Hari
Ini, Hari Rekonsiliasi
Refly Harun ; Ahli Hukum Tatanegara
|
DETIKNEWS,
24 Februari 2015
Lupakan dulu KPK. Ketepikan dulu Polri. Hilangkan dulu
gonjang-ganjing KPK-Polri. Hari ini, 24 Februari, tak sekadar penting bagi
hidup saya, karena kebetulan istri saya, Yuyun Hairunisa, berulang tahun.
Tidak usah ditanya ulang tahun keberapa karena wanita biasanya sensitif
terhadap usia. Hari ini adalah hari ketika sejarah dituliskan. Tak banyak
yang sadar – untuk mengatakan sedikit sekali atau hampir tidak ada – sebelas
tahun lalu Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan soal nasib eks-PKI dan
organisasi yang terafiliasi.
MK membatalkan ketentuan Pasal 60 huruf g UU Nomor 12
Tahun 2003 tentang Pemilu (UU Pemilu 2013) yang berbunyi, “(Calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi syarat): [g] bukan bekas anggota
organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massa,
atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S PKI
atau organisasi terlarang lainnya.”
Saya merekam betul dalam ingatan putusan yang dibacakan di
kantor lama MK, Jl. Medan Merdeka Barat Nomor 7 (kantor MK sekarang bernomor
6), selama 1 jam 54 menit. Saat itu saya menjabat sebagai asisten hakim atau
staf ahli hakim di MK. Saya menulis artikel di Harian Kompas dua hari
kemudian dengan judul Saat Dewi Keadilan Menolak Tunduk. Rasanya baru kemarin
putusan tersebut mengiang di telinga. Tak terasa kini sudah sebelas tahun
berlalu.
Diskriminatif
Alasan MK menghapuskan ketentuan tentang eks-PKI tersebut,
antara lain, sebagai berikut. Pertama, UUD 1945 tidak membenarkan diskriminasi
berdasarkan perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status
sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. Pasal 60
huruf g melarang sekelompok warga negara berdasarkan keyakinan politik yang
pernah dianut.
Kedua, hak konstitusional warga negara untuk memilih dan
dipilih (the right to vote and the
right to be a candidate) adalah hak yang dijamin konstitusi.
Penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan hak itu merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi warga negara.
Ketiga, pembatasan hak untuk dipilih dalam Pasal 60 huruf
g semata-mata bersifat politis. Yang dibolehkan UUD 1945 adalah dengan maksud
“semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Keempat, pelarangan terhadap eks-PKI mengandung nuansa
hukuman politik. Padahal, sebagai negara hukum, setiap pelarangan yang mempunyai
kaitan langsung dengan hak dan kebebasan warga negara harus didasarkan atas
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pendapat Berbeda
Putusan yang pantas dikatakan sebagai the landmark decision dari MK tersebut tidak dicapai secara
bulat. Salah seorang hakim, Achmad Roestandi, berbeda pendapat (dissenting opinion) terhadap putusan
tersebut. Baginya, pelarangan terhadap eks-PKI sah karena berisfat
situasional, tidak permanen. Hail itu dikaitkan dengan intensitas peluang
penyebaran kembali faham (ideologi) komunisme/marxisme/leninisme dan
konsolidasi PKI. DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang,
menurutnya, memiliki hak untuk membuat pertimbangan atas pembatasan tersebut.
Yang secara jelas-jelas tidak boleh dikurangi HAM-nya
dalam UUD 1945 menurut Roestandi adalah hak-hak yang tercantum dalam Pasal
28I, yaitu (1) hak hidup, (2) hak untuk tidak disiksa, (3) hak kemerdekaan
pikiran dari hati nurani, (4) hak beragama, (5) hak untuk tidak diperbudak,
(6) hak diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan (7) hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Di luar ketujuh hak tersebut
bisa dikurangi asal untuk sementara waktu (nonpermanen).
Roestandi adalah hakim konstitusi yang berlatar belakang
tentara. Selama era Orde Baru dan awal-awal era Reformasi, ia menjadi anggota
DPR dari Fraksi TNI/Polri. Roestandi adalah tekstualis sejati. Baginya,
konstitusi adalah yang tercantum dalam teks. Bila teksnya sudah jelas, tidak
bisa ditafsirkan lain. Soal hukuman mati, yang saat ini ramai kembali dengan
eksekusi para gembong narkoba, Roestandi termasuk hakim konstitusi yang
menghendaki hukuman mati dihapuskan karena bertentangan dengan Pasal 28I UUD
1945.
Dalam putusan MK tentang hukuman mati tahun 2007,
Roestandi mengajukan pendapat berbeda bersama hakim konstitusi Laica Marzuki
dan Maruarar Siahaan. Enam hakim lainnya, termasuk Ketua MK Jimly
Asshiddiqie, masih menghendaki hadirnya hukuman mati di republik ini.
Roestandi pula yang menolak MK menerobos ketentuan tentang dibolehkannya
pengecualian atas azas nonretroaktif dalam putusan tentang pengadilan HAM ad
hoc, yang nyata-nyata menuntut seseorang berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku surut (retroaktif).
Tidak Adil
Bagi saya, ketentuan Pasal 60 huruf g itu memang sangat
tidak adil. Dalam pasal yang sama, misalnya, ada ketentuan bahwa calon
anggota legislatif harus tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau
lebih.
Melalui penafsiran terbalik bisa dikatakan sebagai
berikut. Seorang koruptor yang sudah dihukum oleh pengadilan negeri dan
pengadilan tinggi, tetapi masih mengajukan upaya kasasi ke MA, boleh diajukan
sebagai caleg karena putusannya belum memiliki kekuatan hukum tetap. Atau,
sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi ancaman perbuatannya kurang dari
lima tahun, juga bisa dicalonkan. Jelas-jelas ada aroma ketidakadilan. Banyak
anggota PKI yang tidak tahu kesalahannya, kecuali mungkin pernah cap jempol
menjadi anggota PKI, dilarang menjadi caleg, padahal ia tidak pernah mencuri
uang negara.
Selain itu, kekhawatiran pelarangan eks-PKI itu terlalu
berlebihan. Dalam pasal yang sama, ada ketentuan bahwa setiap caleg harus
setia kepada Pancasila dan UUD 1945 serta cita-cita Proklamasi 17 Agustus
1945. Mereka yang menyatakan setia tidak mungkin mengembangkan ajaran atau
ideologi komunis. Bagi yang ingin menonjolkan keyakinan beragama, syarat
menjadi caleg juga harus bertakwa kepada Tuhan YME. Artinya, seorang atheis,
entah itu komunis atau bukan, tidak memenuhi syarat sebagai caleg karena
pasti tidak bertakwa kepada Tuhan YME.
Sebelas tahun berlalu, sayangnya putusan tersebut tidak
diingat lagi sebagai jalan bagi bangsa ini untuk melakukan rekonsiliasi.
Merajut keterpecahan akibat pelanggaran HAM masa lalu tidak mudah dilakukan.
Kebencian terhadap eks-PKI sengaja ditanam dalam-dalam oleh pemerintah Orde
Baru ke benak setiap orang di republik ini. Hal itu masih bisa dirasakan
hingga saat ini. Rekonsiliasi bisa dilakukan kepada siapa saja, kecuali
kepada eks-PKI.
Baik DPR maupun pemerintah tidak berani menghapuskan
syarat bukan eks-PKI dalam undang-undang pemilu yang mereka buat, kendati
angin reformasi telah menerpa dan Orde Baru sudah mati. Hanya MK yang berani
menereobos kebuntuan tersebut melalui putusan yang sangat bersejarah itu.
Sayangnya, bangsa ini lupa mengenang hari bersejarah
tanggal 24 Februari 2004. Bagi saya, hari ketika putusan itu dibacakan tetap
ingin saya kenang karena berbarengan dengan hari lahir istri tercinta.
Rekonsiliasi bangsa ini selalu bisa dimulai dengan memaafkan kesalahan.
Kesalahan tidak perlu dilupakan, karena sejarah memang tidak boleh
dihilangkan dari ingatan sebagai sebuah pembelajaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar