. Chomsky menganggap bahasa sebagai persoalan “dari dalam”. Aspek ini diistilahkan sebagai Language Acquisition Device (LAD), yang dalam kosmologi bahasa Melayu disebut Alat Pemerolehan Bahasa (APB). Suatu sistem yang memungkinkan semua manusia (anak-anak) normal memperoleh bahasa pertamanya di luar kesadaran dan tanpa pengajaran formal (Muhammad Khoyin, 2013).

Namun demikian, Chomsky yakin akal manusia akan menemukan bahasa yang sifatnya umum, karena komunikasi antarpersona dan antarkomunitas memaksa terjadinya hubungan bahasa yang saling mengisi. Bahkan hubungan antarsuku dan bangsa bisa saling mempengaruhi. Bahasa yang kaku akan jadi luwes. Yang kasar menjadi lebih halus, dan sebaliknya. Pendapat ini meyakini bahwa akal manusia adalah ruang besar tabula rasa (bersih dan terbuka) yang diam-diam mengambil, menerima, menyimpan, dan menafsirkan segala pengetahuan yang ditanggapi oleh pancaindra.

Sudah waktunya Pak Gubernur Ahok, atau Zhong Wan Xie, yang “dari dalam”nya mewarisi kekerasan dan kekasaran tutur, mengkaji ulang filsafat bahasanya. Agar pusaran politik dan birokrasi Indonesia yang (kadang) pokrol bambu tidak punya alasan untuk menggempurnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar