Senin, 23 Februari 2015

Putusan Hakim Sarpin yang Mencerahkan

Putusan Hakim Sarpin yang Mencerahkan

Romli Atmasasmita  ;  Guru Besar (Emeritus) Hukum Pidana
KORAN SINDO, 23 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Putusan praperadilan yang dipimpin hakim Sarpin Rizaldi, seorang hakim senior dengan golongan pangkat IV/D, telah mengundang prokontra.

Penulis yang memberikan keterangan ahli dari pihak Budi Gunawan dan Divisi Hukum Mabes Polri serta secara langsung mengalami dan melihat sosok hakim senior Sarpin dapat mengatakan kepada publik bahwa ia sosok hakim yang berani, tegas, dan mumpuni dari sisi ilmu hukum.

Bahkan dalam beberapa kesempatan tanya jawab, hakim Sarpin ikut membantu kuasa hukum Budi Gunawan dan KPK untuk memperbaiki pertanyaannya sehingga pertanyaan hanya meminta pendapat ahli, bukan penilaian ahli terhadap fakta kasus yang dituduhkan kepada Budi Gunawan.

Berbeda dengan mantan hakim agung RI yang juga kolega senior dari hakim Sarpin, penulis mengapresiasi hakim Sarpin karena dari pengalamannya sebagai hakim senior dan dalam pertimbangannya menunjukkan bahwa yang bersangkutan memahami betul hakikat lembaga praperadilan dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu berdasarkan UU RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hakikat ini tidak banyak orang, sekalipun ahli hukum pidana, memahami dengan sungguhsungguh dan baik.

Para ahli hukum pidana dan pengamat nonhukum mengkritik keyakinan hakim Sarpin. Padahal keyakinan tersebut dilindungi UU RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 3 ayat (2) yang menegaskan bahwa “segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman DILARANG (huruf besar, pen), kecuali dalam halhal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945”; bahkan terdapat ancaman pidana terhadap siapa saja (ayat 3).

Semua warga negara Indonesia seharusnya menjunjung tinggi kedaulatan hakim di dalam memeriksa dan memutus suatu perkara; tidak malah mem-bully setiap hakim yang memeriksa dan memutus perkara tipikor jauh sebelum hakim bersidang. Kebiasaan buruk dan tidak terpuji yang selalu dilakukan LSM antikorupsi ini seharusnya tidak perlu terjadi di dalam demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bukan konstitusi AS atau Inggris!

Begitu pula tokoh-tokoh masyarakat yang latah mencampuri kekuasaan kehakiman dengan menyampaikan opini kepada publik tanpa yang bersangkutan memiliki pengetahuan hukum sedikit pun kecuali hanya “katanya” (testimonium de auditu).

Pengamatan saya selaku ahli terhadap sikap pengamat, tokoh masyarakat, dan ahli hukum yang tidak memiliki kompetensi hukum pidana memprihatinkan ketika mereka mengatakan “apa pun yang diputuskan hakim harus kita hormati”, tetapi dalam kenyataannya mereka menjadi munafik ketika putusan hakim tidak sesuai dengan kehendak hatinya dan berlomba-lomba mengkritik keyakinan hakim seperti terjadi pada hakim senior Sarpin.

Dalam konteks inilah penulis sangat mengapresiasi sikap dan keyakinan hakim Sarpin yang dengan tegar dan cerdas memutus permohonan praperadilan Budi Gunawan tanpa ada rasa takut dan ragu-ragu dan dipersiapkan dengan baik. Jika membaca petikan putusan hakim Sarpin, penulis melihat bahwa pertimbangan putusannya telah sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.

Aturan tersebut memerintahkan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat dimaksud adalah sejalan dengan perkembangan HAM Internasional dan UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan hakikat perlindungan HAM yang tecermin dari ketentuan Bab XA UUD 1945 tentang HAM.

Pascaratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Hak Sosial dan Hak Politik, dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005, seharusnya setiap bentuk tindakan aparatur negara termasuk penyidik dan penuntut yang diduga telah melanggar hak-hak asasi tersebut dapat dimintakan perlindungan kepada lembaga praperadilan.

Kesempatan tersebut tidak terbatas pada alasan-alasan apa yang telah ditentukan secara limitatif di dalam Pasal 77 KUHAP dengan dasar perkembangan kebutuhan perlindungan HAM setiap orang terlepas dari latar belakang etnis, sosial, ekonomi dan kedudukannya dalam masyarakat dari penyalahgunaan wewenang oleh aparatur hukum.

Menurut Remmelink (2003), setelah lahirnya Konvensi Uni Eropa tentang HAM, Pasal 1 KUHAP Belanda, yang menyatakan bahwa hukum acara pidana yang berlaku adalah hukum acara yang ditentukan dalam undang-undang ini (KUHAP), tidak lagi bersifat mutlak.

Contoh, proses perolehan bukti perkara pidana merupakan persoalan serius; tidak lagi hanya cukup bahwa telah ada bukti permulaan yang cukup. Begitu pula dalam konteks penetapan sebagai tersangka, tidak cukup hanya keabsahan proses administrasi semata, melainkan harus diuji keabsahan perolehan bukti permulaan yang cukup sehingga seseorang ditetapkan menjadi tersangka.

Putusan hakim Sarpin merupakan peringatan terhadap setiap aparatur penegak hukum, tidak terbatas pada KPK, untuk bertindak hati-hati dan tidak menyalahgunakan wewenang. Putusan hakim Sarpin menurut penulis merupakan putusan yang monumental (landmark decision) yang membuka ruang bagi setiap orang di dalam wilayah hukum NKRI untuk mempersoalkan pelanggaran HAM dalam proses penyidikan dan penuntutan.

Secara teoretik, pertimbangan hakim Sarpin dalam putusannya merupakan penemuan hukum (rechtsvinding) dan telah sejalan dengan hukum sebagai sistem norms and logic yang dapat membawa pencerahan kepada masyarakat (Mochtar Kusumaatmadja), hukum tentang perilaku (alm Satjipto Rahardjo), dan hukum sebagai sistem nilai (Romli Atmasasmita).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar