Minggu, 22 Februari 2015

Muhabalah dan Sumpah Pocong

Muhabalah dan Sumpah Pocong

Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 21 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Setelah pada awal pekan ini, 16 Februari 2015, hakim Sarpin Rizaldi mengetokkan palu bahwa penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sah, maka saling kecam dan saling bully antarpendukung KPK dan Budi Gunawan memanas.

Ada yang mengecam hakim karena dianggapnya merusak tata hukum. Ada yang bersorak dan menuding KPK keok dan terbukti telah melakukan tindakan sewenang-wenang dalam menetapkan seorang tersangka. Oleh para penyerangnya KPK semakin dipojokkan dengan pemberhentian sementara Abraham Samad dan Bambang Widjojanto karena telah ditetapkan menjadi tersangka oleh Polri dalam tindak pidana umum dan diberhentikan sementara oleh Presiden.

Di jejaring sosial saling serang itu lebih seru dan liar, banyak yang tanpa argumen dan menyesatkan pemahaman. Misalnya ada cuitan di Twitter yang kemudian di-retweet secara berantai bahwa yang menimpa KPK sekarang ini membuktikan bahwa mubahalah sedang bekerja dan terjadi di KPK.

Bagi orang yang paham sedikit saja tentang fikih Islam, pastilah segera tahu bahwa yang mencuitkan mubahalah bekerja di KPK itu tidak paham arti mubahalah. Mubahalah adalah saling bersumpah dan kesediaan menerima laknat Allah melalui ritual atau cara tertentu jika keterangan atau tuduhan dan bantahannya tidak benar.

Di dalam mubahalah kedua pihak yang berselisih sama-sama menyatakan, “Kalau Anda benar dan saya salah maka saya bersedia dilaknat oleh Allah.” Di dalam syariat Islam ketentuan tentang mubahalah tercantum di dalam Alquran, Surat Ali Imran ayat (61) yang diturunkan oleh Allah karena pertentangan paham akidah yang sangat penting antara umat islam dan kaum Kristen.

Seorang pendeta Kristen dari Najran bersikeras bahwa Isa (Jesus) anak Allah sedangkan menurut Islam Isa adalah manusia biasa yang diangkat menjadi nabi. Untuk menyelesaikan perbedaan tajam yang tidak bisa dipertemukan itu maka Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengajak pendeta Najran melakukan mubahalah, yakni sama-sama bersumpah bahwa dirinya benar dan siapa yang tidak benar bersedia mendapat laknat dari Allah.

Setelah bermusyawarah dengan keluarganya, pendeta dari Najran itu tidak bersedia ber-mubahalah dan memilih membayar jizyah (denda) atas pernyataan-pernyataannya. Pada masa-masa sesudah Nabi Muhammad sering dilakukan mubahalah untuk menyelesaikan perselisihan yang tidak mencapai titik temu sehingga perselisihan diakhiri dan masing-masing menyerahkan akibatnya kepada Allah dengan bersedia dilaknat jika berdusta.

Jadi, yang namanya mubahalah ada cara ritualnya, yakni bersumpah dengan kalimat dan cara tertentu dan dengan saksi-saksi resmi, yakni keluarga terdekat semua pihak yang bermubahalah. Di dalam masyarakat kita dikenal juga adanya sumpah pocong. Dalam praktiknya sumpah pocong sering dicampur-aduk dengan ritual agama secara bidah dan khurafat.

Misalnya, pihak-pihak yang bersumpah dibungkus dengan kain kafan seperti mayat, kemudian ditidurkan di shaf masjid dan dituntun oleh pemuka agama setempat untuk saling bersumpah, bersedia dilaknat oleh Allah jika dirinya bohong. Sumpah pocong ini sering ditakuti oleh orang yang berbohong karena ada kepercayaan bahwa laknat Tuhan akan terjadi secepatnya, misalnya, mati disambar petir, mati terbakar seluruh keluarga, mati tertimpa pohon, atau ditabrak mobil.

Dalam semua perkara yang pernah ditangani oleh KPK, sejak berdirinya pada tahun 2003, tidak pernah ada mubahalah. Tidaklah benar dan mengada-ada kalau dikatakan bahwa akibat mubahalah sekarang sedang bekerja di KPK. Sebab KPK maupun orang yang diadili karena dakwaan korupsi tak pernah ber-mubahalah.

Memang terkadang ada juga yang menantang sumpah pocong atau ber-mubahalah, tetapi tantangan itu tak pernah dipenuhi. Sesaat setelah dijatuhi vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, misalnya, Anas Urbaningrum mengajak mubahalah, tetapi mubahalah itu tak pernah terjadi. Sejak dulu KPK tak pernah meladeni ajakan sumpah pocong atau mubahalah, melainkan melakukan pembuktian melalui proses peradilan yang di dalamnya memang ada sumpah.

Di pengadilan memang ada acara sumpah untuk para saksi tetapi hanya sumpah biasa, bukan sumpah pocong dan bukan mubahalah. Sistem peradilan kita tidak mengenal sumpah pocong atau mubahalah. Oleh sebab itu, ketika beredar cuitan bahwa apa yang menimpa KPK sekarang ini adalah karena bekerjanya mubahalah, agar tidak menyesatkan, saya pun bercuit bahwa apa yang terjadi di KPK tak ada urusannya dengan mubahalah-mubahalahan.

Kalaulah peristiwa yang terjadi di KPK ini akan dikaitkan dengan kasus Anas Urbaningrum yang dipidana dan pernah menantang mubahalah, maka frase “mubahalah sedang bekerja” juga salah karena dua hal. Pertama, tak pernah ada pelaksanaan mubahalah sebab tantangan Anas tak ditanggapi sama sekali baik oleh hakim maupun oleh KPK.

Kedua, jauh sebelum adanya tantangan mubahalah KPK sendiri selalu mendapat hantaman dari delapan penjuru angin. Kalaulah mau dipaksa dikait-kaitkan maka, mungkin, istilah awam yang ada hubungannya adalah kualat, bukan mubahalah. Hantaman yang terjadi pada 2009 malah lebih dahsyat. Komisi pemberantasan korupsi di seluruh dunia memang selalu mendapat hantaman dengan berbagai cara.

Tak ada urusan dengan laknat karena mubahalah. Lagi pula, kalau soal laknat Allah terhadap korupsi atau penyuapan, itu tak perlu pakai mubahalah segala karena sudah ada Hadis sahih, “Laknatullah ala al-raasyi wa al-murtasyi.“ Terjemahannya: Allah melaknat penyuap dan penerima suap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar