Muhabalah
dan Sumpah Pocong
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum
Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 21 Februari 2015
Setelah pada awal pekan ini, 16 Februari 2015, hakim
Sarpin Rizaldi mengetokkan palu bahwa penetapan Komjen Pol Budi Gunawan
sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sah, maka
saling kecam dan saling bully
antarpendukung KPK dan Budi Gunawan memanas.
Ada yang mengecam hakim karena dianggapnya merusak tata
hukum. Ada yang bersorak dan menuding KPK keok dan terbukti telah melakukan
tindakan sewenang-wenang dalam menetapkan seorang tersangka. Oleh para
penyerangnya KPK semakin dipojokkan dengan pemberhentian sementara Abraham
Samad dan Bambang Widjojanto karena telah ditetapkan menjadi tersangka oleh
Polri dalam tindak pidana umum dan diberhentikan sementara oleh Presiden.
Di jejaring sosial saling serang itu lebih seru dan liar,
banyak yang tanpa argumen dan menyesatkan pemahaman. Misalnya ada cuitan di
Twitter yang kemudian di-retweet secara berantai bahwa yang menimpa KPK
sekarang ini membuktikan bahwa mubahalah sedang bekerja dan terjadi di KPK.
Bagi orang yang paham sedikit saja tentang fikih Islam,
pastilah segera tahu bahwa yang mencuitkan mubahalah bekerja di KPK itu tidak
paham arti mubahalah. Mubahalah adalah saling bersumpah dan kesediaan
menerima laknat Allah melalui ritual atau cara tertentu jika keterangan atau
tuduhan dan bantahannya tidak benar.
Di dalam mubahalah kedua pihak yang berselisih sama-sama
menyatakan, “Kalau Anda benar dan saya salah maka saya bersedia dilaknat oleh
Allah.” Di dalam syariat Islam ketentuan tentang mubahalah tercantum di dalam
Alquran, Surat Ali Imran ayat (61) yang diturunkan oleh Allah karena
pertentangan paham akidah yang sangat penting antara umat islam dan kaum
Kristen.
Seorang pendeta Kristen dari Najran bersikeras bahwa Isa
(Jesus) anak Allah sedangkan menurut Islam Isa adalah manusia biasa yang
diangkat menjadi nabi. Untuk menyelesaikan perbedaan tajam yang tidak bisa
dipertemukan itu maka Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengajak
pendeta Najran melakukan mubahalah, yakni sama-sama bersumpah bahwa dirinya
benar dan siapa yang tidak benar bersedia mendapat laknat dari Allah.
Setelah bermusyawarah dengan keluarganya, pendeta dari
Najran itu tidak bersedia ber-mubahalah dan memilih membayar jizyah (denda) atas pernyataan-pernyataannya.
Pada masa-masa sesudah Nabi Muhammad sering dilakukan mubahalah untuk
menyelesaikan perselisihan yang tidak mencapai titik temu sehingga
perselisihan diakhiri dan masing-masing menyerahkan akibatnya kepada Allah
dengan bersedia dilaknat jika berdusta.
Jadi, yang namanya mubahalah ada cara ritualnya, yakni
bersumpah dengan kalimat dan cara tertentu dan dengan saksi-saksi resmi,
yakni keluarga terdekat semua pihak yang bermubahalah. Di dalam masyarakat
kita dikenal juga adanya sumpah pocong. Dalam praktiknya sumpah pocong sering
dicampur-aduk dengan ritual agama secara bidah dan khurafat.
Misalnya, pihak-pihak yang bersumpah dibungkus dengan kain
kafan seperti mayat, kemudian ditidurkan di shaf masjid dan dituntun oleh
pemuka agama setempat untuk saling bersumpah, bersedia dilaknat oleh Allah
jika dirinya bohong. Sumpah pocong ini sering ditakuti oleh orang yang
berbohong karena ada kepercayaan bahwa laknat Tuhan akan terjadi secepatnya,
misalnya, mati disambar petir, mati terbakar seluruh keluarga, mati tertimpa
pohon, atau ditabrak mobil.
Dalam semua perkara yang pernah ditangani oleh KPK, sejak
berdirinya pada tahun 2003, tidak pernah ada mubahalah. Tidaklah benar dan
mengada-ada kalau dikatakan bahwa akibat mubahalah sekarang sedang bekerja di
KPK. Sebab KPK maupun orang yang diadili karena dakwaan korupsi tak pernah
ber-mubahalah.
Memang terkadang ada juga yang menantang sumpah pocong
atau ber-mubahalah, tetapi tantangan itu tak pernah dipenuhi. Sesaat setelah
dijatuhi vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, misalnya, Anas Urbaningrum
mengajak mubahalah, tetapi mubahalah itu tak pernah terjadi. Sejak dulu KPK
tak pernah meladeni ajakan sumpah pocong atau mubahalah, melainkan melakukan
pembuktian melalui proses peradilan yang di dalamnya memang ada sumpah.
Di pengadilan memang ada acara sumpah untuk para saksi
tetapi hanya sumpah biasa, bukan sumpah pocong dan bukan mubahalah. Sistem
peradilan kita tidak mengenal sumpah pocong atau mubahalah. Oleh sebab itu,
ketika beredar cuitan bahwa apa yang menimpa KPK sekarang ini adalah karena
bekerjanya mubahalah, agar tidak menyesatkan, saya pun bercuit bahwa apa yang
terjadi di KPK tak ada urusannya dengan mubahalah-mubahalahan.
Kalaulah peristiwa yang terjadi di KPK ini akan dikaitkan
dengan kasus Anas Urbaningrum yang dipidana dan pernah menantang mubahalah,
maka frase “mubahalah sedang bekerja” juga salah karena dua hal. Pertama, tak
pernah ada pelaksanaan mubahalah sebab tantangan Anas tak ditanggapi sama
sekali baik oleh hakim maupun oleh KPK.
Kedua, jauh sebelum adanya tantangan mubahalah KPK sendiri
selalu mendapat hantaman dari delapan penjuru angin. Kalaulah mau dipaksa
dikait-kaitkan maka, mungkin, istilah awam yang ada hubungannya adalah
kualat, bukan mubahalah. Hantaman yang terjadi pada 2009 malah lebih dahsyat.
Komisi pemberantasan korupsi di seluruh dunia memang selalu mendapat hantaman
dengan berbagai cara.
Tak ada urusan dengan laknat karena mubahalah. Lagi pula,
kalau soal laknat Allah terhadap korupsi atau penyuapan, itu tak perlu pakai
mubahalah segala karena sudah ada Hadis sahih, “Laknatullah ala al-raasyi wa al-murtasyi.“ Terjemahannya: Allah melaknat penyuap dan penerima suap.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar