Banjir
Kata Gubernur Ahok
Agus Dermawan T ; Pengamat Budaya dan Seni
|
KORAN
TEMPO, 24 Februari 2015
Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaya Purnama atau Ahok adalah gunung berapi aktif, yang setiap letusannya
menyemburkan bebatuan kata-kata. Bahasanya keras dan tajam. Terakhir,
berkaitan dengan banjir di Jakarta, ia memberondong Perusahaan Listrik Negara
(PLN) dengan kalimat yang mengecam. “Pemadaman listrik menyebabkan pompa
kagak jalan. Ini gila. Ini sabotase!” katanya.
Tentu para pejabat PLN tergeragap,
kemudian bergumam agar Ahok mengubah gaya bertuturnya dengan bahasa yang
lebih sopan. Atas saran itu, mungkin Ahok akan menggelengkan kepala. Lantaran
ia merasa bahwa kajian filsafat bahasa Wittgenstein jauh-jauh hari justru
tidak menyalahkan apa yang ia ucapkan.
Sebagaimana Wittgenstein, Ahok
memang memposisikan bahasa hanya sebagai terjemahan dari fakta, sehingga apa
pun yang diucapkan, asal berangkat dari fakta, tidaklah bisa keliru. Ahok,
lewat tutur bahasanya yang ternyata “kasar”, sesungguhnya memang hanya
menegaskan fakta yang pernah terjadi. Sedangkan dari dalam pengungkapan fakta
itu barulah muncul obyek (sebagai unsur dari fakta), yang dalam konteks
banjir kemarin adalah PLN. Dalam luapan ucapan Ahok, si obyek alias PLN
bukanlah ihwal yang paling pokok.
Dengan pengetengahan fakta (dan
pemunculan obyek) itu, apa yang dikemukakan Ahok sekonyong-konyong menjadi
realitas baru. Dan realitas baru itu bisa menyampaikan “maksud jelas” apabila
di dalamnya termuat reference (rujukan). Dalam konteks banjir dan Ahok
kemarin, “maksud jelas” yang tersirat adalah “perbaikan sistem”. Walhasil,
apa yang dikemukakan Ahok dalam gaya bahasa apa pun memperoleh pembenaran ala
Wittgenstein. Sebab, substansi isi ledakan bahasanya benar, dan muara dari
maksud yang dia tuturkan juga benar.
Tapi, untuk publik Indonesia yang
biasa bersantun ria, tutur kata dan gaya bahasa yang terlalu terang itu jadi
masalah. Atas hal ini, kajian filsafat bahasa lain memberikan penjelasan.
Noam A. Chomsky menganggap bahasa sebagai persoalan “dari dalam”. Aspek ini
diistilahkan sebagai Language Acquisition Device (LAD), yang dalam kosmologi
bahasa Melayu disebut Alat Pemerolehan Bahasa (APB). Suatu sistem yang
memungkinkan semua manusia (anak-anak) normal memperoleh bahasa pertamanya di
luar kesadaran dan tanpa pengajaran formal (Muhammad Khoyin, 2013).
Namun demikian, Chomsky yakin akal
manusia akan menemukan bahasa yang sifatnya umum, karena komunikasi
antarpersona dan antarkomunitas memaksa terjadinya hubungan bahasa yang saling
mengisi. Bahkan hubungan antarsuku dan bangsa bisa saling mempengaruhi.
Bahasa yang kaku akan jadi luwes. Yang kasar menjadi lebih halus, dan
sebaliknya. Pendapat ini meyakini bahwa akal manusia adalah ruang besar
tabula rasa (bersih dan terbuka) yang diam-diam mengambil, menerima,
menyimpan, dan menafsirkan segala pengetahuan yang ditanggapi oleh
pancaindra.
Sudah waktunya Pak Gubernur Ahok,
atau Zhong Wan Xie, yang “dari dalam”nya mewarisi kekerasan dan kekasaran
tutur, mengkaji ulang filsafat bahasanya. Agar pusaran politik dan birokrasi
Indonesia yang (kadang) pokrol bambu tidak punya alasan untuk menggempurnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar